ayiin
7 min readFeb 26, 2022

Menjadi Utuh

“Ba-ba!”

Ran mendelik, lalu cepat-cepat bangkit dari posisi duduknya, berseru, “SAYANG! SAYANG! RYO, RYO — ”

Mitsuya yang sedang memasak di dapur menaikkan alis sebelahnya. Matikan kompor dan lepas celemeknya, ia langkahkan kaki untuk hampiri suaminya sedang heboh sendiri. Senyum suaminya terukir dengan lebar, kali ini ia ambil ponsel yang tadinya tergeletak di meja, diarahkan ke Ryo kecil yang asyik mengeyot jempolnya.

“Ayo, lagi! Bilang, ‘pa-pi’,” tutur Ran, namun Ryo sama sekali tidak menggubris.

Ada tawa kecil lolos dari bibir Mitsuya, lalu berjalan mendekati kedua orang tercintanya itu. Saat Ryo sadari papanya tiba, tangannya diayunkan ke atas, minta digendong oleh Mitsuya.

“Baaa, baaa!” pekik si kecil yang langsung diangkat oleh Mitsuya.

Ryo yang sekarang sudah menginjak 1 tahun mulai bisa bicara meski tidak jelas, bisa berguling kemudian merangkak, bahkan bisa meniru apa yang orang dewasa sekitarnya lakukan. Kata Ran, anak kita jenius. Mitsuya hanya mengiyakan.

“Bosen, ya, main sama papi? Papi kamu gak niat, sih! Suruh jagain kamu malah liat TV!”

Ran merengut sambil menunjuk televisi yang sedang memutarkan siaran anak-anak. “Aku nonton ini sama Ryo, loh…”

Yang diajak bicara tidak mengindahkan, justru sibuk menciumi anak semata wayangnya yang berada dalam gendongan. Merasa diacuhkan, Ran berjalan mendekati Mitsuya, memeluk suaminya itu dari belakang, sandarkan dagunya di bahu omeganya itu dengan bibir yang tak berhenti mengerucut.

“Kamu jarang cium aku sekarang… Seringnya Ryo terus yang dicium…” gumam Ran seperti anak kecil yang merajuk. Mitsuya gulirkan bola matanya kesal, Ran ini baru saja menginjak 32 tahun, tapi sifatnya lebih mirip bocah SD.

Mitsuya mendengus, “inget umur, Mas.”

Meski begitu, Mitsuya tetap daratkan satu kecupan singkat di pipi Ran. Yang dikecup merasa tidak puas, maka pria itu meraup bibir Mitsuya dan mencumbunya dengan penuh gairah. Ryo kecil yang tak tahu apa-apa melihat ini sebagai tindak kejahatan. Papanya dimakan oleh monster!, mungkin begitu pikirannya.

“BA! BA! MAM! BAAA!” pekik Ryo sambil memukuli kepala Ran, menjambak rambut papinya sendiri dengan penuh emosi. Alisnya menukik, matanya nyalang marah — benar-benar mirip dengan Ran.

Ran meringis, “aduh, iya-iya! Astaga, anak siapa ini kok galak? Mirip papanya banget!”

Mitsuya sedikit tidak setuju dengan hal itu. Pasalnya, Ryo ini dia yang melahirkan, tapi seluruh fitur wajahnya benar-benar mirip dengan Ran. Jika foto bayi Ran dibandingkan dengan Ryo, pasti mereka bisa disebut anak kembar. Mata sayu dengan hidung mancung menjulang, Mitsuya berdoa semoga anak laki-lakinya ini tidak tumbuh besar sebagai pematah hati orang.

“Lagian kamu mesum di depan Ryo! Kasian! Huhu, Ryo-ku ternodaiii,” ujar Mitsuya sambil membawa Ryo ke ruang makan.

Minggu pagi itu mereka habiskan dengan sarapan bersama di meja. Mitsuya yang kali ini memasak, mumpung dia tidak disibukkan dengan jadwal kuliahnya. Iya, Mitsuya di umurnya yang nyaris menginjak kepala tiga memutuskan untuk melanjutkan studinya. Ia sengaja mengambil jurusan manajemen — berbau bisnis, siapa tahu bisa membantu pekerjaan suaminya — di universitas swasta yang mengadakan kelas daring. Kesibukannya sebagai orang tua Ryo membuatnya memutuskan untuk tidak mengambil kelas luring. Lagipula, alasan utama Mitsuya berkuliah karena ingin dapat gelar sarjana, agar bisa merasa ‘pantas’ berdiri di samping suaminya yang luar biasa hebat itu.

Sebetulnya, Ran tidak mempermasalahkan hal itu. Jika telinganya dengar kabar ada orang yang berani hina suaminya, Ran tidak segan-segan untuk menghancurkan riwayat hidup orang tersebut. Namun Mitsuya tetap saja bersikeras untuk berkuliah demi dapat gelar.

Kalau Ran bilang, ‘beli gelar aja’, bisa-bisa ia disuruh tidur luar selama seminggu.

Pada sore hari, Ran sekeluarga sudah berdandan rapi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ryo kecil memakai satu set pakaian dari desainer ternama — ulah Ran tentunya. Ran sangat senang memanjakan anak satu-satunya itu dengan pakaian mahal. Mitsuya jadi khawatir kalau kekayaan Ran akan raib karena anak mereka ini.

“Acaranya Baji sama Chifuyu jam berapa?” tanya Ran sambil mengancingkan kemejanya.

Mitsuya yang sedang memasangkan sepatu untuk Ryo pun menjawab, “jam 7, kayaknya?”

“Oke, nyukup lah, ya? Btw, kaos kakiku yang item kemarin mana, ya? Kamu cuci?”

“Iya, lah! Bau, tau!” sungut Mitsuya sambil mengeluarkan sepasang kaos kaki baru dari lemari laci mereka.

Ran mendengus, bergumam, “padahal baru ambil…”

“Kamu gak ikut cuci baju aja, loh?!”

“Iya iya, jangan galak gini dong, atutt…”

Namanya juga berumah tangga, hidup dua tahun sudah cukup membuat perdebatan kecil muncul di antara keduanya. Terlebih Mitsuya yang terbiasa disiplin, bertahun-tahun mengurus berbagai artis — tentu saja omega itu lebih tegas di kehidupan rumah tangga mereka.

Di mobil seperti sekarang saja, Mitsuya sibuk mengomel karena sampah di mobil Ran belum dibuang. Ran hanya bisa mendengarkan sambil mengiyakan, sedikit meminta maaf sambil menyetir mobilnya. Ryo di gendongan Mitsuya tidak banyak berulah, sibuk dengan dot di mulutnya.

Destinasi pertama adalah tempat di mana anak pertama mereka dimakamkan. Sudah rutin mereka lakukan setiap tiga bulan sekali. Mungkin di masa depan frekuensinya akan semakin berkurang, tetapi setidaknya, baik Ran dan Mitsuya masih mengingat buah hati mereka ini.

“Ryo, ini kakakmu,” ujar Mitsuya.

Ryo melirik sekilas, lalu menatap Mitsuya kebingungan, “ka? Ka?”

Ran dan Mitsuya hanya berdoa singkat saat itu. Ada perasaan sesak di dada Mitsuya tiap kali kemari. Makam ini seperti pengingat bahwa ia pernah gagal dalam menjadi orang tua. Jangan sampai terulang, bisik Mitsuya dalam hatinya. Baik Ran dan Mitsuya sudah terima kalau anak mereka hilang karena kecelakaan. Dulu mereka berasumsi anak mereka disakiti karena seseorang, tapi mau mengorek segunung bukti pun tetap saja tidak ada tersangka yang kuat.

Setelah kunjungan singkat itu, mereka langsung menuju apartemen Baji dan Chifuyu. Hari ini ada acara makan-makan di sana — merayakan usia kehamilan Chifuyu yang sudah menginjak 3 bulan.

Tiba di sana, mereka disambut dengan Mikey yang sedang menggendong anak Rindou — Ran tidak tahu bagaimana ceritanya Rindou menjadi dekat dengan Chifuyu. Takemichi dan Draken selaku kekasih dari Mikey berada di sana sambil berbincang dengan Baji. Takemichi melihat kehadiran Ran langsung menghampiri, mengajaknya berbincang tentang masalah perusahaan mereka yang sudah beberapa bulan ini bergabung.

“MICHI!! AKU COCOK GENDONG BAYI, ‘KAN?” seru Mikey sambil menggendong Ren dan Ryo di tangannya.

Takemichi tersenyum, sibuk memotret Mikey dengan ponselnya.

“Hm, cocok banget, cocok. Ayo, Kak, pose gini aja, iya, mmm… Cantik banget. Lagi, lagi,” ujar Takemichi. Padahal sebelum berbincang intens dengan Ran, namun begitu kekasihnya memanggil namanya, atensinya langsung teralih sepenuhnya.

Bucin, pikir Ran, tidak mengaca.

Lalu mata Ran bertemu dengan mata seseorang yang ia kenal lumayan dekat.

“Lah? Taiju? Sama adek gue kesini?”

Taiju mengangguk, lalu bersalaman dengan Ran. Mitsuya menghampiri mereka berdua, lalu menyapa Taiju singkat. Ia sudah sering melihat wajah Taiju akhir-akhir ini, terlebih setelah dekat dengan adik dari Ran. Mengejutkan, namun mereka punya kisah sendiri.

“MAI, ANAK GUE!”

“Ren-Ren, kalo papa kamu jahat ke rumah uncle Mai, yah?” ujar Mikey yang masih menciumi pipi Ren.

Takemichi sedikit cemburu.

“Maiiii, anak gueee!!”

“Ihh, ini kan anak urunan sama Haru! Oh ya, mana Haru? Kok malah ajakin Kak Taiju?”

Rindou melotot, demi Tuhan, yang namanya Sano Manjiro itu masih saja menyebalkan! Kalau saja dia masih alpha dan Takemichi tidak di sini, mungkin dia akan memberi pelajaran kepada pemuda Sano ini.

Mitsuya hanya tertawa melihat ulah Mikey dan Rindou, lega karena hubungan mereka baik-baik saja sekarang setelah kesalahpahaman bertahun-tahun mereka. Rindou sering bercerita padanga bahwa egonya terlalu tinggi untuk meminta maaf dan meluruskan kesalahpahamannya dengan Mikey, namun di sisi lain, ia ingin berteman kembali dengan vokalis AKUMA tersebut.

Chifuyu juga, omega itu terlihat jauh lebih baik sekarang. Senyumnya terlihat semakin tulus. Ia bisa dengan mudah tertawa ketika Baji dan Draken saling lemparkan guyonan sembari sesekali mengelus perutnya.

Mitsuya bahagia, tentunya. AKUMA ini adalah keluarganya, dan semua anggotanya telah melewati banyak badai untuk tiba di tahap membahagiakan ini. Mungkin masih ada problema di antara mereka, namun bagaimanapun juga mereka semua manusia, bukan? Mana mungkin manusia tidak mempunyai konflik di antara dirinya sendiri.

Seperti misalnya, Koko dan Seishu yang kini terlihat semakin jauh. Mitsuya khawatir, sedikit terkejut juga. Koko dan Seishu itu pasangan pertama di AKUMA yang benar-benar bersatu. Ditambah fakta bahwa mereka saling menandai satu sama lain. Jadi, ada apa dengan mereka sebenarnya? Sebab sedari tadi, keduanya lebih memilih menjauh daripada saling lengket seperti perangko dan amplop.

Oh, jangan lupakan tamu yang seharusnya hadir malam ini — Hanemiya Kazutora, yang keberadaannya masih nihil, membuat Hanma kelimpungan mencari eksistensi lelaki itu. Mitsuya memandang hubungan Hanma dan Kazutora sebagai hubungan yang berisi dengan kebohongan yang melelahkan. Ketika perasaan keduanya sama, namun terlalu banyak yang mereka tutupi dari satu sama lain.

Cukup membicarakan orang lain, kini Mitsuya berfokus pada Ran, suaminya, yang sedang menggendong anaknya sambil berbincang ringan dengan Koko. Suaminya itu… Wah, kadang Mitsuya sendiri masih tidak menyangka bahwa pria hebat seperti Haitani Ran bisa jatuh cinta dan menikahinya, membangun keluarga dengan orang biasa seperti dirinya ini.

Meski pertemuan mereka tidak menyenangkan dan dipenuhi dengan prasangka buruk, siapa tahu bahwa keduanya bisa dengan mudah saling mengerti satu sama lain? Jatuh cinta dengan Ran itu bukan suatu kesadaran yang mendadak, melainkan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dan Mitsuya tidak bisa apa-apa selain menerima perasaan itu.

Mungkin Mitsuya dulunya dambakan kesederhanaan — menjadi medioker sehingga hidupnya tenang dan aman. Namun Ran datang ke kehidupannya bagaikan badai yang tak diundang. Dan Mitsuya, alih-alih berlari menjauh, ia justru menari dengan lihai di tengah badai itu.

Sungguh, mencintai Ran memang membuat hidupnya berubah 180 derajat. Namun, Mitsuya sama sekali tidak menyesalinya.

Bagaimana bisa menyesal jika Mitsuya punya suami ‘spek dewa’ seperti Ran dan dikaruniai anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan seperti Ryo? Tentu Mitsuya hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Tuhan-nya.

Senyuman Mitsuya melembut kala pandangannya bertemu dengan Ran yang kini sedang melambaikan tangan mungil Ryo ke arahnya. Tiba-tiba Mitsuya merasa sedikit melankolis. Untuk tiba di hari yang bahagia ini, baik Mitsuya dan Ran harus melewati banyak neraka terlebih dahulu.

Kehilangan anak, kehilangan akal sehat, kehilangan rasa percaya dan komunikasi, nyaris kehilangan pernikahan mereka —

Ran dan Mitsuya banyak merasakan kehilangan demi mencapai keutuhan yang mutlak.

Kisah tiap manusia memang terus bergulir sampai hari di mana mereka berhenti menarik nafas, namun bagi Mitsuya, hari ini, kisahnya berhenti di sini.

Dengan orang-orang yang sudah Mitsuya anggap sebagai keluarga, dan juga suami yang sangat ia cintai serta anak mereka yang berharga.

Hari ini, Mitsuya merasa utuh, dan itu cukup.

Get the Omega! — FIN

No responses yet