Perjalanan Pulang
Geneva, Switzerland
Ini adalah kali pertamanya Mitsuya Takashi injakkan kaki seorang diri di negara asing. Bandara Jenewa sore itu lumayang lengang—mungkin karena sekarang hari kerja. Ia sebelumnya sudah mengambil jatah cuti, maka dari itu setelah mendapat informasi dari Rindou, ia tanpa pikir panjang memesan penerbangan tercepat ke Jenewa. 18 jam di pesawat sama sekali tidak membuatnya mengantuk, kecemasannya justru semakin berlarut. Susah payah ia berusaha tenangkan dirinya, tidak ingin janinnya kenapa-napa karena kondisi mentalnya yang memburuk belakangan ini.
Mitsuya hanya membawa tas ransel yang berisi barang-barang yang sekiranya penting. Ia lebih mirip sedang berpergian ke kota sebelah daripada pergi ke belahan dunia lain. Tentu saja itu karena tujuannya disini adalah menyeret Haitani Ran untuk pulang. Ia sama sekali tidak tahu mengapa Ran nekat tinggalkan kursi tahta agungnya itu untuk bersembunyi di negara ini. Saat Rindou mengantarnya ke bandara hari ini, terlihat jelas kekhawatiran di wajahnya.
“Abang itu kadang gila dan nekat,” tutur Rindou sebelum pesawatnya lepas landas. “Jadi tolong bawa dia pulang lagi, ya, Kak?”
Tentu Mitsuya pastikan ia membawa Ran kembali ke Indonesia. Persetan dengan ibunya yang lebih mirip iblis ketimbang manusia itu, sekarang pikiran Mitsuya hanya tertuju pada notes kecil yang Ran tinggalkan untuknya.
Another life, katanya? Ran pasti sudah gila betulan. Maksudnya apa? Membuat Mitsuya berpikir yang tidak-tidak saja!
“À cette adresse, monsieur,” ujar Mitsuya kepada supir taksi yang artinya, ‘tolong ke alamat ini’.
Butuh 45 menit perjalanan sebelum taksi yang ia tumpangi mulai tiba di kawasan terpencil dengan pohon pinus hiasi sisi jalan. Terdapat rumah di sini dan di sana meskipun tiap rumah memilih jarak yang cukup jauh. Mitsuya jadi teringat rumah film-film barat, megah dan terletak di tengah hutan. Kalau begitu, berarti keluarga Haitani itu hartanya bukan main. Bayangkan saja berapa harga rumah di negara ini? Penduduk asli saja belum tentu bisa beli.
“Nous sommes arrivés, monsieur.”
Mitsuya berikan sejumlah uang kepada supir taksi tersebut, lalu buru-buru turun dari taksi. Jantungnya kini berdegup kencang. Ia akan bertemu Ran, lalu…
Apa? Apa yang akan Mitsuya katakan?
Angin kencang tiba-tiba berhembus, membuat tubuhnya bergidik karena kedinginan. Ia tidak memiliki persiapan apapun untuk kemari. Cuaca di Jakarta dan Jenewa seperti bumi dan langit, ditambah di negara ini sekarang sedang berada di awal musim semi — masih ada sisa-sisa dari musim dingin. Pakaiannya kelewat tipis, pantas saja orang-orang sedari tadi memandanginya dengan tatapan aneh.
Merapatkan cardigannya, Mitsuya mulai memasuki area rumah yang bergaya Eropa ini. Dengan warna putih gading dan aksen kayu, rumah ini memberikan kesan elegan namun hangat. Rumah yang indah. Mungkin kalau mereka menikah sedikit lama, Ran akan membawanya kemari.
Saat tiba di depan pintu, Mitsuya berdeham berulang kali. Hawa dingin ini membuat tubuhnya menggigil. Melihat suhu di ponselnya, Mitsuya sedikit terkejut. 7 derajat celcius? Yang benar saja, pantas dingin sekali! Sekarang Mitsuya mulai menekan bel berulang kali, berharap segera dibukakan.
Namun sudah lewat lima menit, pintu itu tidak kunjung terbuka. Jantungnya bergemuruh seketika. Bagaimana jika Ran kenapa-napa? Atau apakah Mitsuya salah rumah? Edarkan pandangan ke sekeliling, Mitsuya mulai resah. Rumah terdekat dari rumah ini jaraknya kurang lebih 10 menit jalan kaki. Ditambah malam ini sangat dingin dan Mitsuya memakai pakaian tipis.
Mitsuya menekan tombolnya sekali lagi, kali ini lebih putus asa. Tidak hanya hanya tubuhnya menggigil saja, namun mual yang tiba-tiba dirasakan olehnya. Pada akhirnya ia terpaksa meringkuk di depan pintu, memeluk dirinya sendiri untuk menghalau rasa dingin yang merasuki tubuhnya.
Sekitar 10 menit lewat, Mitsuya hampir saja terlelap jika tidak mendengar deru mesin mobil mulai mendekat. Kepalanya mendongak, memicingkan mata ketika cahaya dari lampu mobil berpendar ke arahnya.
Begitu redup, Mitsuya mendengar pintu mobil terbuka dan dibanting dengan keras, disusul oleh seruan,
“TAKASHI?!”
Ada derap langkah cepat yang menghampirinya. Feromon tembakau dan vanila itu menyeruak masuk ke indera penciumannya, membuat kesadarannya pulih. Kini di pandangannya hanya terdapat sosok yang ia rindukan, seseorang yang selalu penuhi sudut pikiran maupun hatinya, suaminya yang selalu ia cintai dengan segenap hati.
“Ran…” panggil Mitsuya dengan air mata yang berlomba-lomba turuni pipinya.
Ran tentunya sangat terkejut ketika melihat omeganya berada di sini, di Swiss. Buru-buru Ran lepaskan mantelnya, ia pasangkan di tubuh Mitsuya. Tubuh Mitsuya sangat dingin, sudah berapa lama omega ini menunggu? Sampai menangis begini, pasti lama.
Tanpa menunggu tangisan Mitsuya reda, Ran langsung mengangkat tubuh omega itu ke gendongannya, dibawa masuk ke dalam rumahnya. Setelah mendudukkan Mitsuya di salah satu sofa, pria itu nyalakan perapian dan memastikan tubuh Mitsuya dibalut oleh selimut tebal. Ran tidak bicara apa-apa setelah itu, memilih untuk melenggang pergi ke dapur.
Mitsuya sendiri masih berusaha redakan tangisannya, biarkan hangat meresapi tubuhnya. Ran kembali setelah 5 menit dengan dua gelas coklat panas.
“Diminum.”
Keduanya terdiam, tidak ada pembicaraan kecuali suara mereka meminum minuman mereka masing-masing. Canggung.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Ran, nadanya sedikit menggambar kekhawatiran.
“Mau ketemu kamu.”
Ran terdiam, lalu menghela nafas. Pria itu lepas satu kancing teratas kemejanya, lalu melepas arlojinya dan meletakkannya di atas meja.
“Ngapain? Swiss itu jauh, loh, Takashi. Mana kamu pake baju tipis begini, bawa tas juga ransel doang. Kamu ini ke Swiss apa ke Bogor? Nekat banget ke sini, iya kalo bener ini rumahku, kalo bukan? Kamu gimana? Ini negara orang, 11.000 kilometer dari Indonesia. Kalo kamu kenapa-napa, mau minta tolong ke siapa? Bahasa Perancismu juga belum lancar. Iya kalo hape kamu bisa terus, kalo nggak? Kamu in — ”
Tangisan Mitsuya justru kembali pecah, membuat Ran panik dan buru-buru hampiri omega itu. Tangan Ran dengan canggung menepuk bahu lelaki itu. Baru saja mau bertanya, tiba-tiba Mitsuya menyela,
“Kok akunya dimarahin, sih, Ran?”
Ran berdeham, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. “Lah, kamu… Gegabah banget. Indonesia ke Swiss itu jauh, loh, Takashi. Mana sendirian, aku takut kamu kenapa-napa…”
“Aku juga takut kamu kenapa-napa!”
“Hah? Aku bisa jaga diri?”
Mitsuya merogoh sakunya, melemparkan kertas kuning ke arah Ran dengan penuh amarah.
“Maksudnya ini apa?!”
Ran melihat isi dari kertas itu, kemudian merengut. “Ini, sih… Aku tulis pas mabuk sama Hanma? Kok bisa di kamu?”
“Katanya kamu ninggalin ini sebelum kamu pergi?!” tanya Mitsuya di sela tangisannya.
Netra lembayung Ran mengerjap lama, kemudian ia meringis. Ulah Hanma sialan, pasti dia bilang aneh-aneh ke Mitsuya, batinnya. Tangan Ran bergerak mengelap air mata Mitsuya, sisipkan beberapa anak rambut omega itu ke belakang telinga.
“Itu Hanma rese aja,” tukasnya.
“Nggak! Kak Shion sama Rin juga bilang kamu mundur dari jabatanmu! Kenapa?! Kamu mau apa disini, Ran?! Kamu mau ninggalin aku?!”
Sekarang memijat pelipisnya, menghela nafas panjang. Sebenarnya orang-orang itu kenapa, sih?!
“Aku emang mundur… Sementara. Alias ambil cuti, Takashi. Aku mau menetap di sini dulu buat sementara waktu.”
Ran masih mengusap air mata yang kerap kali berjatuh di wajah cantik suaminya ini, tersenyum lembut saat Mitsuya pejamkan matanya untuk rasakan hangat dari tangan Ran.
“Kenapa di Swiss… Jauh banget… Kamu ninggalin aku…”
“Kamu kan, udah ada Taiju…”
“Sembarangan!” Mitsuya memukul kepala Ran, membuat alpha itu terkekeh.
“Nggak kan, ya? Aku takutnya kamu sama Taiju setelah cerai sama aku… Aku gak bakalan kuat. Cemburu,” gumam Ran. “Jangan dulu, ya, Takashi, biarin aku move on dulu.”
Mitsuya menatap Ran lamat-lamat, “jangan move on!”
“Hm?”
Tangan Mitsuya bergerak meraih tas ranselnya, keluarkan dokumen-dokumen percerain itu dan merobeknya hingga ke bagian kecil-kecil. Ran membelalakkan matanya keheranan.
“Kita gak usah cerai! Aku gak mau cerai! Aku gak mau pisah dari kamu! Aku cinta banget sama kamu, Ran! Cinta banget, banget, banget! Jadi, gak boleh cerai!”
???
Ini betulan Mitsuya Takashi yang lempeng itu?
“Takashi… Yang minta cerai kamu, ‘kan?”
Mitsuya merengut, kemudian beringsut mendekati Ran, memeluk alpha itu dengan air mata yang masih menetes keluar.
“T-tapi anak kita mau papinya…”
Kini Ran mendelik sampai bola matanya nyaris keluar. “Maksud kamu?”
Mitsuya arahkan tangan Ran ke perutnya.
“Udah sebulan,” bisiknya.
Ran kini menutup mulutnya tidak percaya. Anaknya? Betulan anaknya? Jadi Mitsuya sungguhan mengajaknya bercerai sembari memboyong anaknya? Kenapa?
Namun semua pertanyaan itu tersendat di tenggorokannya. Alih-alih kata, Ran justru keluarkan tangisan penuh haru. Seperti lega, namun juga kebingungan setengah mati.
“Takashi… Aku… Terus kenapa? Kenapa kamu minta cerai, sayang? Jangan bilang ngidam?”
Mitsuya menunduk, lalu mulai menceritakan seluruh kejadiannya dari awal sampai akhir. Ia pastikan ia ceritakan semua perbuatan ayah dan ibu Ran padanya. Tidak peduli ia disebut menantu durhaka, yang mengancamnya terlebih dulu siapa? Yang membuat mentalnya kembali terguncang, membuat dirinya dan Ran mengalami masa-masa sulit dalam waktu sebulan ini.
Ran sekarang menenggelamkan wajahnya di antara tangannya. Feromonnya tiba-tiba menguar hebat, tandakan kalau alpha itu sedang murka bukan main. Tangannya mengepal, siap layangkan tinju ke siapa saja yang berani menyakiti kekasih hatinya ini. Mitsuya Takashi, omeganya yang begitu malang itu — tega sekali orang-orang menyakiti dunianya.
Tidak ada pemakluman atau kata maaf, Haitani Ran ingin membunuh orang-orang itu. Sisi alphanya sudah mengambil alih tubuhnya sekarang. Dia marah, sangat marah. Hancurkan, bunuh, hancurkan, bunuh; hanya itu yang berdengung di kepalanya sekarang. Takashinya, ada yang mengancam dan melukai hati Takashinya. Bahkan buah hatinya yang belum lahir saja dijadikan sasaran! Bukankah orang-orang seperti itu tidak layak hidup?
“Hei, Ran… Ran… Sayang, tenang, tenang. I’m okay now, we’re okay. Jangan terlalu dikuasai amarah. Inget, ada aku di sini. You don’t want to hurt me, right?”
Ran sekarang sedang memeluk Mitsuya yang berada di atas pangkuannya, membiarkan seluruh feromonnya baluti tubuh omega tersebut dengan protektif. Benar, dia harus tenang. Jangan sampai ia kelewat marah dan malah melukai Mitsuya.
“Takashi… Orang-orang itu jahat sama kamu. Mereka harus mati.”
“Hush, mereka juga orang tua kamu,” balas Mitsuya yang sedang mengecup puncak kepala Ran berulang kali.
“Aku gak sudi disebut anak mereka, Takashi. Aku gak serendah mereka yang ngancem orang hamil, apalagi ngancem kandungannya. Dan itu bukan sembarang orang, Taka? Itu kamu. Suamiku. Satu-satunya cinta di hidupku. Kok bisa mereka merlakuin kamu kayak gitu?”
Mitsuya tidak membalas, toh omongan Ran benar adanya. Bagaimana bisa manusia mampu berkelakuan serendah itu? Maka ia tak melarang Ran berkata, hanya mendengarkan, biarkan tubuhnya tenggelam dalam hangatnya pelukan suaminya itu.
“Takashi, aku mau balik ke Indonesia. Aku mau ketemu mereka dan — ”
“Sshh, nope, not now. Apalagi ketika kamu marah gini, big nope,” Mitsuya mencium kening Ran sekilas, lalu tersenyum. “Kita habisin waktu di sini aja dulu. Tenangin kepala kamu, baru kita konfrontasi orang tua kamu. Ya? Aku gak mau punya suami narapidana, loh.”
Ran menatap Mitsuya dengan pandangan memelas, kemudian kembali mengeratkan pelukannya.
“Sayang, maafin aku, ya… Aku selama ini ngerasa kamu jahat banget, ngerasa aku yang paling tersakiti, padahal kamu yang paling terbebani di sini. Maafin aku, ya, aku gak becus banget jadi alpha dan suami kamu,” ujar Ran yang memperoleh sentilan di telinga dari Mitsuya.
“Aku juga minta maaf udah bohong dan nyakitin perasaan kamu karena aku penakut — ”
“Sayaaang, jangan minta maaf, aku mohon. Hatiku sakit tiap kamu minta maaf padahal kamu nggak salah apa-apa. Udah, sayang, kamu nggak ada salah ke aku. Harusnya aku yang bisa jagain kamu, toh itu juga janjiku ke kamu.”
Mitsuya menangkup wajah Ran, memandang paras tampan itu secara seksama.
“Kamu. Juga. Gak. Salah. Jadi. Jangan. Minta. Maaf.” Mitsuya ucapkan itu dengan penuh penekanan. Alisnya menjulang, matanya memicing, sangat menggemaskan di mata Ran.
Ran memeluk Mitsuya sekali lagi, tenggelamkan wajah di dada omega itu, menghela nafas lega.
“Fuck, Takashi, I was so close to actually lose you, you know? Gila… Aku nyaris gila loh, sayang? Aku gak ada kamu, tuh, mending mati aja.”
“HEH!”
Ran terkekeh, kemudian menggendong tubuh Mitsuya dan membawanya ke kamar, membaringkan tubuh omeganya itu di atas kasur dengan senyuman di wajahnya.
“Tidur, yuk? Kamu pasti capek habis 18 jam perjalanan,” ucap Ran sambil berdiri, mengambil satu set piyama baru untuk Mitsuya.
Namun yang Mitsuya lakukan justru melepas pakaiannya satu per satu, biarkan tubuhnya telanjang bular di atas ranjang — seolah-olah memang dipersilahkan untuk disantap oleh Ran.
Ran melihat ini pun tersenyum gugup.
“Takashi… Kamu hamil… Mana capek… Jangan gini…”
“Aku mau Ran.”
Cuma butuh satu kalimat, pertahanan Ran yang memang tipis itu langsung roboh seketika. Ia cumbu bibir ranum suaminya tersebut, salurkan rasa rindu yang sama-sama membebani bahu mereka belakangan ini.
Bercinta malam itu terkesan begitu lambat, mungkin baik Ran dan Mitsuya sama-sama tidak percaya bahwa semua ini nyata. Mereka nyaris kehilangan, bagaimana jika ini semua hanya mimpi belaka?
Di tengah kegiatan bercinta mereka, Mitsuya berkata, “Ran, aku boleh tandain kamu?”
“Takashi… Kamu yakin mau selamanya terikat sama orang kayak aku?”
“Mending aku mati daripada nyaris kehilangan kamu lagi,” balas Mitsuya cepat, kemudian melenguh panjang saat Ran mengenai bagian sensitifnya.
Ran mengecup bahu Mitsuya lama, kemudian berbisik, “sayang, kita lakuin bareng-bareng, ya?”
Maka kegiatan sakral yang digunakan sepasang alpha dan omega untuk saling mengikat jiwa dan raga mereka seumur hidup pun dilakukan — sebuah ikatan yang tidak akan ada seorang pun berani untuk pisahkan. Jika dipaksa pisah, itu sama saja dengan membunuh keduanya secara perlahan.
Malam itu, langit malam Jenewa menjadi saksi utuhnya cinta Haitani Ran dan Mitsuya Takashi.