Subjek Pembangkang
Kekayaan? Kedudukan? Ketenaran? Tiga hal itu mungkin menjadi sesuatu yang diidam-idamkan para manusia pada umumnya. Siapa tidak ingin hidup glamor dengan uang mengalir selayaknya air, kedudukan tinggi yang buat orang-orang mendongak selayaknya menatap langit, dan juga ketenaran yang menjadi penguat eksistensi kita di dunia ini?
Tidak ada.
Begitu pula dengan Ryuguji Ken yang lahir serba kekurangan. Tak punya ibu, tak punya saudara, hanya punya ayah yang lebih sering absen dari sisinya. Dia tinggal di rumah sederhana, peninggalan kakek dan neneknya dulu. Punya dua kamar dan satu kamar mandi, luar biasa sederhana. Dia sering ikut ayahnya ke tempat kerja — tempat di mana majikan ayahnya tinggal. Orang-orang kaya itu, dengan rumah gedongan dan kain sutra membalut tubuh mereka, hidupnya begitu sempurna, pikir Ken kecil.
Ken pun ingin tahu rasanya hidup serba berlebihan begitu; buang-buang duit cuma untuk kesenangan semata, pakai baju necis yang harganya setara dengan gaji ayahnya selama setahun — Ryuguji Ken ingin juga.
Tapi Ken selalu diajarkan ayahnya bahwa memiliki sesuatu yang berlebih itu tidak baik, karena itu bisa membuat kita lupa di mana kita berpijak. Hidup itu secukupnya saja, entah itu perihal materi atau mencintai. Ken kecil tidak paham kenapa ayahnya tiba-tiba bicara uang dan cinta pada bocah berumur 6 tahun, maka ia hanya mengiyakan, sedikit mengingat-ingat pesan ayahnya yang ini.
Lalu Ryuguji Ken bertemu dengan Sano Manjiro, si Tuan Muda kecil dari keluarga Sano yang digadang-gadangkan sebagai alpha hebat nantinya. Waktu itu, Ken hanya iseng minta ikut ayahnya kerja lantaran bosan, ingin tahu keluarga kaya seperti apa lagi yang mempekerjakan ayahnya.
Itu pertemuan pertama Ken dan Manjiro, sekaligus pertama kalinya Ken bertemu dengan manusia semungil dan secantik Manjiro.
Begini ini alpha? batin Ken skeptis. Bocah kecil itu di matanya luar biasa cantik. Matanya begitu bulat bak mutiara hitam di tengah lautan, tiap helai rambutnya mirip untaian benang emas yang dipetik dari taman para dewi, bibirnya begitu merah dan merekah seperti buah ceri yang baru panen. Segala tentang Sano Manjiro itu sangat indah, dan insting pertama Ken berkata anak laki-laki di depannya ini tidak mungkin alpha.
Manjiro kecil dipandangi begitu intens oleh Ken tentunya heran. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum lebar. Langkah kecilnya membawa tubuhnya mendekati sosok bongsor itu, lalu menyengir di hadapannya.
“Mulai dari sekarang, kamu punyaku.”
Ken tidak mau. Ia tak sudi jadi objek meskipun itu milik orang kaya yang cantik seperti Sano Manjiro!
Tapi ayahnya melihat ini sebagai kesempatan.
“Iyain aja, Nak, ayah bisa dapet kerjaan tetap kalo kamu turutin anak kesayangan mereka.”
Jadi, pada awalnya Ken hanya ikuti Manjiro kecil karena ayahnya memohon. Dia tak pernah punya inisiatif untuk berteman maupun jadi pengawal tuan muda cilik ini, tidak sama sekali. Manjiro memang cantik, tapi bukan berarti ia mau-mau saja jadi objek bocah manja dan tengil seperti Sano Manjiro ini. Dia ini juga punya harga diri, pikir Ken.
Namun seiring berjalannya waktu, hal yang paling mustahil adalah tidak jatuh cinta pada Sano Manjiro. Bagaimana tidak mustahil? Makin hari Manjiro tumbuh menjadi seseorang yang sangat kuat. Ken jadi saksi mata beban-beban yang harus dipikul anak kebanggaan Sano itu, ia yang jadi sandaran ketika Manjiro tumbang karena bertubi-tubinya tuntutan keluarganya — ia yang berdiri tegap di sisi Manjiro di kala suka maupun duka, setia di sana sampai akhirnya Manjiro punya tiga orang lain yang memuja laki-laki itu seperti dirinya.
Sano Manjiro membuat Ken tahu cinta itu apa. Entah platonik atau romantis, tapi Ken jadi tahu bagaimana rasanya mencintai dan menyayangi empat orang yang sangat berharga dalam hidupnya itu. Ken begitu mencintai empat orang itu, sampai dia rela-rela saja jika dia akan berakhir sebagai seekor naga yang rela terbang keliling angkasa seorang diri jika itu harga yang harus dia bayar demi melindungi mereka.
Tapi Ryuguji Ken yang berjanji menjadi pelindung orang-orang tersayangnya malah menyaksikan runtuhnya mereka di depan matanya. Tubuh yang tak bisa bergerak pasca tertusuk, hanya bisa menangis meraung-raung di tanah ketika Sanzu dan Mikey tak sadarkan diri, Kakucho tak hentinya menatap kosong, sementara Takemichi menangis dan tertawa seperti orang yang sudah hilang akal sehat.
Mereka masih begitu muda untuk dihancurkan oleh semesta yang begitu kejam.
“Ken, kamu nggak mungkin tega jeblosin teman-teman kamu ke penjara, ‘kan?” tanya Nyonya Sano.
Ken menelan ludahnya susah payah, mengangguk ragu dengan jantungnya yang berdegup kencang.
“Takemichi ngaku kalau dia yang bunuh, tapi pihak keluarga Hanagaki tentu nolak anaknya disebuh pembunuh. Haruchiyo? Anak itu bisa pingsan kalau ditanya-tanya polisi lagi. Kakucho? Cih, anak bedebah itu punya marga Sano. Dan… Manjiro? Kamu tega, Ken?”
Tentu saja Ken menggeleng kuat. Nyonya Sano benar, tidak mungkin teman-temannya yang punya masa depan cerah itu jadi tersangka. Mereka semua sudah punya masa depan yang cemerlang dan hidup yang tertata sedemikian rupa. Dia? Dia hanyalah Ryuguji Ken. Dia bukan siapa-siapa. Jika dia yang jadi tersangka, pasti tidak masalah, bukan?
“Kalau kamu setuju jadi satu-satunya tersangka di sini, kamu harus menghilang. Jangan sampai kamu ketemu mereka lagi?” Kemudian Nyonya Sano menghela nafas. “Lagian, kamu kan, yang paling tua di antara mereka berempat, tapi gak bisa melindungi mereka semua.”
Benar. Ryuguji Ken gagal.
“Anggap aja kamu lagi nebus dosa kamu. Jadi saya mohon, menghilang dari hadapan mereka, ya? Toh kamu cuma malu-maluin kalau terus berteman sama mereka berempat.”
Ryuguji Ken tahu diri. Mau bagaimana pun, dia itu bukan orang-orang seperti mereka. Berteman dengan mereka juga tidak menutupi fakta bahwa dia ini orang biasa yang tak berlatar belakang.
Maka Ken mengiyakan. Ia setuju kalau dia akan menyerahkan diri agar untuk menggantikan teman-temannya. Bukankah ini tugasnya di ‘Kerajaan Manjiro’? Sebagai naga pelindung yang bisa lindungi mereka meski hanya dari luarnya saja?
Ken sudah rela semisa dibenci oleh semuanya. Ia tanggung kebencian mereka semua jika ini memang jalan yang terbaik. Lagipula hanya tahanan remaja, pikir Ken.
Tapi siapa sangka kalau di hari Ken sudah bersiap, yang ia dapatkan justru pengkhianatan terbesar di hidupnya?
Bukan Ken yang bersinggah di balik jeruji — tapi ayahnya.
“K-kenapa?” Tanya Ken, tubuh merosot di depan jeruji besi yang menahan ayahnya. “KENAPA?!”
Marah. Tentu saja marah. Ia sudah siap, ia sudah melepaskan semuanya. Tapi ini apa? Kenapa ayahnya? Memang ayahnya salah apa?
“Nak, ayah gak bisa biarin kamu yang ditahan… Jalan hidup kamu masih panjang. Kamu itu pinter, cerdas, masa depan kamu bisa hancur. Ayah? Ayah udah tua, Nak. Ayah cuma hidup buat kamu. Kalo kamu ditahan, ayah bakal jadi bapak yang gagal buat kamu. Jadi biarin ayah gantiin kamu di sini, ya?”
Jika Ken kira hidupnya sudah hancur, maka sekarang menjadi luluh lantak, tersisa menjadi butiran debu saja. Ia dititipkan kepada bibinya yang tinggal di sebuah distrik lampu merah. Bibinya tidak sebaik itu, justru sering mengeluh saat tahu dirinya dititipkan kepada wanita itu. Katanya dia itu wanita sibuk, tak punya waktu untuk urusi anak kakaknya itu. Maka Ken yang tidak ingin menjadi beban terpaksa ikut bekerja serabutan di samping jadwal sekolahnya.
Detik itu juga Ken bekerja keras. Mencari uang sebanyak mungkin agar bisa mengeluarkan ayahnya dari penjara. Entah itu dengan mencari pengacara yang mahal atau dengan cara paling kotor sekalipun. Dia harus mengeluarkan ayahnya yang tak buat salah apa-apa, itu satu-satunya yang Ken pikirkan.
Karena Ken butuh lebih banyak uang sementara dia itu masih murid SMA yang tak banyak pengalaman, ia mulai putus asa. Lalu rekan kerjanya berceletuk, “badan lo bagus, kalo lo jual diri laku, sih.”
Maka Ken lakukan. Sebelum ia dapat pelanggan pertamanya, di sana ia bertemu dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya. Ada jahitan di wajahnya, tapi parasnya masih luar biasa cantik.
“Mahito,” ujarnya sambil ulurkan tangan.
Ken berdeham gugup, balas jabatan tangannya. “K-ken, Draken.”
“Pertama kali?” Ken mengangguk. “Saran gue jangan langsung, takut lo syok. Mau coba dulu sama gue? Gue bayar, kok.”
Bersama Mahito lah Ken melakukan pertama kalinya. Mahito tidak hanya sekadar cicipi tubuhnya, tapi juga mengajarinya cara menjamah tubuh dengan benar. Ken yang baru pertama kali tentu saja banyak lakukan kesalahan, tapi Mahito justru tertawa, menuntun Ken perlahan sambil sesekali menghisap batang nikotinnya.
“Hidup di dunia gini susah, Ken. Lo yakin?”
Ken mengangguk, dia tak punya pilihan.
“Hmm… Lo cakep, suatu saat lo bisa jadi artis dengan wajah begini.” Mahito menangkup wajahnya, menelitinya dengan seksama. “Saran gue kalo terima pelanggan, lo tutupi wajah setengah aja. Lagian skill lo udah bagus, badan oke, tinggal tutupi setengah wajah, you’re good. Jadi semisal lo berhenti berkecimpung di dunia ini, identitas lo aman.”
Mahito hembuskan lagi asap rokoknya. “Saran aja. In case lo gak mau ada orang tau kerjaan lo ini.”
Jadi seperti itulah hidup Draken setelah kejadian itu. Tinggal di distrik lampu merah, mencari banyak uang untuk ayahnya sampai rela jual diri. Belasan body count bukan karena ia ingin, tapi karena itu pekerjaannya. Setelah hidup selayaknya di negeri dongeng bersama Manjiro, Takemichi, Haruchiyo, dan Kakucho, lalu ia tinggal di tempat yang ia anggap begitu rendah, melakukan pekerjaan tercela, tancap kelamin sana-sini seperti tak punya harga diri.
Draken seperti hidup di neraka.
“Terus pas gue balik ke rumah lama gue, di sana ada Mai. Dia nangis, dia mohon-mohon ke gue buat balik ke dia. Katanya dia punya band, dan dia masih inget gue suka musik. Makanya selama sebulan dia nyamperin rumah lama gue, berharap gue balik lagi,”
Tidak hanya Mikey yang terdiam saat mendengar Draken menceritakan alasannya, tapi juga Takemichi, Sanzu, bahkan Kakucho. Awalnya Draken enggan menceritakan, namun Mikey yang hari ini mengajak mereka berempat bertemu meminta semuanya untuk saling mengeluarkan keluh-kesah mereka selama ini. Ayo perbaiki yang bisa diperbaiki, kata Mikey dengan tenang. Wajahnya masih pucat, tapi omega itu masih ingin menyatukan mereka semua.
Dan Draken kebetulan sedang lelah. Ia lelah berpura-pura tidak peduli kepada Takemichi, Sanzu, dan Kakucho. Ia lelah berpura-pura tidak jatuh cinta kepada Mikey. Ia lelah berpura-pura dia baik-baik saja.
Draken hanyalah manusia biasa.
Lalu Draken mengusap air matanya. “Hidup gue emang kayak neraka, tapi gue gak pernah sekalipun nyalahin Michi, Chiyo, maupun Ucho, apalagi Mai. Gue gak nyalahin kalian, maupun orang tua kalian. Tapi gue nyalahin diri gue sendiri yang masih terlalu muda dan gak bisa apa-apa buat berdiri sendiri. Akhirnya, ayah gue yang kena.”
“Gue… Gue benci sama diri gue sendiri. Gue gagal ngelindungin lo semua, bahkan ayah gue sendiri. Makanya gue gak bisa cerita apapun… Gue malu. Gue malu tentang kegagalan gue, tentang pekerjaan gue, tentang kondisi gue — gue malu.”
Sanzu menundukkan kepalanya, sembunyikan air matanya, sementara Kakucho terdiam, juga merasa gagal karena tidak berusaha mencari Draken dulu. Sedangkan Takemichi merasa terpukul. Dia yang salah, dia yang buat Draken menderita seperti ini.
“Gue terima tawaran Mai karena gue capek… Gue gak suka sama hidup gue yang kayak gitu. Tapi gue udah janji sama diri gue sendiri buat gak ngelibatin diri gue sama kalian,” lalu Draken menoleh ke arah Mikey, tersenyum getir.
“Dan janji kalo gue gak boleh jatuh cinta lagi sama Mai.”
Untuk pertama kali setelah sekian lama, Mikey mulai menitikkan air mata.
“Kenchin kenapa nggak cerita…?” Suara Mikey terdengar begitu memilukan, sementara tangisan Draken semakin pecah. Dia sudah lama mengubur semua ini dalam diam, tak ada yang perlu tahu apa yang ia lalui. Namun hari ini, melihat Mikey, bahkan Sanzu menangisi dirinya, rasanya hatinya kembali nyeri.
“Gue — ” bahkan Draken tak sanggup berkata-kata lagi, hanya bisa menangis dan bersimpuh di hadapan Mikey.
Selama ini Draken tak pernah bersimpuh di hadapan Mikey, baru kali ini si subjek pembangkang akhirnya tunduk di hadapan sang raja — atau mungkin hanya Sano Manjiro sekarang.
“Masalah Rin, gue minta maaf, Mai…”
Takemichi yang membalas, “jadi kenapa lo mau aja nerima tawaran Kakucho sama Rin? Padahal lo tau itu bakal nyakitin Mai? Demi MikeyBar doang?”
“Uang, Michi. Orang kaya macem lo gak bakal paham, tapi gue butuh uang. Kakucho nawarin gue gedung atas nama gue, tapi gantinya gue harus pacaran sama Rin. Dan Rin diem-diem udah nyelidikin gue, dia keluarin ayah gue dari penjara, tapi syaratnya gue harus mau nemenin dia semasa hamilnya.”
“Gue ini gak kayak kalian yang banyak uang, gue gak punya apa-apa. Kalian kira gue gak iri ketika lo semua bisa beliin Mai ini dan itu? Gue juga pingin, gue juga cinta Mai sama kayak lo semua. Makanya setelah gue dapet gedung itu dari Kakucho, gue minta buat gabung MikeyBar.”
“Gue juga mau kayak kalian… Gue juga mau bisa berdiri di antara kalian tanpa ngerasa ‘gak pantas’. Tapi gue sadar… Gue yang ngerusak semuanya. Karena gue serakah, gue hancurin Mai sekali lagi.”
Draken tidak seperti mereka yang bergelimang harga, bisa sirami Mikey dengan kemewahan. Mau bagaimana pun juga, Draken ini paham kalau semasa hidup, Mikey hanya merasakan kehidupan yang glamor. Maka dari itu Draken pahamnya ia butuh banyak uang untuk bisa mencintai Mikey dengan pantas.
“Cinta buat orang kayak gue itu mahal, dan lo semua mencintai Mai dengan begitu mewah. Lo bisa beli buket bunga jutaan, pesen satu pesawat buat Mai, dan gue? Gue gak bisa kasih apa-apa.”
Draken menunduk, menahan tangisannya sekali lagi karena, sungguh, ia terlihat menyedihkan sekarang.
“Gue cuma orang biasa, orang yang kotor, terus nekat mencintai seorang raja — gue gak pantes…”
Rasa insekur yang Draken alami itu sepatutnya dimaklumi. Dia hidup melihat bagaimana Mikey tumbuh besar hanya dikelilingi emas dan berlian, sementara tiga orang lain yang mencintai Mikey juga bisa memberi itu. Lalu dia, yang tak punya apa-apa, mencintai Mikey yang punya segalanya. Adalah wajar jika Draken merasa tak pantas.
“Gue gak pantes berada di sekitar kalian lagi, makanya ijinin gue mundur lagi. Seenggaknya, sekarang gue udah pamit, ‘kan?”
“Emang lo siapa kok bisa nentuin pantes nggaknya?” Sanzu berbicara, kemudian melangkah mendekati Draken yang masih bersimpuh di lantai. “Lo siapa, gue tanya?! Emang lo Tuhan?!”
Sanzu menangis lagi, tapi kali ini memeluk Draken.
“Gue kira lo itu ninggalin kita karena lo benci sama kita! Gue kira lo benci karena gue lemah! Kenapa gak pernah cerita, sih?! Buat apa gue mati-matian berusaha benci lo selama ini?!”
Tak lama, Takemichi juga ikut memeluk Draken.
“Lo udah cerita begitu dan berharap kita lepasin? Lo cari mati, ya?!” ketusnya meskipun diam-diam meneteskan air mata.
Kakucho mendekat, ragu-ragu ingin memeluk Draken, makanya ia hanya berjongkok di hadapannya, tundukkan kepala.
“Maaf, gue gak tau apa-apa… Harusnya gue kasih lima gedung…”
Takemichi menendang kaki Kakucho. “Bukan itunya, anjing!”
“Maaf, ya, gue udah nyakitin lo,” Sanzu berujar di tengah isakan tangisnya. Sementara Draken juga masih menangis, menganggukkan kepala seadanya.
“Maafin gue juga… Maaf lo harus melalui semua itu sendirian,” itu Takemichi dengan seribu penyesalannya.
“Kak Ken,” panggil Kakucho. “Maafin gue juga…”
Lalu mereka berhenti menangis saat mendengar suara tangisan baru yang jauh lebih kencang dari mereka. Saat menoleh, itu ternyata Mikey. Setelah lama Mikey tidak bisa menangis leluasa, hari itu tumpahkan segala tangisan yang ia pendam selama ini.
Semuanya langsung berdiri, hampiri Mikey yang masih berada di ranjang rumah sakit dengan tatapan khawatir.
“Mai?”
Mikey mengibaskan tangannya, “gue gak papa,” tapi tangisannya masih keras.
Lalu Mikey mendongak, berusaha bicara meski di tengah agenda menangisnya.
“Maaf, sebenernya ini semua salah gue. Andai gue nggak diculik — ”
Draken tiba-tiba memeluk Mikey, diikuti dengan Takemichi, lalu Sanzu, dan terakhir Kakucho. Mereka semua memeluk Mikey dengan erat, bergumam, “Mai, kejadian itu sama sekali bukan salah lo dan gak pernah jadi kesalahan lo.”
Hari itu, mereka banyak menangis. Menangisi masa lalu mereka yang belum sempat ditangisi bersama, menangisi semesta yang begitu kejam pada mereka yang waktu itu tak masih tahu-menahu tentang dunia, menangisi waktu-waktu yang hilang karena perpisahan mendadak mereka, menangisi segala kesalahpahaman yang bertahun-tahun gagal diutarakan dengan semestinya, dan menangisi kehangatan yang akhirnya mereka peroleh lagi setelah banyak duri yang menusuk mereka sepanjang perjalanan kemari.
Setelah puas menangis, Mikey, Takemichi, Sanzu, dan Kakucho sama-sama menatap Draken yang ternyata masih belum tuntas menangisnya. Sanzu tertawa, mengejek. Sementara Takemichu menepuk-nepuk bahunya, berharap Draken berhenti karena ia tak ingin ikut menangis lagi.
Mikey condongkan badannya ke depan, tangkup wajah Draken dengan kedua tangannya, lalu tersenyum lebar ke alpha tersebut, berkata,
“Kenchin, kamu udah pulang sekarang.”