Repetisi Masa
— dari semesta ‘Sangkar’
Bagaimana jika Haitani Ran, si pendosa yang akhirnya temui ajalnya, terbangun lagi di masa lalu? Di masa ketika Mitsuya Takashi masih bernyawa.
Tahun ini, usianya menyentuh kepala tujuh. 71 atau 73 — Ran bahkan sudah tidak mengingatnya lagi. Pemuda perkasa yang konon dulu hobi hancurkan hati pria maupun wanita ini, sekarang sudah tumbuh menjadi si tua bangka yang menyedihkan. Hidup panjang namun kesepian, hanya seorang diri bersinggah di atas segunung harta melimpah, yang tiap hari harus tenggelam di antara lautan dosa-dosanya.
Dibilang hidup, namun netra kecubungnya tak lagi bernyawa. Dibilang mati, jejak kakinya masih menapak di bumi pertiwi ini.
Haitani Ran adalah sebuah manifestasi dari ada sekaligus ketiadaan.
Setelah puluhan tahun dijalani dengan kesendirian yang mampu mencekik Ran tiap detiknya, pada hari itu, ia meregang nyawanya dengan susah payah karena tubuhnya yang digerogoti oleh bermacam-macam penyakit; sebuah akhiran tragis bagi si pendosa ulung yang masih memohon diberi ampun di hembusan nafas terakhirnya.
“Mitsuya, jangan bertemu lagi denganku.”
Karena Ran tahu, di kehidupan manapun, ia akan jatuh hati dengan sesosok Mitsuya Takashi.
Ran selalu gambarkan neraka di kepalanya saat ia pejamkan matanya. Jadi ketika ia mati dan temukan dirinya mengais nafas dengan susah payah, ia sudah siap disuguhkan pemandangan api dan ribuan siksaan di depan mata.
Namun nihil.
Yang Ran lihat sekarang justru ruang kantornya yang masih miliki desain interior lama.
Seketika Ran bangkit dari kursinya, melihat sendiri bagaimana tangannya tidak lagi keriput, tubuhnya masih kuat dan gagah seperti masa mudanya, tiap langkahnya pun tegas dan penuh intimidasi, tidak lamban seperti siput yang menua. Apakah ini yang orang-orang sebut dengan memutar balik waktu? Atau Ran hanya diberi kilas balik masa lalunya sebelum tiba di gerbang ajalnya?
Entah apa maksud dari semua ini, yang jelas, Ran mempunyai kontrol atas tubuh dan tindakannya sekarang. Itu artinya, dia tidak diberi ‘lihat’ masa lalunya saja, tapi juga bisa menjalankannya. Berarti dia bisa…
“Ngubah masa lalu?”
Buru-buru Ran melihat ke arah tangannya, tersenyum lega ketika tak temui cincin emas yang melingkar di jari manisnya itu. Bagus. Itu artinya, dia belum menikah dengan Mitsuya.
“Berarti, Mitsuya sekarang di mana…” gumamnya, kebingungan karena dia tidak tahu pasti ini apakah ia kembali ke waktu ke masa ia sudah bertemu Mitsuya, apa belum.
Semoga yang kedua, pikir Ran. Jika ini adalah masa di mana Ran belum bertemu dengan Mitsuya, maka ia bisa menjauhkan omega itu darinya. Jauh, sangat jauh dari jangkauannya. Ia akan mendoakan Mitsuya agar bisa menikah dengan alpha yang baik — bukan Shiba Taiju, sebab ia dengar-dengar dulu pria itu melakukan kekerasan di rumah tangganya sendiri. Bukan berarti Ran lebih baik dari pria itu, dia paham dirinya ini terendah dari yang paling rendah. Namun Mitsuya tidak boleh jatuh dalam perangkap yang sama. Omega itu harus bebas, harus bahagia dan pertahankan senyum manis di paras cantiknya itu.
Mungkin alasan Ran terbangun di masa lalunya adalah sebuah bentuk kemurahan hati Tuhan untuk memperbaiki hidup Mitsuya yang telah ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Maka dari itu, meski hatinya kini mendamba untuk menyentuh sosok Mitsuya, ia tidak peduli. Ia pastikan Mitsuya hidup dengan aman dan damai kali ini.
Namun saat Ran menatap refleksinya di kaca jendela raksasa ruang kantornya, matanya membelalak lebar.
Rambutnya berwarna violet, bukan pirang. Ini adalah gaya rambut yang ia miliki setelah bertemu dengan Mitsuya. Itu artinya, sudah pasti Mitsuya bekerja di kantornya ini. Tapi belum menikah, ‘kan? Yang penting belum menikah! Ia bisa menugaskan Mitsuya ke cabang perusahaannya di kota lain, jauh dari Ran. Maka dari itu ia buru-buru memanggil sekretarisnya ke dalam ruangan.
“Uh, itu… Staf departemen pemasaran yang namanya Mitsuya Takashi, tolong dipindahtugaskan ke cabang kita di luar kota.”
Ada tatapan aneh dari sekretarisnya, kemudian pria yang setahun lebih muda darinya itu berdeham.
“Pak, begini…” sekretarisnya itu membenahi posisi kacamatanya. “Kenapa bapak mau memindahtugaskan suami bapak sendiri? Kalian mau pindah, kah?”
Kini jantung Ran serasa jatuh dan berhamburan di tanah. Apa katanya? Suami? Dia dan Mitsuya sudah saling mengenal dan terikat? Lalu, apakah ini sebelum atau sesudah ia mengurung Mitsuya di mansion? Semoga sebelum. Apa saja pokoknya bukan setelah ia mengurung Mitsuya di mansion. Dan juga bukan saat anak pertama mereka tiada.
Rasanya mual. Ran berniat memperbaiki hidup Mitsuya, namun ternyata, ia telah merusak hidup omega itu. Jadi, untuk apa Ran terbangun di masa ini jika ia dalam perjalanan merusak Mitsuya Takashi lagi? Semesta pikir, ia mau menyaksikan dosa terbesarnya lagi dan lagi? Ia lebih baik mati berulang kali daripada melihat Mitsuya terbang seperti malam itu.
Tapi jika memang Ran sudah menikah dengan Mitsuya, di mana cincinnya? Merogoh saku celana dan jasnya, ia tetap gagal temukan benda emas melengkung itu. Dimana, dimana, dimana, pikirannya sekarang kacau. Ia mencoba mengingat-ingat; apa alasan cincin itu dilepas di waktu ini? Karena seingat Ran, ia tidak akan melepas cincin kawinnya kalau tidak sedang —
Bertemu dengan para simpanannya.
Membuka laci mejanya, di sana ia temukan cincin kawinnya tergeletak manis di atas tumpukan dokumen-dokumen penting. Bisa-bisanya ia menelantarkan cincin ini. Padahal di masa depan, hanya benda ini yang menjaga kewarasannya.
Tiba-tiba ada bunyi pintu diketuk, sebelum terbuka dan menampakkan Inui Seishu.
Dan Ran mulai mengingat hari apa ini. Ia ingat bagaimana Inui memakai kemeja lavender yang mengingatkannya pada surai rambut Mitsuya. Ini adalah hari dimana ia pertama kali menjalin hubungan terlarang dengan salah satu bawahannya itu.
“Pak Ran, udah lama nunggu?”
Kepalanya berdenyut, senyuman di wajah Inui seperti deja vu yang Ran harap tak pernah terjadi. Perasaannya tidak enak. Kalau ini memang hari itu, berarti pertemuan antara dirinya dan Inui Seishu tidak boleh terjadi.
“Uh, Inui, hari ini saya sibuk dan ada keperluan mendadak,” Ran berujar, sedikit kikuk sebab sudah lama sekali rasanya tidak berbincang dengan orang setelah pensiun di usia 60-nya.
Inui tampak kesal dengan ujaran Ran barusan, karena omega itu kini sedang melipat tangan ke depan dada dengan alisnya yang menjulang sebelah, tatap Ran dengan tajam. Kalau ini Ran yang dulu, ia bisa mencekik Inui karena sudah menatapnya seperti ini. Pasalnya, Ran yang sekarang sudah jauh lebih tenang setelah habiskan bertahun-tahun membayar segunung dosanya. Maka dari itu, Ran hanya bisa menghela nafas dan memijat pelipisnya sekilas.
“Inui, saya — ”
“Mana bisa gitu?! Bapak duluan yang datengin saya, kok sekarang bapak jadi ribet gini, sih?!”
“Inui, cukup. Saya buat kesalahan dan gak seharusnya memulai hubungan apa-apa sama kamu. Seperti rumor yang beredar, saya sudah menikah, Inui. Jadi tolong, jangan hubungi saya lagi.”
Tentu saja Inui Seishu murka, buru-buru berjalan dekati Ran dan memohon dengan wajah cantiknya itu, abaikan sekretaris Ran yang berdiri mematung di sana.
“Pak? Jangan bohong! Bapak bilang bapak belum menikah! Kalau emang saya ada salah, bilang, Pak! Saya bisa kok, benerin semua itu? Gak perlu bohongin saya, Pak…”
Ran sebenarnya ingin mendorong Inui dengan sekuat tenaga. Bagaimana bisa ia baru sadar sekarang kalau Inui sangat gencar mendapatkannya? Semua tampang ‘jual mahal’nya itu hanyalah topeng agar Ran semakin tertarik pada omega ini. Nyatanya, Inui Seishu sangat mengincar harta dan kedudukannya. Ia masih ingat betapa menjijikkannya omega ini dahulu, berusaha menggantikan posisi Mitsuya setelah kepergiannya.
“Inui, saya serius. Kalau kamu nggak mau dipecat, tol — ”
Tiba-tiba mata Ran menangkap seseorang bersurai lila mengintip sekilas dari balik pintu, sebelum akhirnya menghilang dengan cepat. Mata Ran melebar, mendorong Inui dan segera berlari menyusul sesosok itu. Jika benar hari ini adalah di mana ia kehilangan anak pertamanya, maka Mitsuya sekarang berlari ke tangga darurat.
Semoga belum terlambat, batin Ran dengan penuh kecemasan. Karena Ran ingat apa yang terjadi setelah ini — perbuatan kejinya yang tidak termaafkan meski berbagai cara telah Ran lakukan untuk memohon ampun. Meski Ran yang sekarang tidak mungkin berlaku seperti itu, ia tetap saja tidak ingin Mitsuya merasakan betapa sakitnya kehilangan anak.
Ran ingin menyelamatkan Mitsuya dan anaknya.
Di tangga darurat, Ran melihat Mitsuya menuruni tangga dengan terburu-buru. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mitsuya hilang keseimbangan — nyaris terjatuh kalau saja tangan Ran tidak menarik tangan Mitsuya dan merengkuh tubuh ringkih itu dengan erat.
Tentu saja Mitsuya terkejut, terlebih saat yang menolongnya adalah Ran.
Mereka hanya membeku di posisi itu untuk waktu yang lama, membuat Mitsuya kebingungan lantaran Ran tidak mengeluarkan sepatah kata apapun sekarang. Bukannya pria itu seharusnya memarahinya karena nyaris membahayakan nyawa anak mereka? Jika Mitsuya jatuh, besar kemungkinannya untuk alami keguguran. Maka dari itu Mitsuya sudah bersiap jika Ran marah besar dan menamparnya saat ini juga.
Namun setelah 10 menit lewat, Ran hanya memeluknya, tenggelamkan wajah di ceruk leher Mitsuya. Pada akhirnya. Mitsuya memberanikan diri bertanya, “Kak Ran?”
Ran membalas, “hm?” sebelum akhirnya melepas rengkuhannya.
Alangkah terkejutnya Mitsuya saat ia disuguhi dengan pemandangan Ran menangis. Matanya merah, aliran air matanya terlihat jelas hiasi pipinya. Mitsuya pun bertanya-tanya, ada apa?
Sementara Ran sekarang sedang merasakan emosi yang membuncah di dada. Perasaan lega, senang, kalut, dan takut bercampur aduk menjadi satu. Mitsuya nyaris celaka di depan matanya dan ia berhasil menyelamatkan suaminya itu. Sangat beruntung. Namun ia tetap kalut karena banyak skenario seperti; bagaimana jika Ran gagal selamatkan Mitsuya detik itu? Bagaimana jika ia harus menyaksikan Mitsuya lagi-lagi tergeletak di antara kubangan darah seperti malam itu?
Bayangan-bayangan itu yang membuat Ran menitikkan air mata, ditambah dengan fakta bahwa Mitsuya sekarang sangat nyata, bisa ia sentuh dan rengkuh tanpa delusi semata. Ia tahu dirinya terlalu hina bahkan untuk sekadar berbagi oksigen dengan Mitsuya sekarang, namun Ran terlampau rindu.
“Kak Ran? Kenapa nangis?”
Suara ini… Suara yang begitu lembut, yang kemudian berubah menjadi suara parau yang hanya bisa jeritkan amarah padanya. Lalu wajah ini, wajah yang Ran sukar lupakan meski ingatannya sudah terkikis oleh usia. Paras elok Mitsuya Takashi kekal dalam ingatannya, tak segan untuk dihapus sebagai pengingat dosa terbesar dalam hidupnya.
“Kak Ran?”
Ran berdeham, usap air matanya dengan cepat dan menata ekspresi di wajahnya.
“Mitsuya,” panggilnya. Hatinya sangat sakit sekarang, teringat puluhan tahun memanggil nama ini namun tiada satupun yang membalas. “Hati-hati, kamu hampir jatuh tadi.”
“I-iya, makasih, K-kak… Maaf…” cicitnya.
Ran yang berulang kali mati sekarang mulai merasakan hatinya berfungsi karena ia merasa nyeri saat Mitsuya tundukkan kepala dan meminta maaf ketika omega itu tidak berbuat salah.
Astaga… Bagaimana bisa Ran sangat marah dan menyalahkan Mitsuya saat itu? Benar-benar iblis. Dia pantas untuk mati. Kenapa dia di sini sekarang? Harusnya dia disiksa di neraka paling dalam, bukan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Mitsuya Takashi lagi.
“Jangan minta maaf, kamu nggak salah. Kamu pasti lari karena kaget, ya? Maaf, Mitsuya.”
Mitsuya mendongak, kebingungan dengan tutur kata lembut Ran. Tidak biasanya Ran meminta maaf, terlebih ketika Mitsuya yang ceroboh begini.
“Nggak, Kak… Cuma kaget kenapa kakak sama Inupi,” bisik Mitsuya. “Kakak ada hubungan sama dia?”
Mitsuya menahan tangisnya ketika bertanya, membuat hati Ran mencelos. Ia merutuki dirinya berulang kali, bagaimana bisa dia dengan bodoh menduakan Mitsuya saat itu? Sungguh, Ran makin lama makin tak paham. Bagaimana bisa ada manusia serendah dirinya?
“Kakak… Nggak ada apa-apa sama Inui, beneran. Tapi kalau kamu nggak percaya, kakak paham. Maaf, Mitsuya.”
Mitsuya dengan cepat menggeleng, kemudian tersenyum manis. “Aku percaya sama kakak.”
Percaya. Mitsuya dulu juga selalu seperti ini, mempercayainya tanpa keraguan, sementara dirinya tiap detiknya selalu menghancurkan rasa percaya itu sampai berkeping-keping. Mitsuya terlalu bersih, terlalu suci. Dialah manusia yang miliki hati terbesar di semesta ini.
Bukan, bukan manusia. Mitsuya Takashi adalah inkarnasi dari malaikat. Ran masih ingat bagaimana Mitsuya masih sempat memaafkannya dalam suratnya di saat terakhirnya.
“Kak Ran, jangan nangis…” Mitsuya unjukkan tas berisi kotak bekalnya. “Ini aku bawain bekal… Tapi kalo kakak mau aja. Kalo gak mau, aku bawa pul — ”
Ran meraih tas bekal itu, kemudian menggeleng sambil tersenyum tipis. “Aku mau. Ayo kita makan bareng di ruangannya kakak, ya?”
Mitsuya mengerjapkan matanya kebingungan. Makan bersama? Di ruangan Ran? Apakah ini mimpi? Ran bahkan enggan makan di meja yang sama dengan Mitsuya selama ini.
Tangan Ran menarik pergelangan tangan Mitsuya dengan lembut, “hati-hati jalannya, ya?”
Keduanya berjalan kembali ke ruangan Ran dengan tangan Ran yang masih menggandeng Mitsuya. Yang digandeng masih kebingungan setengah mati, sedikit takut. Kiranya, Ran telah membentur kepalanya dan menjadi gila. Karena pria ini—bagaimana bisa berubah selembut ini?
Setibanya di ruangan Ran, ternyata Inui masih di sana, menatap Mitsuya dengan penuh keterkejutan.
“Mitsuya? Lo?”
Mitsuya buru-buru melepaskan gandengan tangan mereka. Ia masih ingat bahwa Ran tak ingin orang-orang di kantor mengetahui hubungan mereka. Jadi siapa sangka kalau Ran justru kembali mengaitkan tangan mereka dengan erat?
“Inui, ini Mitsuya, suami saya.”
Tidak hanya Inui dan Mitsuya yang terkejut, bahkan sekretaris Ran pun ikut terkejut, melotot sampai ia harus mengorek telinga dengan kelingkingnya — siapa tahu salah dengar.
Inui menatap Mitsuya dan Ran secara bergantian, kemudian membenahi kemejanya sebelum berdeham dan melangkah keluar ruangan, berkata, “Mitsuya, lo harus cerita ke gue.”
Kepergian Inui disusul oleh kepergian sang sekretaris yang diusir Ran, menyisakan mereka berdua di ruangan itu. Ran menyiapkan semua kotak bekal yang dibawa Mitsuya ke atas meja, ditata dengan rapi dan tidak membiarkan omeganya itu bertindak sama sekali. Saat keduanya duduk berhadapan, Ran tanpa ragu menyendok hidangan yang dimasak sendiri oleh suaminya itu.
“Enak,” Ran hampir menangis lagi. Dahulu, ia bahkan tidak pernah memuji masakan Mitsuya. “Makasih, ya.”
Ran juga tidak sempat ucapkan ‘terima kasih’ pada Mitsuya.
Terburuk, ia benar-benar orang terburuk. Ia sangat tidak pantas berada di sini, bernafas dan dapat menikmati masakan dari Mitsuya.
Namun Ran tidak mendapat balasan apa-apa dari Mitsuya kecuali isak tangis yang membuat Ran membulatkan mata, panik. Apa dia berkata sesuatu yang menyinggung perasaan Mitsuya? Apa dia melakukan kesalahan lagi? Apa dia menyakitinya?
“M-mitsuya, maaf, aku bikin salah, kah?”
Mitsuya menggeleng.
“A-aku seneng aja K-kak Ran muji ma-masakan aku, hiks. Aku juga s-seneng Kak Ran n-nggak marahin aku p-padahal aku mau jatuh t-tadi,” ujarnya di sela tangisnya. “M-makasih, ya, Kak… Aku seneng banget.”
Bagaimana bisa Ran tidak ikut menangis dalam diam ketika melihat Mitsuya seperti ini? Sejahat apa dirinya ini sampai-sampai Mitsuya menangis penuh haru ketika Ran hanya melakukan hal sesederhana itu?
“Mitsuya, kamu nggak perlu minta maaf; aku yang harusnya minta maaf,” Ran meraih tangan Mitsuya, menggenggamnya. “Maafin aku selama ini. I did a lot of bad things to you. Aku udah nyakitin kamu dan perasaan kamu selama ini, maafin aku, Mitsuya.”
“Kak…”
“Mitsuya, denger, aku udah banyak lakuin hal-hal jahat ke kamu. Kamu baik, Mitsuya, baik banget. You’re such an angel. Aku nggak mau kamu tersakiti lagi di masa depan karena aku. Jadi, Mitsuya, setelah anak ini lahir, kalau kamu minta pisah, aku paham… Aku bakal biarin kamu pergi.”
Tentu saja alis Mitsuya menukik, menatap Ran kebingungan, “maksud kakak apa?”
“Aku mau lindungin kamu dari aku, Mitsuya. Kamu bisa terluka kalau terus sama aku. I don’t want to lose you again, so please,” kini Ran kembali menangis. Setelah mati dan hidup lagi, ternyata makin banyak hal untuk ditangisi. “Aku ini udah rusak, Mitsuya…”
Ada hening di antara mereka, namun feromon manis Mitsuya masih mengudara, bercampur dengan wewangian tembakau dari tubuh Ran.
“Kak Ran, kalau rusak itu pasti bisa diperbaikin. Dan kalau kakak mau, aku bisa, kok, bantu kakak buat benerin itu,” Mitsuya mengeratkan tangannya pada Ran, kemudian mengusap air mata pria itu. “Aku pun juga udah rusak, jadi… Kita bisa perbaikin diri kita sama-sama?”
Apakah Ran bisa? Bisakah tangan yang pernah menghancurkan Mitsuya ini beralih fungsi menjadi pelindung yang kokoh? Bagaimana jika dia gagal? Apakah dia berhak memperoleh kesempatan ini?
“Mitsuya… Aku udah nyakitin kamu…”
“Dan aku udah maafin Kak Ran, selalu begitu.”
Benar. Selalu begitu. Bahkan ketika Ran sudah melakukan dosa paling besar pun, Mitsuya tetap memaafkannya. Sungguh, Ran tidak pantas jatuh cinta dengan Mitsuya Takashi. Bagaimana bisa dia tidak tahu malu berani nodai ciptaan Tuhan yang tak punya cacat ini? Pantas saja dia dihardik oleh satu semesta dan seisinya.
Ran, pada kesempatan ini, berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga Mitsuya dengan segenap nyawanya. Tidak akan ia biarkan dirinya maupun orang lain sentuh Mitsuya. Ada yang berani lukai sejengkal dari tubuh Mitsuya, Ran rela membakar seisi kota untuk menghancurkan pelakunya.
Di kehidupan ini, Ran sudah menyerahkan seluruh nafasnya pada Mitsuya Takashi seorang.
Anak pertama mereka lahir di bulan Desember, di tengah perayaan natal yang meriah dan penuh tawa. Anak yang berbobot 3,5 kilogram itu lahir dengan sehat. Tangisnya begitu memekakkan telinga, tapi mampu undang senyum dan isak tangis haru dari kedua orang tuanya.
“Selamat, anak kalian perempuan,” ujar seorang dokter sebelum berikan bayi tersebut ke tangan sang ayah.
“Cantik, Takashi, mirip kamu,” bisik Ran. Mitsuya tersenyum ketika melihat anaknya berhenti menangis di gendongan ayahnya. Helai rambut emas itu mirip dengan rambut asli milik Ran.
“Namanya siapa, Kak?”
“Rumi. Haitani Rumi.”
Di kehidupan ini, Ran dan Mitsuya berhasil menjaga anak pertama mereka sampai tiba di dunia. Sebelum kelahiran Rumi, keduanya mengikuti konseling pernikahan. Masa lalu yang kelam yang selama ini Ran pendam, kini sudah ia luapkan kepada Mitsuya. Awal Mitsuya tahu, omega itu memeluknya, meminta maaf karena Ran harus mengalami itu semua seorang diri. Pengakuan Ran berujung dengan terapi rutin yang ia lakukan tiap minggu.
Tidak ada yang mudah walaupun ini kehidupan kedua Ran, ia masih seringkali merasa kesulitan mengungkapkan perasaan. Cara berpikirnya juga terkadang terkesan dingin dan tidak manusiawi, namun Mitsuya dengan sabar menuntunnya, memberitahunya mana hal baik dan mana hal buruk. Tangan kokoh milik Ran kini tak pernah sakiti Mitsuya, namun digunakan untuk telusuri tiap lekuk kesempurnaan dari omeganya itu.
“Makasih, Takashi… Makasih buat Rumi, makasih buat kehadiran kamu, dan — ” Ran kecup kening Mitsuya dengan lembut. “Makasih buat kesempatan keduanya.”
Mitsuya tersenyum, merasakan bagaimana Ran mulai mengecup tiap sudut wajahnya dengan penuh kasih sayang.
“Aku cinta kamu, Takashi. Dulu maupun sekarang. All my lifetimes, all of them belong to you and only you.”
Bagi Ran, ia masih merasa tidak pantas mendapatkan anugerah sebesar ini. Bisa merasakan akhiran bahagia dengan pujaan hatinya, rasanya seperti tidak pantas. Tapi Ran sudah berhenti mengelak semua itu, memilih untuk merengkuhnya, dan sangat menghargai kesempatan yang ia miliki saat ini sebaik mungkin.
Ia beruntung, amat beruntung.
Namun yang Ran tidak ketahui, ini adalah kesempatan yang lahir karena Mitsuya terus-menerus memohon kepada semesta — memohon agar kehidupan mereka yang tragis ini bisa diperbaiki.
Di kehidupan ini, baik Ran dan Mitsuya saling belajar memaafkan dan memperbaiki satu sama lain.
Sebuah kisah tentang kesempatan kedua— FIN