Sangkar
cw // drugs use, hallucinations, mention of blood, implied rape and abuse, violence, depression, suicide.
Mitsuya Takashi tak pernah menduga hidupnya akan menjadi seperti ini. Ia memang tak punya gambaran muluk-muluk tentang masa depannya, dapat bekerja di perusahaan ternama dan tak perlu pusing-pusing lagi untuk biayai sang ibunda dan kedua adik perempuannya saja sudah lebih dari cukup. Ia pernah bermimpi tentang menikah dengan Shiba Taiju, tapi mimpi itu perlahan ia sudutkan di ruang pikirannya sebab sang alpha tak kunjung beri kepastian, hanya janji manis yang mudah terkikis oleh waktu.
Seumur hidup Mitsuya jalani dengan sederhana, dengan hati yang lapang dan pemikiran yang panjang. Jadi kenapa…
Kenapa Mitsuya Takashi begitu menderita sekarang?
Mansion milih Haitani Ran memang begitu luas dan megah, lebih mirip kastil kerajaan daripada hunian orang-orang pada umumnya. Namun seluas dan semegah apapun, tetap saja dikurung di dalamnya sama sekali tak membuat Mitsuya bahagia. Ia justru temukan dirinya mulai kehilangan akal perlahan demi perlahan.
Hari pertama Mitsuya sadar, ia diikat ke sebuah ranjang. Ia meronta-ronta saat itu, meminta dan memohon agar dibebaskan. Namun tiap kali bibirnya jeritkan pertolongan, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke kamarnya, suntik tubuhnya dengan obat bius sampai ia tak sadarkan diri. Ketika Mitsuya menolak untuk makan, kepala pelayan akan mengancamnya, berkata bahwa pria itu tidak segan-segan untuk membuat kakinya lumpuh agar tidak bisa ke mana-mana lagi.
Tentu saja Mitsuya ketakutan. Dikurung di mansion ini sudah lebih dari cukup, kedua kakinya ini satu-satunya hal yang bisa menuntunnya pada kebebasan walaupun bebasnya masih semu. Setidaknya kalau punya kaki yang berfungsi dengan baik, ia bisa keliling area mansion ini, ‘kan?
Maka Mitsuya berhenti berontak di hari ketiga. Ia sudah lelah kulitnya ditembus oleh jarum-jarum suntik itu. Maka ia alihkan kegiatannya pada hal lain, misalnya menulis jurnal. Ia curahkan secuil perasaannya di kertas putih itu. Tidak ada ponsel, sosial media, maupun satu orang pun yang bersedia dengarkan suaranya, hanya kertas malang yang biasanya berakhir di tong sampah.
Hiburan lainnya adalah memasak, melukis, membaca buku, menonton film dari kaset koleksi Ran, berjalan-jalan di taman ditemani tiga bodyguard, atau melamun di depan jendela dengan tatapan yang kosong. Semua itu yang Mitsuya lakukan di hari dimana ia tenang.
Namun ada juga hari dimana ia memberontak secara impulsif, berusaha menusuk salah satu pelayan di sana dan berakhir melukai dirinya sendiri. Kalau ia kumat, seorang pelayan akan memaksanya menelan pil penenang dengan dosis yang tinggi sampai ia pingsan. Di hari-hari seperti ini, Ran akan pulang dengan amarah meletup-letup. Ia akan memarahi semua pelayan di sana, kemudian menghukum Mitsuya dengan menyetubuhinya saat ia masih di bawah pengaruh obat bius, membuatnya hanya bisa menangis dalam diam sementara tubuhnya tetap digunakan sebagai pemuas birahi alpha tersebut.
Semenjak insiden itu, di mansion, tepatnya pada tempat-tempat yang bisa dijamah oleh Mitsuya, tidak ada benda tajam sama sekali. Mitsuya marah waktu itu, dia kehilangan satu kegiatan favoritnya; memasak. Ia hancurkan seluruh barang di dapur hari itu karena marah, lalu berakhir dengan suntikan bius lagi.
Lalu ada hari dimana Ran pulang kerja saat ia sudah setengah terlelap. Biasanya pria itu langsung ikut berbaring di sampingnya, memeluknya sampai tertidur. Terkadang ada sisi Mitsuya yang ingin mencekik pria ini di tidurnya, dicekik sampai nyaris mati, seperti yang selama ini Ran lakukan padanya. Namun sisi lainnya justru berakhir bergelung di rengkuhan sang alpha. Setidaknya di saat-saat seperti inilah Mitsuya bisa merasakan aman.
Mitsuya itu tidak bisa dibilang cinta dengan Ran, ia benci, sungguh. Namun di sangkar emas yang dibangun kokoh untuk memenjarakannya ini, Mitsuya bisa mengais afeksi dari siapa lagi kalau bukan Ran?
Tapi Ran itu tidak dapat ditebak. Satu hari dia menghangat, lalu di hari selanjutnya ia bertingkah seperti iblis. Memaksanya untuk berhubungan seks, menamparnya karena melawan, mengurungnya di kamar seharian karena berhasil melayangkan tinju ke wajah suaminya itu, dan masih banyak lagi.
Temperamen Ran yang tidak menentu itu berdampak besar pada keadaan mental Mitsuya. Ada kalanya Mitsuya hanya berdiam diri di ruang tengah, menatap lampu gantung di atasnya dan mulai menghitung berapa jumlah kristal yang berada di sana. Atau terkadang, Mitsuya akan menangis tersedu-sedu sampai matanya membengkak. Mungkin efek obat-obatan yang selama dipaksa untuk ia konsumsi, bisa juga karena ia sudah gila.
Bagaimana tidak gila ketika Mitsuya sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun kecuali pada cermin? Para pelayan itu hanya bungkam, seolah-olah menganggapnya sebagai hewan peliharaan Ran yang harus diurus saja, tidak dianggap sebagai manusia. Lalu Ran? Pria itu bahkan tak bisa diajak berkomunikasi.
Mitsuya ingin mati saja, sungguh.
Namun pada hari ke-21 dia dikurung, tepatnya hari dimana Mitsuya berencana memecahkan kaca untuk mengakhiri nyawanya, ia justru memuntahkan isi perutnya pada pukul 4 dini hari. Saat itu Ran tidak berada di mansion — entah kemana. Sebenarnya perasaan Mitsuya sudah tidak enak dari tiga hari yang lalu; seperti ada yang janggal dengan tubuhnya. Maka dari itu Mitsuya mengambil testpack, hanya untuk temukan dua garis merah di benda tersebut.
Mual yang Mitsuya rasakan semakin menjadi-jadi. Mengandung anak Haitani Ran? Yang benar saja, membayangkan saja membuatnya muak. Anak ini kelak bisa menjadi malapetaka seperti ayahnya! Pada akhirnya, Mitsuya merahasiakan kehamilannya dari Ran dan seluruh pelayan di mansion sialan itu.
Apa untungnya kalau Ran tahu? Anak ini justru semakin menguatkan alasan Ran agar menahan Mitsuya di mansion ini. Maka dari itu, ia ingin anak ini mati. Tidak peduli lagi jika dia akan dihardik semesta, ia sama sekali tidak peduli.
Tapi Mitsuya tetap Mitsuya, hatinya terlalu lembut, tekadnya terlalu ciut. Mana tega dia membunuh bayi dalam kandungannya ini? Nyalinya tidak sebesar itu.
Waktu terus berjalan, dan Mitsuya semakin cemas. Kehamilan itu bukan sesuatu yang bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, Ran pasti tahu. Rasa panik dan takut itu berkumpul menjadi satu, membuat mental Mitsuya semakin hancur. Ia jadi sering melawan Ran, melemparkan barang-barang kepada para pelayan karena kekalutannya.
Puncaknya tepat sebulan Mitsuya ditahan di mansion. Ran pulang kerja dengan seluruh tubuhnya penuh oleh berbagai feromon omega asing yang tak Mitsuya kenal. Dasarnya sekarang Mitsuya sudah hilang akal. Dia berjalan cepat ke arah Ran, menampar pria itu tanpa peduli responnya.
“SELINGKUH SAMA SIAPA LAGI, KAK?!”
PLAK!
Tamparan itu cukup keras sampai-sampai ujung bibirnya berdarah. Mitsuya biasanya akan langsung menciut ketakutan, namun sekarang, omega itu justru menoleh cepat ke Ran, pandangi alpha itu dengan nyalang.
“Udah? KURANG! LAGI! YANG KERAS!”
“MITSUYA!”
“KAMU DIEM, KAK! AKU CAPEK! AKU CAPEK! AKU MAU KELUAR DARI TEMPAT INI! LEPASIN AKU! LEPASIN AKU!” serunya sambil menangis hebat. “AKU BENCI BANGET SAMA KAKAK! MENDING KAK RAN BUNUH AKU AJA SEKARANG!”
Dan Ran langsung menarik kerah bajunya, membantingnya ke tembok sebelum mencekik leher Mitsuya dengan kencang sampai omega itu terbatuk-batuk. Pikirnya, terus, terus aja sampai gue mati. Ia lebih baik mati di tangan Ran daripada harus susah-susah kumpulkan nyali untuk akhiri nyawanya sendiri.
Namun saat Mitsuya hampir hilang kesadaran, tiba-tiba Ran melepasnya, lalu meninju tembok di samping Mitsuya sampai retak.
“Kunciin di kamar,” perintah Ran pada salah satu pelayannya.
“KENAPA?! KENAPA BERHENTI?! BUNUH AKU AJA, RAN! KENAPA RAGU?! AKU MENDING MATI DARIPADA HIDUP KAYAK GINI!”
Ran tersenyum remeh.
“Cuma aku yang bisa nentuin hidup kamu, Mitsuya. Dan buat sekarang, kamu gak boleh mati.”
Detik itu, Mitsuya paham bahwa satu-satunya hancurnya Haitani Ran adalah kematiannya.
Sudah genap tiga bulan Mitsuya terpenjara di mansion ini. Kesehatan fisik maupun mentalnya semakin parah. Dia lebih pantas disebut mayat hidup daripada manusia. Kulitnya semakin pucat, tubuhnya hanya bersisa tulang belulang saja. Menyedihkan.
Konon, Mitsuya Takashi sudah mati di hari Ran menahannya di sangkar emas ini.
Semua pelayan di mansion itu mulai iba melihat pasangan dari Tuan Muda mereka ini. Apalagi para pelayan yang bertugas memandikan tubuh Mitsuya. Kurus dan kering, hanya perutnya sana yang terlihat sedikit menonjol. Setiap hari, Mitsuya hanya akan duduk di taman, melihat ke arah langit sampai hari mulai petang.
Terkadang, Mitsuya akan tertawa, lalu menangis kencang. Waktu ditanya oleh salah satu pelayan di sana, Mitsuya berkata dia melihat kelinci lucu berkeliaran di dapur mansion. Tentu saja semuanya khawatir — tidak ada apa-apa di sana. Kepala pelayan melaporkan ini kepada Ran, namun alpha itu justru mendecih, hanya merespon singkat,
“Udah gila dia.”
Benar. Mitsuya sudah gila sekarang. Ia sering berhalusinasi, bicara sendiri seolah dia punya teman. Terkadang juga menjerit histeris, sumpah serapahi Ran yang sekarang semakin jarang pulang karena menganggap Mitsuya sinting.
Para pelayan di sana juga manusia, mereka tidak tega ketika melihat keadaan Mitsuya seperti itu. Kalau diminumi obat-obatan, takutnya kondisi Mitsuya semakin parah; bisa-bisa overdosis mengingat begitu banyak pil penenang yang dikonsumsi omega itu selama beberapa bulan terakhir.
Maka saat Ran tidak berada di rumah, kepala pelayan mengizinkan Kazutora yang setiap hari mengunjungi mansion Ran untuk meminta masuk dari luar gerbang meski tak pernah diizinkan.
Tidak, kepala pelayan tidak bermaksud mengkhiati Tuan-nya. Ia hanya ingin, setidaknya, Mitsuya ada teman berbincang. Mungkin dengan begitu, keadaannya akan membaik.
Reaksi pertama Kazutora saat melihat Mitsuya adalah menangis sejadi-jadinya.
Ini adalah Mitsuya Takashi, sahabatnya yang merupakan orang yang paling kuat di dunia ini. Beban menggunung di bahunya pun sanggup ia pikul dengan senyum manis di bibirnya. Hati Mitsuya juga seluas dan sedalam lautan, mau merengkuh Kazutora yang merupakan mantan narapidana sebagai sahabatnya.
Namun sekarang? Senyum itu tidak terlihat di mana-mana. Bahkan sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan di netra lembayung yang selalu mengingatkan Kazutora terhadap senja. Kosong dan hampa.
Mitsuya Takashi sudah mati.
“Maafin gue… G-gue gak tau, Mitsuya… Gue — ”
Mitsuya menoleh, kemudian tersenyum sambil berusaha meraba Kazutora.
“Eh? Kazu? Gue bisa pegang lo sekarang? Biasanya gak bisa, loh?”
Tangisan Kazutora semakin kencang. Sejauh apa Haitani Ran telah menyiksa Mitsuya? Kenapa begitu tega? Sahabatnya ini salah apa? Kazutora sama sekali tidak paham.
“Cuya, ayo keluar dari sini, ya? Cuya, lo — fuck, gue temen gak becus. Ayo kita keluar sekarang!”
Mitsuya menggeleng lemah. “Percuma, Kaz, Kak Ran bakal nyari gue walaupun gue kabur ke ujung dunia sekalipun.”
Lalu Mitsuya mulai menceritakan segalanya tentang Ran. Ia curahkan segala kisah tragis yang selama ini harus ia simpan seorang diri. Bagaimana ia jalani hidupnya selama tiga bulan ini seperti di neraka.
“Gue selalu berharap gue udah mati pas bangun dari tidur, Kaz.”
Kazutora ingin bertanya, kenapa tidak mati saja? Hidup seperti ini sama saja dengan mati perlahan, lebih baik langsung saja, bukan?
“Tapi gue gak bisa mati, Kaz… Gue hamil… Gue gak mau bunuh anak gue lagi…”
Namun tatapan Kazutora sudah kosong. Isi kepalanya berantakan. Ia tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Terlalu kejam. Terlalu keji. Sahabatnya ini tidak pantas mendapatkan semua ini.
Edarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tiba-tiba Kazutora berdeham kencang.
“Cuya, keliling, yuk?”
Sepanjang kaki mereka melangkah di atas marmer mewah ini, Mitsuya hanya bungkam. Langkahnya sangat lamban, seperti orang yang tidak punya semangat untuk hidup. Kazutora tidak bisa melihat Mitsuya seperti ini.
“Kazutora, gue sebenernya cuma pingin bebas,” ujar Mitsuya tiba-tiba. “Gue capek, Kaz.”
Mati-matian Kazutora berusaha tahan air matanya. Bagaimana tidak? Mitsuya berkata ‘ingin bebas’, namun kakinya terbelenggu erat oleh rantai, membuat langkahnya terseret-seret, seperti orang yang sudah berhenti berharap untuk berada di dunia ini.
Langkah mereka terhenti, Kazutora menatap langit malam yang luas itu, lalu menunjuknya.
“Mitsuya, inget ‘kan, gue pernah bilang kalo lo itu mirip burung merpati? Karena merpati itu simbol cinta dan kedamaian. Dan lo itu selalu bebas. Lo gak biarin Kak Taiju ngekang lo, lo milih karir lo sendiri, lo seneng-seneng dengan cara lo sendiri. Freedom looks good on you, Mitsuya,” tutur Kazutora sambil mengusap air matanya.
Mitsuya memandang langit malam bertabur bintang itu dengan tatapan kosong.
“Liat, Mitsuya, seluruh langit itu, semuanya, itu punya lo. Iya, lo seberhak itu.”
Mitsuya menoleh ke arah Kazutora, “iya?”
“Iya! Lo gak pantes dikurung begini. Iya, sangkarnya emang cantik, ya? Tapi tempat lo di sana Mitsuya, di langit luas di mana lo bisa meluk segala bebas dan bahagia lo.”
Mitsuya lagi-lagi memandang lurus ke arah langit. Kali ini ada secercah cahaya di mata itu.
Kemudian, Kazutora berbisik, “jadi, terbang, Mitsuya. Terbang dan keluar dari sangkar ini.”
Maka di malam yang dingin dan sunyi itu, Mitsuya Takashi memutuskan untuk terbang. Piyama putih gading itu tampak kontras dengan gelapnya langit di malam itu. Mitsuya tampak begitu indah, kepakkan sayapnya di angkasa dengan begitu elok.
Lalu ada Haitani Ran yang sedang menapak di tanah, membelalakkan mata ketika melihat Mitsuya-nya sedang berdansa di antara awan dan bintang-bintang.
Ada suara seruan yang lantang, lalu diikuti oleh suara benturan yang menegangkan.
Sementara Hanemiya Kazutora menyaksikan semua itu dari atas — menyaksikan bagaimana tubuh Mitsuya berceceran di atas kubangan darah, sementara Ran si dungu berusaha menyusun kepingan dari tubuh yang tak lagi bernyawa itu dengan terburu-buru.
Ini adalah akhir yang indah. Mitsuya menutup kisahnya dengan menari di atas nirwana.
“Kamu bebas dari sangkarmu, Mitsuya.”
Sangkar; FIN