ayiin
6 min readFeb 7, 2022

Rumah Mereka

Haitani Rindou betul-betul kesulitan menerima informasi ketika hari itu, Ran menyuruhnya untuk mengosongkan jadwalnya besok malam. Awalnya Rindou menduga bahwa Ran akan mempertemukannya dengan salah satu rekan kerja yang hendak ‘dijodohkan’ padanya, namun ketika esok hari tiba, bukan hanya Rindou saja memakai baju formal dan rapi—Ran juga. Kakaknya itu memakai salah satu setelan jas koleksinya yang paling mahal.

Rindou baru bertanya ketika keduanya berada di mobil.

“Kita mau kemana, sih?”

Ran terkekeh, lagaknya seperti orang yang baru saja ketiban rezeki nomplok. Rindou semakin curiga, apa yang membuat suasana hati kakaknya begitu bagus?

“Mau ketemu calon kakak iparnya Inyo,” jawabnya. Awalnya Rindou hanya manggut-manggut paham, namun sedetik kemudian, ia mendelik lebar.

Siapa katanya? Kakak ipar? Apa kakaknya ini sudah kehilangan akal sehatnya karena terlalu pusing memikirkan perusahaan? Pasti bercanda, pikir Rindou.

Namun ternyata, Ran betulan serius ketika kini, mereka berdua sedang duduk di meja yang sama dengan tiga orang asing; satu laki-laki dan dua perempuan. Rindou mengernyitkan dahinya, bingung. Siapa orang-orang ini? Apa Ran serius ketika dia bilang Rindou akan memiliki kakak ipar? Siapa? Apakah laki-laki itu? Apa jangan-jangan… Salah satu dari perempuan itu? Kalau benar, Rindou harus melaporkan kakaknya ke polisi karena ia yakin salah satu dari perempuan di hadapannya ini masih di bawah umur.

“Nyo, ini Takashi. Takashi, ini Rindou,” Ran membiarkan Rindou berjabat tangan dengan Mitsuya.

“Ini Luna sama Mana, ya?” tanya Ran, dua gadis di hadapannya itu tersipu malu sambil mengangguk. Ya, wajar, mereka sedang dihadapkan oleh visual dewa seorang Haitani Ran. Dulu awal Mitsuya bertemu dengan Ran juga salah tingkah bukan main.

“Halo,” cicit Mana, wajahnya makin memanas ketika tangan Ran menjabatnya.

Ran tertawa, kemudian berkata, “adek-adek kamu lucu banget, Taka. Cantik-cantik, emang gennya, ya?”

“Iya, lah? Ah, Rindou, salam kenal, yaaa. Panggil aja Takashi,” Mitsuya tersenyum begitu manis ke arah Rindou.

“Uh… Jadi… Lo beneran pacarnya abang?” tanya Rindou yang disambut gelak tawa dari Mitsuya. Sementara Luna dan Mana saling adu tatap penuh antusiasme. Mungkin di pikiran mereka, wah, Mas Taka dapet orang tajir!

Ran meraih tangan Mitsuya, lalu mengecup punggung tangan omega itu. “Iya, Nyo, ini pacar abang.”

Sepanjang makan malam terlaksana, Rindou tidak banyak bicara. Memang dasarnya dia ini pendiam, jadi dia lebih banyak observasi ke subjek yang kini menjadi pusat perhatiannya.

Mitsuya Takashi, wajah familiar ini ternyata adalah manajer dari AKUMA. Kalangan bawah, batin Rindou. Tata cara meja Mitsuya cukup bagus, setidaknya tahu basicnya. Namun jelas sekali kalau Mitsuya bukan dari kalangan menengah ke atas. Meski tubuhnya dibalut pakaian bermerek mewah, tetap saja tidak menghilangkan fakta bahwa lelaki di samping kakaknya itu adalah orang biasa.

Menggaet kekasih dari latar belakang biasa-biasa saja setelah gempar kabar Ran dekat dengan aktris setingkat Haiba Alisa, apa kakaknya itu benar-benar menjadi bodoh sekarang? Apa kata keluarga besar mereka kalau tahu fakta ini? Lagipula, apa bagusnya Mitsuya-Mitsuya ini selain parasnya yang oke? Rindou yakin seumur hidup Ran telah dikelilingi omega cantik dan tampan. Jadi, apa yang membuat Ran memilih Mitsuya? Tidak mungkin karena cinta, ‘kan? Terakhir kali Rindou cek, kakaknya itu terlalu bodoh perkara perasaan manusia.

Apa Ran diguna-guna? Diancam? Atau dibodohi? Jelasnya, Rindou punya keyakinan kalau Mitsuya ini hanya memanfaatkan harta dan tahta sang kakak. Menjadi ‘pangeran’ dalam satu malam karena berpacaran dengan seorang Haitani Ran, tentunya menyenangkan.

Tapi sepanjang mereka menyantap makanan mereka, Rindou tidak menemukan apa-apa kecuali ketulusan dan kekaguman di mata Ran maupun Mitsuya. Ran akan dengan telaten memotongi daging milik Mitsuya, sementara Mitsuya akan tertawa tiap kali Ran lontarkan lelucon. Tak jarang, keduanya akan bertukar pandang penuh arti, dengan jemari yang saling bertaut di bawah meja. Mitsuya akan menatap Ran seolah-olah alpha itu lah yang melukis langit senjanya.

Orang buta pun bisa melihat keduanya sedang dimabuk asmara, dan Rindou sendiri tidak bisa mengelak kebenaran itu. Kakaknya sangat bahagia, bahkan Rindou yakin ia tidak pernah melihat kakaknya sebahagia ini.

Mungkin… Kakaknya benar-benar menemukan cinta sejatinya, dan Rindou turut bahagia. Setidaknya walaupun kisah cintanya mengenaskan, kakaknya mempunyai cinta yang tulus dan membahagiakan. Kakaknya itu walaupun sedikit bodoh dan keras kepala, dia berhak mendapatkan cinta yang baik di hidupnya.

Saat Rindou bertemu dengan Mitsuya di toilet, laki-laki bertanya;

“Kak Takashi, kenapa pilih abang?”

“Gak tau juga, Rin, soalnya yang milih dia hati gue.”

Detik itu juga, Rindou merasa, ini orang keren banget? Sangat keren, sampai-sampai Rindou ragu kalau kakaknya yang menjadi pihak dominan di hubungan ini sebab Mitsuya sangat tampan dan maskulin. Sekali bicara, maka Ran akan mematuhinya seperti anjing yang terlatih.

Saat pulang, Rindou semakin yakin bahwa Mitsuya ternyata terlalu ‘sempurna’ untuk sang kakak.

“Lo beruntung, sih, bang. Mau-mau banget Kak Taka sama lo? Jangan macem-macem, loh, bang,” Rindou berujar sambil memasuki taksi karena kakaknya dan kekasihnya punya ‘urusan lain’ setelah ini. Luna dan Mana pun juga diantar ke hotel tempat mereka bersinggah menggunakan sopir dari Ran.

Setelah kepergian adik-adik mereka, Ran membawa Mitsuya ke penthouse miliknya. Sebelum masuk, Ran meraih tangan Mitsuya, tempelkan ibu jari laki-laki itu di akses izin masuk penthouse nya. Mitsuya terkejut, kemudian menatap Ran lama.

“Uh… Maksudnya?”

Penthouse ini sekarang rumah kamu juga, Takashi. Nama kamu juga ada di surat hak milik.”

Mitsuya memandang Ran tidak percaya. “Ini… Too much gak, sih, Ran? Hubungan kita aja belum lama…?”

“Tapi aku pingin hubungan kita bertahan lama. Aku mau habisin waktu yang lamaaaaa banget sama kamu,” Ran menangkup wajah Mitsuya, kemudian mencium kening omega itu. “Aku mau kita abadi, Takashi.”

Haitani Ran menginginkan ‘keabadian’ bersama Mitsuya, bukankah itu sama saja dengan memintanya untuk habiskan sisa waktu bersama alpha itu? Apa ini sebuah lamaran terselubung? Namun belum juga Mitsuya menelan kata-kata Ran, pria itu sudah membawanya masuk ke dalam.

Penthouse itu nyatanya masih belum terisi sepenuhnya, sangat kosong dan monoton dengan warna putih gading dan aksen kayu di beberapa bagian. Interiornya sangat indah, namun terlalu hampa jika dijadikan sebuah rumah. Kemudian, Ran memeluknya dari belakang, kecup lehernya singkat dan tenggerkan kepala di bahu Mitsuya.

“Gimana? Suka?”

“Luas banget, tapi kosong banget gak, sih?”

“Mm, sengaja kosong, soalnya aku mau kamu yang milih furniturnya. Kalo mau renovasi juga boleh. Pokoknya aku mau tempat ini jadi tempat yang ideal dan nyaman buat kamu tinggalin, Takashi.”

Mitsuya melepas rengkuhan Ran, lalu menghadap ke alpha itu. “Ran… Aku bahkan belum ngiyain mau pindah ke sini atau nggak?”

“Hey, take it easy, bunny. Aku nggak minta kamu pindah ke sini dan tinggal sama aku. Jelas itu perlu diskusi lebih panjang, ya, ‘kan? Aku cuma mau nunjukin kalo ini rumah kamu yang lain. Entah rumah kedua atau ketiga, pokoknya ini bisa jadi tempat kamu pulang. Karena tempat ini punya kita, Takashi.”

Ada rasa hangat menyelimuti hati Mitsuya. Jika bicara rumah, maka yang terbayang pertama adalah rumah kecil dan sederhananya, dihuni oleh ibu dan kedua adik perempuannya. Namun sekarang, selain keluarganya itu, Mitsuya akan teringat ‘Haitani Ran’ jika membahas tentang rumah.

“Takashi, akhir-akhir ini, aku bikin salah ke kamu, nggak? Atau pas dinner tadi, apa ada perlakuanku yang gak kamu suka? Atau sesuatu yang nyakitin kamu?” Mitsuya sederhananya hanya menggeleng. “Beneran?”

Mitsuya mengangguk yakin, lalu menyisiri surai violet milik Ran perlahan.

“Beneran, Ran. You’re so good, so perfect for me. Makasih karena mau jadi rumahku.”

Ran menggeleng, memeluk tubuh Mitsuya erat sebelum bubuhi banyak kecupan di wajah omega itu.

“Nggak, aku yang makasih. Makasih karena udah mau percaya sama aku,” tukasnya. “Takashi, kalo aku bikin salah, atau sekiranya aku nyakitin kamu di luar kesadaranku, tolong bilang, ya? Karena aku bersedia buat benahin diriku sendiri demi kamu. Ngerti, Takashi?”

Mitsuya mengangguk, “iya, ngerti.”

Good. Jangan diem aja kalo aku bikin salah, langsung tegur aja gak apa-apa, ya? Aku sayang banget sama kamu, Takashi, aku gak mau bikin kamu kecewa…”

Malam itu, mereka bercinta dengan Ran yang membisikkan kasih dan sayang di setiap sentuhannya. Mitsuya biarkan dirinya larut dalam pesona Haitani Ran, biarkan tubuhnya dijamah oleh jemari panjang alpha itu, dan biarkan akal sehatnya diambil oleh kekasih hatinya itu. Ran, Ran, Ran, Mitsuya pastikan nama itulah yang kini kuasai jiwa dan raganya.

“Aku cinta kamu, Takashi,” bisik Ran ketika tubuh Mitsuya sudah lemas.

Mitsuya bergumam, “aku juga,” di sela-sela kantuknya.

Saat Mitsuya bangkit berdiri dari posisi tidurnya untuk mengambil ponselnya yang tergeletak jauh dari ranjangnya, ia tiba-tiba merasakan cairan putih meleleh ke daerah selangkangannya, lalu turun ke kakinya.

Dengan mata membulat, Mitsuya menoleh ke arah Ran.

“RAN! KAMU GAK PAKE KONDOM?!”

Ran, yang juga mengantuk pun menjawab, “pake kok?” sambil meraih bekas kondom yang sudah ia ikat dari lantai. Lalu, sesuatu menetes dari sana.

Ran, yang kantuknya menghilang, langsung duduk dengan tegap.

Fuck, kondomnya bocor.”

No responses yet