ayiin
6 min readFeb 10, 2022

Luka dan Duka

tw // miscarriage, self-blame

Kacau. Semuanya kacau. Hidupnya kacau.

Mitsuya Takashi merasa tidak ada yang berjalan dengan baik di hidupnya sekarang. Segalanya berantakan, luluh lantak secara telak. Dia menjalani hidupnya seperti biasa, namun ia merasa seolah-olah dia itu sudah mati. Mau sekuat apapun usaha Mitsuya untuk melupakan insiden itu, tetap saja ia rasakan hampa di dadanya — seolah-olah hatinya lubang dan tak bisa ditambal lagi. Dia bekerja keras dari pagi sampai sore, hanya untuk meringkuk dan menangis tersedu-sedu di malam hari.

Hubungannya dengan Ran merenggang, mungkin pria itu juga sama butuh waktunya seperti dia. Mau bagaimana lagi, Ran pun juga telah antusias menunggu-nunggu bayi mereka lahir ke dunia ini dengan selamat, namun siapa sangka bahwa takdir berkata sebaliknya? Mereka belum bicara empat mata semenjak Ran hampiri dirinya di rumah sakit, hanya tukar kabar lewat pesan teks.

Alasan Mitsuya karena ia tak sanggup melihat raut kecewa di wajah Ran. Melihat Ran sama saja seperti melihat kegagalannya lagi dan lagi, maka dari itu mereka dalam diam sepakat untuk tidak bertemu sementara waktu.

Ketika Mitsuya kira hidupnya tidak akan bisa lebih buruk dari ini, dia justru baru saja melakukan kesalahan fatal yang membuat group chat AKUMA menjadi ladang perang untuk Chifuyu dan Seishu. Mitsuya meringis, bodoh sekali, harusnya ia kontak secara personal saja, bukan di grup begini. Chifuyu jadi marah besar di grup, membuat keadaan menjadi runyam. Jika ini terus berlanjut, hari H konser penutupan mereka akan menjadi canggung, bukan?

Ini salah Mitsuya, dia ceroboh dan gegabah, asal menyampaikan informasi tanpa memikirkan perasaan membernya. Dia harus minta maaf pada Chifuyu secara langsung, pikirnya saat itu. Ambil jaket dan memesan taksi, maka Mitsuya meluncur ke dorm AKUMA.

Namun setibanya di sana, yang Mitsuya lihat adalah Koko, Seishu, dan Kazutora yang memasang ekspresi buruk. Mitsuya butuh beberapa detik sebelum mendengar bagaimana Baji dan Chifuyu sedang berargumen cukup panas.

Makin panas lagi ketika Mikey dan Draken tiba, suara mereka saling meninggi, Mitsuya juga mendengar kebenaran yang memuakkan dari bibir keduanya. Sakit, rasanya menyakitkan. Baji? Chifuyu? Bagaimana bisa keduanya seperti ini? Mitsuya sering mendengar cerita Baji, namun ia kira itu hanya cerita cinta remaja yang konyol dan labil. Namun ini? Ini bahkan bisa disebut gila!

Demi Tuhan aku cinta sama kamu, Chifuyu. Aku rela ngelakuin apapun buat kamu, bahkan aku rela mati demi kamu — ”

KALO GITU COBA MATI DEMI AKU!

Mata Mitsuya membelalak, tiba-tiba saja merasa mual begitu kata ‘mati’ lolos dari bibir Chifuyu. Tanpa sadar tangan Mitsuya turun ke perutnya, jantungnya berdetak kencang, nafasnya melambat seolah-olah pasokan oksigen sudah berkurang di dunia ini. Serangan panik, namun ia tak sempat merasakan ketika Mikey tiba-tiba berseru dan menerobos masuk dorm mereka.

Pandangan Mitsuya makin mengabur ketika melihat bagaimana Baji babak belur karena ulah Chifuyu. Namun Mitsuya gagal memahami situasi yang ada. Kepalanya sakit, pikirannya saling berkecamuk. Kecewa, sedih, marah — bandnya ini seharusnya tidak seperti ini, kenapa jadi begini? Ini AKUMA, ‘kan? Kenapa… Kenapa seperti berada di ambang kehancuran?

Belum juga rasa terkejut yang dirasakan Mitsuya surut, tiba-tiba Mikey pingsan, membuat keadaan makin runyam. Koko yang memperhatikan betapa pucatnya wajah Mitsuya langsung berkata, “Man, lo kalo masih gak sehat bisa balik duluan. Ini biar gue urus, oke?”

Mitsuya berjalan keluar dari gedung dorm AKUMA hanya untuk memuntahkan isi perutnya di semak-semak yang berada di luar. Kakinya melemas, ia bahkan tidak bisa apa-apa kecuali menangis. Menangisi anaknya, menangisi AKUMA, menangisi hidupnya. Dia seperti dilaknat oleh Tuhan. Dia habis berbuat dosa apa sampai dihukum seperti ini?

“Ran… Hiks — Ran,” isaknya.

Seperti magis, tiba-tiba ada presensi baru yang menghampiri. Mitsuya tak perlu melihat siapa orangnya, feromon sosok ini sudah tercium. Maka Mitsuya buru-buru bangkit, lalu berhambur ke pelukan yang selalu terasa seperti rumah ini.

“Sayang… Kenapa?” Ran bertanya. Alpha ini sengaja menyuruh orang untuk mengikuti Mitsuya belakangan ini. Takut kenapa-napa. Ketika mendengar Mitsuya bergegas mencari taksi, Ran langsung turun tangan sendiri untuk mengikuti omeganya. Tidak peduli jika disebut gila, ia lebih baik disebut penguntit daripada Mitsuya kenapa-napa dan ia tak tahu apa-apa.

Setidaknya untuk sementara waktu.

“Ran… Mau pulang,” pinta Mitsuya.

“Iya, ayo kita pulang.”

Ran dan Mitsuya sekarang duduk berhadapan dengan dua cangkir teh hangat yang asapnya masih mengepul di udara. Gemerlap lampu kota mengintip dari luar jendela, namun atensi Mitsuya tetap pada cangkir tehnya. Entah memandang apa, rasa-rasanya netra lembayung itu juga tidak berfokus pada apapun. Lebih cocok dibilang ‘memandang kehampaan’.

“Takashi, udah siap ngobrol?” tanya Ran dengan penuh hati-hati. Tak mendengar respon, tangan Ran pun bergerak membalut tangan Mitsuya. “Kalo belum, aku nggak maksa.”

Ran, pria ini begitu baik. Dia mau mengerti Mitsuya, mau memberi waktu untuknya, mau menggenggamnya seperti sekarang. Padahal Mitsuya sudah menghancurkan harapan dan mimpi-mimpi Ran. Ia tahu sendiri bagaimana perjuangan Ran yang harus menghadapi orang tuanya yang keras itu demi mengantongi restu, lalu bagaimana Ran menyiapkan acara pernikahan mereka seorang diri karena tidak mau Mitsuya kelelahan, juga bagaimana Ran begitu antusias menunggu kelahiran anak mereka.

Namun, apa yang Mitsuya lakukan?

“Aku udah ngebunuh anak kita, Ran.”

“Takashi!”

“Sekarang aku hancurin bandku sendiri. Aku liat sendiri mereka tengkar di depanku, gara-gara aku, Ran, gara-gara aku teledor. Chifuyu marah besar, Baji babak belur, Inupi nangis, Mikey pingsan — semuanya gara-gara aku. Karena aku gak kompeten, karena aku gagal! Aku gagal, Ran! Aku ini gak bisa jaga anak kita! Aku gak bisa bahagiain kamu! Aku ngecewain kamu, aku ngecewain bandku, aku cuma bikin kecewa orang-orang di sekitarku, Ran! Aku — ”

Mitsuya mulai meracau, maka dari itu Ran menarik omega itu ke dalam pelukannya. Sekarang racauannya terpendam, sampai akhirnya yang Ran dengar hanyalah isak tangis yang sangat ia benci. Bukan, ini bukan salah Mitsuya. Semua yang terjadi — tidak ada satupun yang merupakan salah Mitsuya. Kenapa Mitsuya menyalahkan dirinya sendiri seperti ini?

“Sayang, kamu nggak salah… Semuanya bukan salah kamu, jangan nyalahin diri gini, aku sedih, Takashi…” bisik Ran. Tangannya tidak berhenti menyisiri surai lila itu, berharap mampu menenangkan kekasihnya.

Mitsuya mendorong tubuh Ran, menatapnya dengan nanar. Duka dan lara terlukis pada paras cantiknya, membuat hati Ran terasa nyeri untuk kesekian kalinya.

“Padahal kamu bahagia, Ran! Kamu bahagia karena mau punya anak! TAPI AKU HANCURIN SEMUANYA! AKU HANCURIN KAMU, KITA, MASA DEPAN KITA!”

Ran kembali memeluk Mitsuya dengan erat, biarkan omega itu menangis histeris di pelukannya sementara ia terus menggelengkan kepalanya, tanpa sadar ikut meneteskan air matanya.

“Kamu nggak salah, Takashi, nggak salah,” lirih Ran di sela tangisnya. “Ini salahku, Takashi… Salahku…”

Kecelakaan di arena konser Mitsuya terlalu mencurigakan. Ran yakin pasti disengaja. Namun Ran terlalu takut untuk menguak kebenaran, takut dengan fakta kalau orang yang menyakiti Mitsuya adalah orang-orang terdekatnya. Dengan begitu, semakin besar alasan Ran untuk tidak berdiri di samping Mitsuya.

Mitsuya, kekasihnya yang amat ia cintai ini, dia terluka karena Ran, karena dirinya tidak cukup kuat untuk melindungi Mitsuya. Dia yang gagal di sini, bukan Mitsuya, sama sekali bukan Mitsuya Takashi.

Inilah yang ditakutkan Ran ketika Mitsuya memasuki dunianya. Ran menangis dua bulan yang lalu, mengutarakan rasa takutnya — itu semua karena ini, Ran takut kejadian seperti ini terjadi. Kejadian ini menampar Ran telak, seolah-olah mengatakan bahwa ia ini masih terlalu lemah, maka dari itu ia kehilangan.

“Ran… Anak kita minggu kemarin masih di perutku… Tapi sekarang udah gak ada, Ran… Anak kita diambil… Ran, maafin aku, maaf…”

Kenapa Mitsuya terus menyalahkan dirinya sendiri?! batin Ran frustasi. Demi Tuhan, setelah ini Ran akan mencari pelaku dibalik kecelakaan Mitsuya dan menghukum orang itu. Tidak peduli lagi jika pelakunya adalah orang tuanya sendiri.

Orang-orang yang menghancurkan Mitsuyanya sudah sewajarnya lenyap dari dunia ini.

“Aku yang nggak becus jagain kamu dan anak kita, Takashi… Aku mohon, jangan nyalahin diri kamu sendiri terus. Takashi, aku mohon…”

Mata Mitsuya menangkap kotak sepatu yang dibeli Ran untuk anak mereka, tiba-tiba hatinya sakit untuk sekali lagi. Ran, tidak, mereka sudah membayangkan bagaimana menggemaskannya anak mereka nanti, menggunakan sepatu yang dibeli oleh Ran. Mereka akan menjadi keluarga yang utuh jika waktu itu tiba. Keluarga kecil yang terdiri dari tiga. Namun sekarang apa? Mitsuya bahkan tidak berani untuk membayangkan skenario masa depan dengan Ran.

“Pernikahan kita batal aja, Ran.”

Detik itu juga, jantung Ran seperti jatuh ke tanah. Pria itu menelan ludahnya bulat-bulat, menatap Mitsuya dengan rasa panik yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Taka, m-maksudmu apa? Taka, kubilang ini bukan salah kamu, ‘kan?”

Mitsuya menggeleng lemah, lalu mengusap air matanya dengan kasar sebelum paksakan senyuman saat menatap Ran.

“Dokter bilang kecil kemungkinan buat aku hamil lagi Ran,” Mitsuya menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha agar suaranya tidak gemetar saat bicara. “Masa depan yang kamu mau… Punya anak — aku gak bisa wujudin lagi, Ran.”

Ran tidak merespon apa-apa, masih menatap Mitsuya dengan sendu. Mitsuya memisahkan genggaman tangan Ran padanya, hampiri boks sepatu yang tertata di dekat lemari sepatu mereka. Omega itu membuka salah satu kotaknya, menemukan sepatu yang bahkan lebih kecil dari telapak tangannya.

“Maafin Papa… Maafin Papa yang gak becus jagain kamu… Padahal Papa mau ketemu sama kamu, maaf, ya… Maaf… Maaf… Malaikat kecilku… Maaf…”

Hancur, mereka hancur. Mitsuya terus-menerus mengucapkan maaf sambil memeluk sepatu kecil itu, sementara Ran hanya bisa menangis dalam diam, ikut meminta maaf kepada malaikat kecilnya yang belum sempat ia rasakan hangatnya.

No responses yet