ayiin
5 min readMar 7, 2022

Perangkap

cw // dubious consent, coercion, emotional abuse, manipulation, guilt-tripping, implicit sex scene.

Mungkin jika semesta bisa menyuarakan isi hatinya lewat untaian kata, Mitsuya yakin mereka akan merutukinya, mencemoohnya hingga sedemikian rupa karena kebodohan yang ia lakukan malam ini. Bagaimana tidak? Bukannya menjauh dan menghilang sampai menjadi debu, Mitsuya justru hampiri Haitani Ran di mansion mewahnya sekarang. Seperti anak kucing yang sengaja melintasi kawasan teritorial si raja singa, Mitsuya sama dungunya dengan anak kucing tersebut.

Padahal sudah paham jelas kalau Ran itu pembawa malapetaka dalam hidupnya, membuat fisik maupun mentalnya hancur karena kegiatan malam mereka yang sangat melelahkan, juga merusak martabatnya di mata Shiba Taiju, pria yang ia sukai selama ini.

Namun Mitsuya sudah menjadi buta dan tuli. Tiga bulan lebih tubuhnya digauli oleh Ran pada malam-malam panjang, gaungkan lenguh dan desah seperti melantunkan melodi; semua panca inderanya sudah tidak asing lagi dengan tiap sentuhan dari Ran, maupun seluruh eksistensinya.

Barangkali sudah terbiasa. Absennya kehadiran Ran dalam malamnya perlahan membuat hatinya tidak nyaman. Sisi omeganya tanpa sadar sudah anggap Ran sebagai alphanya. Jadi meskipun jiwa maupun raganya lelah bukan main, sebagian dari dirinya yang lain justru merasa puas dan lega.

Belum lagi perlakuan Ran yang akhir-akhir ini membaik, mau berikan aftercare yang layak. Mitsuya selalu temukan Ran terlelap di sampingnya pada pagi hari di mana ia biasanya menangis tersedu-sedu.

Barangkali, Mitsuya mulai berharap. Nihilnya figur ayah dalam hidupnya, lalu menopang semua beban keluarga di bahunya seorang diri, ditambah penantiannya pada si sulung Shiba yang tak kunjung temui ujungnya — semua ini menjadi faktor mengapa secuil atensi dan afeksi dari Ran berhasil membuka celah harapan bagi Mitsuya.

“Mitsuya, saya rindu sama kamu,” itu yang dikatakan ketika Mitsuya injakkan kakinya pada ‘ruang singgasana’ si raja agung, Haitani Ran.

Kaki Mitsuya tidak bergeming, dia hanya berdiri membatu di sana. Bingung. Harus apa dia? Haruskah Mitsuya membenci pria di hadapannya ini? Wajah yang eloknya tak terbantah itu, bibir yang lebih sering menyeringai ketimbang tersenyum tulus itu, lidah yang bisa menusuknya sampai ke ulu hati sekaligus jadi pemuas birahinya, semua, semua tentang Haitani Ran seperti kontradiksi baginya.

“Anda mau apa lagi dari saya?”

Ran melangkah mendekat, gelengkan kepala sebelum berdiri tegap di depannya.

“Panggilnya, Kak Ran, kayak biasa,” bisiknya.

“Anda bilang saya boleh panggil begitu kalau lagi hubungan seks aja.”

“Tapi sekarang beda, Mitsuya,” Ran kecup tangannya. “Perasaan saya udah beda.”

Mitsuya menelan salivanya bulat-bulat, tatap Ran dengan penuh keraguan.

“Gimana caranya bisa percaya?”

“Mitsuya, pertama-tama saya minta maaf karena udah menyakiti hati kamu selama ini. Saya selama ini belum pernah jatuh cinta sama seseorang; cuma kamu, Mitsuya. Kenal sama kamu bikin saya paham tentang cinta, beneran.”

Apakah Mitsuya harus percaya? Sebab logikanya berkata ia tidak seharusnya percaya meskipun hatinya tetap luluh.

“Untuk video itu, sungguh, bukan saya. Buat apa saya sebarin video itu ke orang lain, hm? Terlebih Shiba Taiju, pesaing perusahaan saya?” Mitsuya juga berpikir demikian. “Mungkin kamu teledor, Mitsuya. Kamu sering ketemuan sama Shiba, ‘kan? Bisa aja dia nggak sengaja liat chat kita waktu kamu ninggalin HP kamu.”

Benar. Mungkin Mitsuya yang salah, ia yang membawa malapetakanya sendiri. Mana mungkin Ran menyebarkan video seperti itu, ‘kan? Bisa-bisa nama baiknya terancam.

Maka dari itu, Mitsuya mengangguk, “iya, Kak Ran bener.”

Ran tersenyum, kecup kening pemuda itu dengan sungguh-sungguh.

“Percaya, ‘kan? Saya nggak mungkin nyakitin kamu. Kalau bisa, saya ingin menikahi kamu, Mitsuya. Saya pingin kamu jadi milik saya. Seutuhnya.”

Ada suara degup jantung yang bergemuruh. Mungkin cara feromon Ran manjakan indera penciumannya, atau mungkin cara suara bariton itu jelajahi gendang telinganya. Mitsuya dibuat terhipnotis total oleh pesona Ran; lagi dan lagi, tanpa keraguan kali ini.

Barangkali, Mitsuya ingin percaya.

“Oke… T-tapi aku nggak mau nikah…”

Ran berpikir sebaliknya, namun ia tidak berkata apa-apa selain menarik Mitsuya ke dalam rengkuhannya, raup telak bibir plum itu lalu ia bawa ke dalam cumbuan yang panas dan panjang. Lidah yang saling bertemu itu kini saling melilit, ciptakan suara kecipak yang menggema di ruang itu. Mitsuya merengek, terlebih saat tangan Ran mulai jahil dan merangsek turun ke bawah, remas bongkahan kenyal bokongnya sebelum mainkan ujung jarinya di cincin anal omeganya yang kini sudah basah kuyup.

Oh, lihat ini, bahkan Mitsuya sudah sebasah ini ketika Ran masih menyentuhnya selama satu menit. Mitsuya itu habiskan waktu tiga bulannya bukan asal nungging saja, tapi juga dilatih sebagai peliharaan Ran yang paling patuh, yang akan bertingkah seperti gundik murahan jika tangannya sudah menjamah tubuh sensitif itu.

Maka dari itu, sudah sewajarnya jika Mitsuya ini menjadi miliknya secara mutlak.

Tubuh Mitsuya dibaringkan ke atas meja kopi di ruang keluarga, Ran pastikan tiada satu helai benang pun yang membalut tubuh omeganya ini. Ran juga sudah lucuti pakaiannya, batangnya yang sudah mengeras itu tanpa basa-basi melesak masuk ke dalam Mitsuya. Rasanya selalu sempit, dinding-dinding hangat itu berhasil menghimpit kelelakiannya dengan sempurna. Namun, Mitsuya layang protes.

“Kak! Kakak belum pake kondom!”

Ran mendengar itu, tapi dia berubah menjadi tuli seketika. Fokusnya kini beralih pada melepatkan laju gerakannya meskipun Mitsuya mulai menangis dan meracau, minta Ran agar mencabut kejantanannya itu dan segera memakai kondom.

“Kak Ran, hiks, aku lagi — ah! A-aku lagi… subur,” ujar Mitsuya di sela tangisannya.

Tapi Ran tidak peduli. Justru baguslah kalau Mitsuya dalam masa suburnya — ia akan pastikan benihnya tertanam di dalam Mitsuya tanpa sisa.

Genjotan itu semakin lama semakin frantik. Ran mengerang, sementara racauan Mitsuya semakin menjadi-jadi. Omega itu paham betul Ran akan mencapai klimaksnya, maka ia memohon lagi dengan segenap hatinya,

“Kak Ran! K-kak Ran, hngh — di luar aja, please…”

Lagi, Ran tidak peduli. Sejujurnya, memangnya Mitsuya siapa bisa memerintahnya?

Tak mengindahkan permintaan dari Mitsuya, Ran pada akhirnya mencapai putihnya di dalam Mitsuya, biarkan benih-benihnya bersemayam pada omega itu. Mitsuya menangis sejadinya, tapi yang Ran lakukan justru menampar pipi omega itu.

“Saya bilang apa, Mitsuya? Saya nggak suka omega yang cengeng.”

Mitsuya menahan air matanya mati-matian. Apakah cinta itu seperti ini? Mitsuya tidak ingat melihat dua orang saling mencintai di film-film romansa yang ia tonton menampar kekasihnya seperti ini? Apa karena realita tak seindah kenyataannya? Apa karena definisi cinta menurut Ran adalah bagaimana peran alpha itu begitu mendominasi sampai-sampai tak beri ia ruang untuk bernafas?

Mungkin begitu. Dan bodohnya, Mitsuya tetap percaya. Mau bagaimana lagi, ia pun tak tahu cinta itu sejatinya bagaimana.

Mitsuya digauli pada tiap sudut ruangan mansion raksasa ini. Lubangnya yang sudah merah dan bengkak itu dipaksa terima ukuran Ran yang besar itu. Mitsuya menangis, entah karena nikmat ataupun sakit, ia hanya menangis dan menangis sampai air matanya mengering dan suaranya terkikis. Ia merasa perutnya kembung — entah, mungkin karena Ran terus menerus mengisinya penuh dengan cairan spermanya.

Kegiatan itu terus berlanjut sampai akhirnya Mitsuya hilang kesadaran di ronde mereka yang ke-tujuh. Ran sudah menyadari hal itu di tengah permainan itu, namun dia ini alpha yang egois, ia tetap saja gempur tubuh malang itu demi capai puasnya sendiri.

Setelah usai, Ran biarkan tubuh Mitsuya tergolek lemah di atas lantai marmernya. Cairan putih meluber keluar dari anal sang omega, membuat senyum lebar nan licik itu terpahat di paras tampan sang alpha.

“Ck, kalo kayak gini keliatan kayak pelacur beneran. My dumb little cum dumpster, siapa sangka lo naif banget, Mitsuya?”

Ran keluarkan ponselnya, ambil beberapa gambar Mitsuya dan menghubungi seseorang.

“Yo, Takemichi! Lo tau? Ternyata Mitsuya emang segoblok dan senaif itu! At this rate, bikin dia hamil gampang banget!”

Ran memberi kode pada pelayannya — kode yang berkata, ‘tolong beresin semua ini’, sebelum melangkah ke kamarnya sendiri tanpa mempedulikan Mitsuya yang telanjang bulat dan masih kotor di lantai.

Malam itu, Mitsuya Takashi telah jatuh pada perangkap keji seorang Haitani Ran.

No responses yet