ayiin
8 min readFeb 9, 2022

Tanggung Jawab

Tentu, tentu saja Haitani Ran tidak akan mau bertanggung jawab. Dari awal saja pria itu benci dengan ide untuk menikah dan punya anak. Setengah tahun hubungan mereka berjalan, pembicaraan tentang pernikahan sama sekali tidak pernah diungkit oleh Ran. Baiklah, Mitsuya masih bisa memaklumi, toh hubungan mereka hitungannya terlalu dini untuk membahas jenjang yang lebih lanjut. Lebih-lebih ketika baik Ran maupun Mitsuya masih fokus dengan karir mereka. Tapi masalahnya, mereka berdua itu sama-sama berada di usia prima untuk menikah dan membangun keluarga. Jadi apa salahnya untuk membahasnya sekali-kali, ‘kan? Tapi tidak, Ran selalu mengganti topik jika Mitsuya membahas itu.

Bisa dipahami, mungkin Ran memang tidak siap. Mitsuya selalu berusaha memahami Ran dan jalan pikirannya, berusaha mengerti posisi alpha itu di perusahaannya seperti apa, bahkan berusaha memaklumi segala perlakuan dan perkataan Ran padanya.

Namun yang ini? Tidak, Mitsuya sama sekali tidak paham maupun bisa memaklumi tindakan Ran.

Tidak hanya menolak kenyataan yang ada, Ran juga menuduh kandungannya itu milik pria lain? Apa itu namanya kalau bukan gila? Mitsuya itu tipe orang yang setia, ya! Mana mungkin dia sembarangan tidur dengan orang meski berada di hubungan jarak jauh dengan kekasihnya? Dia tidak serendah itu!

Sungguh, perkataan Ran benar-benar menyakiti Mitsuya. Sudah sekujur tubuhnya ini sakit semua, sekarang ia harus menelan semua omongan dari Ran yang menyakitkan. Mitsuya hanya bisa menangis di kamar hotelnya, menangisi rasa sakit yang dirasakan oleh badan sekaligus hatinya.

Ran tidak sayang padanya. Mungkin Kazutora benar, Ran itu cuma jago berkata-kata saja. Semua cinta itu mungkin tidak benar adanya. Kalau Ran cinta, kenapa Mitsuya diterlantarkan begini? Memangnya Mitsuya yang minta untuk mengandung anak bajingan itu? Tidak! Lagipula bukannya ini kesalahan mereka berdua? Kenapa seolah-olah hanya Mitsuya yang berbuat dosa?

Hari itu Mitsuya tidak membukakan pintunya pada siapapun. Sebelumnya, dia sudah meminta Kazutora agar merahasiakan hasil testpacknya pada seluruh member AKUMA. Dia tidak ingin memperkeruh keadaan, fokusnya AKUMA harusnya cuma terletak pada tur mereka sekarang. Dia juga tidak ingin member AKUMA melihat keadaannya seperti ini; mata sembab sampai wajahnya bengkak.

Setelah tenang, Mitsuya berdiri di hadapan cermin sambil mengelus perutnya. Di perutnya ini ada kehidupan, kehidupan yang tidak diinginkan salah satu ayahnya sendiri. Kasihan sekali, pikir Mitsuya, buru-buru mengusap air matanya. Ini sudah menjadi konsekuensi yang harusnya Mitsuya pahami dan terima ketika ia memutuskan untuk merengkuh Ran dan segala cacatnya pria itu. Bahkan ketika Kazutora berbaik hati memberinya nasehat, dia enggan mendengarkan sebab ia sudah percayakan hatinya pada Ran.

Tapi sekarang apa? Apa yang Ran tinggalkan sekarang? Seorang anak dan luka besar di hatinya? Haitani sialan.

Mitsuya kira, Ran itu rumah. Mitsuya kira, dia bisa membangun jalan ke masa depan dengan pria itu meskipun prosesnya sangat panjang dan menyusahkan. Di bayangan Mitsuya, dia sudah siap membangun keluarga dengan Ran. Tapi kenyataan tak semanis angannya, ia harus dihadapkan dengan fakta bahwa Ran tak menginginkannya maupun anak mereka.

Tiba-tiba Mitsuya teringat bagaimana Ran memberinya akses ke penthouse pria itu, menyebutnya ‘rumah kesekian’ Mitsuya, tempatnya untuk kembali pulang. Ia teringat bagaimana Ran meminta keabadian dengannya, buat deklarasi bahwa sampai kapanpun, Ran adalah alphanya sementara dia adalah omeganya. Apakah semua itu hanya bualan belaka? Omongan manis seperti kata Kazutora?

Mitsuya kembali mual, kembali memuntahkan isi perutnya sampai menangis lagi. Rasanya sakit, sakit sekali. Tapi sepertinya borok di hatinya jauh terasa lebih menyakitkan dari apapun. Ah, kenapa Ran bisa sekeji itu?

Di tengah isak tangis dan rasa nyeri yang mendera seluruh tubuhnya, Mitsuya perlahan pejamkan matanya, meringkuk sambil memeluk perutnya. Ia bermimpi tentang Ran dan segala impian di masa depan yang diam-diam ia susun di sudut pikirannya.

Mencintai Ran bagi Mitsuya terasa benar, namun juga menyakitkan.

Mitsuya terbangun ketika bel kamarnya berbunyi nyaring. Omega itu berjengit, lalu meringis ketika merasakan sekujur tubuhnya masih nyeri. Mitsuya meraih ponselnya, terkejut ketika melihat banyak panggilan tak terjawab dan spam pesan dari nomor tak dikenal. Seperti itu nomor baru Ran, tapi Mitsuya tidak mengindahkan, lebih memilih untuk melihat sekarang sudah jam berapa.

“Jam 5 pagi? Siapa pagi-pagi ganggu gue…” gumam Mitsuya sambil berjalan ke arah pintu kamarnya. Sebelum membuka, ia mengintip dari lubang kecil di pintunya. Kazutora. Maka dari itu Mitsuya membukakan pintunya.

Namun yang di hadapannya sekarang bukan hanya Kazutora, tapi juga…

“Ran?”

Kazutora melirik Ran tajam sebelum mendengus. “Semoga kalian bisa selesaiin masalah baik-baik,” ujarnya sebelum pergi meninggalkan Ran di depan kamarnya.

Mitsuya yang masih tercengang tidak banyak bereaksi, dia masih memproses bagaimana sosok yang menjadi penyebab air matanya mengalir tanpa henti meski dalam tidurnya kini sudah berdiri di hadapannya. Haitani Ran tidak terlihat seperti Haitani Ran. Penampilannya begitu lusuh, bahkan gurat letih terpapar jelas di paras tampannya. Kantung matanya menghitam, bibirnya pucat — sepertinya Ran kelelahan. Namun sedetik kemudian, Mitsuya sadar bahwa Ran dari kemarin berada di Sydney. Pantas saja Ran tidak membawa apa-apa kecuali badannya, bahkan pakaian yang dikenakan masih jas formal kantorannya itu.

“Takashi…”

“Mitsuya.”

“Taka — ”

“Panggilnya Mitsuya, Haitani,” tegas Mitsuya, membuat bahu Ran menurun.

Menghela nafas, Ran pun menuruti permintaan Mitsuya.

“Mitsuya, aku mau ngomong.”

“Kalo lo kesini cuma mau ngerendahin gue doang, mending pulang. Gue muak liat lo,” ketus Mitsuya. “Kita udah putus lagian, gak ada yang perlu diomongin.”

Ran bersimpuh di hadapan Mitsuya, membuat omega itu membelalakkan matanya. Buru-buru Mitsuya berusaha menarik tangan Ran, menyuruhnya berdiri. Namun Ran tetap saja tidak bergeming, tetap berada di posisinya, berlutut di hadapan Mitsuya dengan kilatan putus asa tampak di matanya.

“Berdiri! Lo mau diliatin orang apa?! Lo ini Haitani Ran! Kalo orang lain liat anak sulung Haitani begini, apa kata orang?!”

Ran menggeleng, mendongak dan menatap Mitsuya dengan mata sayunya. “Gak peduli…”

Mendecak, Mitsuya pada akhirnya menarik tubuh Ran agar memasuki kamarnya. Bisa gawat jika ada desas-desus seorang Haitani Ran berlutut di hadapan omega rendahan seperti dia. Semarah apapun Mitsuya sekarang, ia sama sekali tidak ingin reputasi yang susah-susah dibangun oleh Ran jadi hancur karena masalah ini.

“Cepet ngomongnya!”

“Mitsuya… Aku salah… Aku salah udah ngomong gitu ke kamu… A-aku udah nyakitin perasaanmu, Mitsuya, padahal aku udah janji bakal lindungin kamu, bahagiain kamu… Tapi pada akhirnya aku jadi luka buat kamu… Maafin aku, Mitsuya.”

Mitsuya yang amarahnya sudah lama menguap maka hanya bisa menatap Ran penuh dengan rasa iba. Selalu begini, wajah Ran selalu menjadi kelemahan seorang Mitsuya Takashi. Mungkin karena dari jarak sedekat ini, Mitsuya selalu gagal menemukan kepalsuan di mata lembayung itu, membuatnya kembali lambungkan harapan untuk pria ini sekali lagi.

“Ran, minta maaf aja kalo lo ulangin terus itu percuma. Gue gak butuh minta maaf dari lo.”

“Iya, Mitsuya, aku tau aku salah, salah banget. Aku udah nyakitin kamu sama perkataan gue. Bahkan aku gak bisa bikin pembelaan atas apa yang aku lontarin ke kamu. Aku brengsek, dan aku nyesel. Tapi aku kaget, Mitsuya. Aku nggak percaya, aku…” tiba-tiba ada suara isak tangis, membuat Mitsuya yang tadinya buang muka langsung kembali menghadap Ran.

“Ran?”

Ran menangis, betulan menangis, bukan hanya satu atau dua tetes, tapi berderai dengan air mata. Melihat ini, Mitsuya ikut bersimpuh di hadapan Ran, menyaksikan bagaimana pria yang biasanya selalu memasang tampang seolah-olah tak ada seorang pun yang bisa menghancurkannya, kini luluh lantak bersama air matanya.

“A-aku takut Mitsuya… Aku takut…”

Apa? Apa yang Ran takutkan? Pikir Mitsuya. Rasanya Mitsuya tidak ingin mendengarkan Ran lebih jauh — takut hatinya melunak lagi. Melihat tangisan Ran pecah saja membuat Mitsuya harus mati-matian menahan hasrat untuk tidak memeluk pria ini?

“Mitsuya Takashi, aku cinta banget sama kamu. Beneran. Tapi, Mitsuya, aku belum siap bawa kamu ke duniaku. Ke dunia di mana isinya orang-orang palsu yang cuma haus harta dan tahta. Kamu itu satu-satunya cinta yang aku punya, dan aku mau lindungin kamu dari duniaku walaupun aku tau cepet atau lambat kamu pasti bakal terlibat. Pikiranku, nanti, setelah posisiku lebih kuat, aku bakal pastiin kamu duduk di tempat paling tinggi,” Ran menarik nafas. “Aku emang salah karena reaksiku sejelek itu, cuma pas aku denger kamu hamil anakku, aku rasanya lebih milih denger kabar kamu sama orang lain aja, Mitsuya.

“Aku ini pengecut, Mitsuya. Aku dituntut jadi anak pertama yang sempurna, tapi sebenernya aku ini cuma pengecut yang pura-pura kuat. Posisiku di perusahaan masih krusial, orang-orang bakal ngelakuin apapun buat jatuhin aku. Kamu tau, ‘kan?”

Mitsuya mengangguk, membiarkan Ran menjelaskan lebih lanjut.

“Kalo mereka tau aku hamilin orang, kamu… Kamu bakal disakiti sama mereka, Mitsuya. Bukan para petinggi, tapi orang tuaku, Mitsuya, mereka bakal nyakitin kamu. Mitsuya, kamu, kamu… Kamu bakal disingkirin sama o-orang tuaku sendiri, Mitsuya,” Ran kembali menangis, kali ini Mitsuya berusaha menenangkan Ran, mengelus punggungnya perlahan.

“Aku gak bisa liat kamu hilang, Mitsuya. Lebih baik kamu berkhianat daripada kamu hilang. Demi Tuhan, Mitsuya, aku gak bisa liat kamu dijahatin sama mereka.”

Mitsuya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya terdiam, mendengarkan isak tangis Ran yang terdengar begitu pilu.

“Aku gak tau keluarga yang bener itu gimana. Aku cuma diajarin orang tuaku kalau anak itu alat, seorang penerus, jadi harus dididik sekeras mungkin, dibentuk sesempurna mungkin. Aku gak punya gambaran jelas tentang keluarga, Mitsuya. Gimana kalo ternyata aku sama aja kayak orang tuaku? Mitsuya, aku… Aku takut,” lirihnya. “Aku takut kamu nggak bahagia sama aku, Mitsuya.”

Mitsuya memandang Ran lama, kemudian menghela nafas.

“Terus? Kenapa lo tetep deketin gue? Minta dikasih kesempatan kedua? Itu semua buat apa kalo lo gak siap sama konsekuensi ke depannya?”

“Karena aku egois dan jatuh cinta, Mitsuya.”

Pagi itu begitu sunyi, namun tidak dengan detak jantung mereka yang bergemuruh. Ingin hati saling merengkuh, namun Mitsuya masih enggan, dan Ran pun terlalu sungkan. Janji yang ia buat tenyata ia ingkari karena kebodohan dan ketakutannya sendiri.

“Ran… Sejahat apapun duniamu ke kamu, aku lebih baik terluka di dalamnya karena itu artinya, aku jadi bagian dari duniamu. Aku ini cinta sama kamu, Ran, dan aku gak mau kamu tersiksa sendiri. Aku tau tekanan dan harapan keluargamu sekuat apa, jadi aku mohon, Ran, bagi sedikit rasa sakitmu ke aku.”

Mitsuya menangkup wajah Ran, mengusap air mata pria itu.

I love you, a lot, dan aku berharap semua lukamu, ketakutanmu, kekhawatiranmu — semuanya, bisa kamu bagiin ke aku. Karena aku pun juga secinta itu sama kamu, Ran, jadi aku mau meluk segalanya tentang kamu.”

Ran semakin menangis ketika mendengar ini. Seumur hidupnya, dia tidak pernah menceritakan kekhawatiran yang mengakar di benaknya. Di mata semua orang, Ran ini yang terkuat dan tak terkalahkan. Namun ketika lapisannya terkelupas telak seperti ini, nyatanya Haitani Ran hanyalah anak laki-laki yang penuh dengan rasa takut dan keraguan. Seumur hidup dituntut kuat dan sempurna, dan baru kali ini pertahanannya runtuh, di hadapan orang yang telah ia sakiti.

Malu, Ran sangat malu. Berani-beraninya dia menangis seperti anak kecil ketika Mitsuya sendiri telah merasakan hal yang lebih menyakitkan karena tutur katanya.

Mitsuya terlalu baik. Bahkan ketika Ran telah melukai perasaannya, Mitsuya masih mau merengkuhnya, menenangkannya, bahkan sudi mengatakan ‘cinta’.

Detik selanjutnya, Ran mendengar helaan nafas dari Mitsuya.

“Kalo kamu takut, aku bisa menghilang, Ran. Aku urus anak ini sendirian, gak masalah,” ujar Mitsuya. “Atau… kamu mau gugurin anak ini?”

Tentu saja Ran terlonjak, terkejut mendengar tawaran Mitsuya, lalu menggeleng dengan kuat.

“Mitsuya, nggak, jangan… Ini anakku juga, jangan gitu. Aku gak mau kehilangan kamu maupun anak ini,” Ran berkata demikian.

“Terus? Mau kamu apa?”

Ran mengelus perut Mitsuya, mengecupnya singkat dan berbisik, “maafin ayahmu ini,” sebelum duduk tegap, lalu menggenggam tangan omeganya dengan erat.

“Mitsuya Takashi, aku bakal nikahin kamu. Walaupun gak segampang itu, tapi aku bakal nikah sama kamu.”

Ran memandang Mitsuya dengan seksama, kemudian bersujud di hadapan omega itu.

“Sekarang, seluruh hidupmu dan anak kita jadi tanggung jawabku sepenuhnya, Mitsuya.”

No responses yet