Lautan Mawar
cw // violence
Kakucho memang katanya tak punya hati, tak tahu-menahu apa itu rasa. Mungkin harusnya dia jangan jadi sutradara – kesalahan besar. Dia yang memang hatinya sudah cacat dan rusak, kini hanya mampu melihat dunia dari balik lensa kameranya, berseru lantang kepada para aktornya jika sudah melenceng dari naskah yang telah ia susun sedemikian rupa.
Konon, cacatnya Kakucho tidak hanya terukir di wajahnya dan pada dua iris matanya yang warnanya berbeda, tapi juga terletak di dalam tubuhnya. Ada yang bilang, dia lahir dengan otak yang cerdas nan cemerlang, namun hatinya tak berfungsi lagi. Maka dari itu Kakucho tidak pernah marah jika dipanggil monster, sebab, manusia mana yang tak pakai hati dalam memandang dunia? Ia terlalu mengutamakan rasionalitas sampai moralitasnya pun jadi pertanyaan.
Lalu Sano Manjiro, orang yang Kakucho kenal sebagai sosok yang berhati besar. Selalu gunakan perasaan dalam setiap keputusannya, pura-pura kuat dan tetap meski kerap kali disakiti – jujur, Kakucho tidak paham dengan manusia seperti Mikey.
Mungkin Kakucho dambakan orang seperti Mikey dalam hidupnya, dambakan rasanya dicintai oleh seseorang yang hatinya begitu lapang. Ingin tahu, memang rasanya seperti apa?
Sayangnya setelah menerka-nerka, Kakucho harus diberi paham bahwa hatinya Mikey sudah bertuan. Tak hanya satu tuan, tapi dua. Kakucho kecil meski tak tahu tentang cinta tapi ia tahu jelas bahwa ada yang beda dari cara Mikey memandang Ryuguji Ken dan Hanagaki Takemichi. Pembedanya mudah; Mikey tidak seperti itu pada Sanzu, maupun dirinya.
Awalnya Kakucho berpikir ia bisa rela, bisa terima bahwasanya memang tak mungkin orang seperti Mikey akan jatuh hati padanya. Maka Kakucho hanya ingin melindungi kebahagiaan Mikey meski caranya begitu kotor. Kesalahannya adalah ini: Kakucho mulai memandang bahwa tidak ada satu pun orang yang berhak mencintai Mikey.
Lalu ada pemikiran, ‘mungkin aku bisa mencoba’.
Maka disinilah Kakucho, dengan Mikey yang berada di dalam kungkungannya, memandangnya dengan dahi berkerut dan mata yang sesekali bergulir malas. Ia tahu kalau Mikey masih menyimpan rasa jengkel terhadapnya, apalagi setelah semua hal yang telah ia lakukan pada omega itu. Namun Mikey di matanya tetap cantik, tetap jadi orang yang paling ia hormati dan kagumi. Kini, tangannya meraih sisi wajahnya, dibelai begitu lembut seolah-olah tingkah laku maupun tuturnya tak pernah menyayat perasaan Mikey.
“Gak usah pake basa-basi, Cho. Gue lagi gak mood, serius. Langsung aja ke inti, selesai.”
Buru-buru sebab hatinya tidak pernah untuk Kakucho.
Detik itu Kakucho menciumnya. Niat awal maunya penuh hati-hati, anggap Mikey sebagai manusia rapuh yang sejatinya untuk dilindungi. Tapi mungkin Kakucho sedikit jengkel, entah pada Mikey atau dirinya yang terlihat menyedihkan. Ia gigit bibir itu sampai berdarah, undang umpatan lirih dari empunya yang kemudian tak terima dan membalasnya dengan tak kalah kasar. Mereka bercumbu tidak gunakan rasa, tapi amarah yang membara.
Pakaian Mikey ditanggalkan, hanya sisakan dalamannya. Ada beberapa bercak merah di dadanya – entah itu dari Takemichi atau Draken, jelasnya dari dua orang itu, tak mungkin Sanzu. Rasa kesal itu kembali muncul.
“Baju lo gak dilepas?” Mikey bertanya.
“Gak perlu,” balas Kakucho seadanya.
Sebelum membuka resleting celananya, Kakucho tersenyum miring, dekatkan wajahnya pada Mikey yang membuat kerutan di dahi omega itu semakin dalam.
“Apa?” Tanyanya.
Tangan Kakucho meraih leher Mikey, membuat gestur seolah ingin mencekiknya, lalu perlahan turuni dadanya, dan berhenti di perutnya. Senyuman itu masih terukir di wajah Kakucho, tatap netra jelaga milik Mikey lurus-lurus.
“Kak, aku gak pake kondom, ya?”
Tentu saja Mikey langsung terlonjak dari posisi tidurnya, menyangga tubuhnya dengan siku lalu matanya memicing, tatap Kakucho keheranan. Sinting, betulan sinting. Kakucho memang sudah tidak diselamatkan lagi.
“Biar apa?” Kakucho tidak menjawab, tapi senyumnya masih bertahan. “BIAR APA?! INI CARA LO BIAR GUE MILIH LO, HAH?!”
Kakucho menyugar surai pirang itu meski tangannya berulang kali ditampik oleh pemiliknya.
“Emangnya apa lagi yang bisa ngikat kakak dan aku? Aku yakin Takemichi pernah hampir coba cara ini, cuma sayangnya Takemichi penakut. Iya, ‘kan?” tanyanya. “Tapi tenang, Kak, aku bukan penakut kayak Takemichi.”
Ada tamparan keras yang dilayangkan di pipi Kakucho. Sakit, tentu, Kakucho bisa merasakan. Lalu kepalanya menoleh ke arah Mikey, pandangi mata omega itu yang kini sudah dipenuhi oleh air mata yang kapan saja bisa tumpah.
“Lo gila,” lalu setetes air mata turuni paras ayu itu. “Katanya, lo gak bakal nyakitin gue, tapi ini apa, Cho?!”
“Aku gak nyakitin kakak.”
“KAKUCHO!”
“THEN LET ME LOVE YOU, DAMN IT!”
Baru kali itu Kakucho meninggikan suaranya. Dalam keadaan apapun, Kakucho selalu terlampau tenang, selalu gunakan akal dan segala rasionalitasnya. Tapi malam ini seolah-olah dia sudah menjadi dungu.
“LO SENDIRI BILANG LO GAK PAHAM CINTA, GIMANA CARANYA LO MENCINTAI KALO LO GAK PAHAM CINTA ITU APA?!”
Kakucho termangu untuk sesaat, kemudian menelan ludahnya. “Aku pernah jatuh cinta.”
Tapi Mikey justru tertawa.
“Yakin itu cinta, Cho? Karena kalo cinta, gak mungkin gue berusaha mati-matian jauhin lo dari Ija.”
“Kamu gak paham apa-apa, Kak,”
“Dan gue gak pernah paham sama lo. Lepasin gue sekarang.”
Kakucho tidak pernah setengah-setengah ketika sudah bertekad, maka ia tidak akan melepaskan Mikey malam ini. Jadi ketika Mikey nyaris lolos dari tahanannya, ia langsung menahannya.
“Jangan gila, Kakucho. Lo bakal serendah ini, hah? Lo mau hancurin hubungan kita semua karena ini?” Mikey masih menangis, tapi matanya berapi-api.
“Gak adil, Kak. Kamu bisa mencintai Takemichi sama Kak Ken, tapi kenapa ke aku gak bisa? Apa bedanya aku sama mereka?”
Kini Kakucho justru terlihat menyedihkan.
Ketika Mikey hendak merespon, tiba-tiba ponsel Kakucho bergetar. Saat itu Mikey melihat sendiri bagaimana senyum Kakucho melebar.
“Ah, Kak, kita mau kedatangan tamu.”
Draken dan Takemichi buru-buru memarkirkan mobil. Biarlah asal-asalan, sebab fokus mereka adalah menerobos penthouse milik Kakucho. Tidak sulit, karena Takemichi memang diberi akses ke lantai paling ujung gedung apartemen ini. Tapi perjalanan lift dari lantai dasar ke lantai 50 memang membutuhkan waktu yang lama, maka dari itu baik Draken dan Takemichi mendecak tak sabaran.
“Naik tangga aja tau gini,” keluh Takemichi.
“Capek, anjir. Udahlah salah Kakucho dia tinggal di penthouse.”
Saat mereka akhirnya tiba di lantai paling atas, langkah keduanya cepat-cepat terobos masuk tempat tinggal Kakucho.
“Skenario terburuknya apa ini?” Draken bertanya.
“Gue bunuh Kakucho.”
Lalu mereka melihatnya, melihat bagaimana Mikey telanjang bulat, meringkuk di atas ranjang. Sementara di lantai berserakan pecahan kaca dan beberapa tangkai bunga mawar – sepertinya vas bunga yang telah pecah sebagai perlawanan. Mungkin Mikey?
Kakucho berada di sana, seperti menantikan kedatangan keduanya. Mikey membelalak, menggelengkan kepalanya.
“K-ken, Michi, kalian salah paham,” Mikey dengan panik tegapkan badannya. Sementara Takemichi hampiri Kakucho dengan tangan yang mengepal, Draken berlari ke arah Mikey, lepas jaketnya untuk menutupi tubuh omega itu.
Draken mengamati Mikey dari ujung kepala sampai kaki, kemudian hatinya mencelos saat melihat ada cairan putih di atas sprei dan sekitar selangkangan omega itu. Rahangnya mengeras, cengkram jaket itu dengan penuh amarah. Terlambat, pikirnya.
Mikey mengerjapkan matanya cepat, ikut melirik ke bawah lalu menggeleng. “Kenchin – ”
“KAKUCHO!” Seru Draken lantang. Langkahnya dengan cepat membawanya ke hadapan Kakucho, lalu menghantam wajah itu dengan kepalan tangannya. Takemichi yang sebelumnya berusaha bertanya terlebih dahulu terkejut melihat Draken yang langsung bermain tangan.
Jika orang sesabar Draken saja sudah semarah ini, berarti Kakucho memang sudah kelewatan. Takemichi menoleh ke arah Mikey yang sedang menggelengkan kepalanya dengan cepat, kemudian mendecak dan menahan Draken.
“Ken, Ken, tahan dulu,” ujar Takemichi.
“BAJINGAN INI KELEWATAN, CHI! LO LIAT KEADAANNYA MAI SEKARANG!”
Takemichi baru saja hendak balik badan untuk hampiri Mikey, tiba-tiba Kakucho tertawa lantang.
“Kenapa, Kak Ken? Marah aku hubungan badan sama Kak Mai? Kok kaget, sih? Bukannya dari dulu begini, ya?” Kakucho terkekeh sebelum melanjutkan perkataannya. “Kayaknya kalian makin marah kalo tau aku keluar di dalemnya Kak Mai.”
Kali ini alih-alih Draken, Takemichi yang berikan tendangan ke perut Kakucho. Lalu Takemichi menarik kerah baju Kakucho, layangkan tinjunya berulang kali dengan feromonnya yang sudah menguar ke seluruh penjuru ruangan. Mikey yang satu-satunya omega di sini, berada di tengah lautan feromon tiga alpha yang saling beradu rasanya seperti sesak. Ia tak bisa apa-apa kecuali menutup indra penciumannya dengan tangannya sekuat tenaga.
Meskipun Takemichi sudah menghajar dengan kuat, Kakucho masih tertawa.
“Marah, Chi? Marah karena gue yang ngejalanin rencana lo dulu? Marah karena Kak Mai bisa-bisa hamil anak gue?” Lalu Kakucho melirik kalender yang berada di mejanya. “Ah, coba liat tanggalnya, masa suburnya Kak Mai ternyata.”
Takemichi sekali lagi menghantamnya, kali ini lebih kencang, diiringi oleh air mata yang berlomba turuni wajahnya. Alpha itu menangis, menyerukan nama Kakucho dengan penuh dendam. Tapi yang jelas, ada patah hati yang tak terelakkan di sana. Lolongannya terdengar pilu bagi siapapun yang mendengar, bahkan Draken juga ikut menangis, menarik rambutnya frustasi.
Gagal, mereka gagal. Terlambat, lamban.
Mungkin karena terdistraksi oleh tangisannya, Takemichi jadi melemah. Kakucho melawan, berbalas untuk menghajar Takemichi dengan senyum lebar di wajahnya. Tentu Draken tak tinggal diam melihat Takemichi dibuat babak belur oleh Kakucho. Sayangnya, baru saja Draken hendak menarik tubuh Kakucho menjauh, tiba-tiba tangan Kakucho dengan cekatan mengambil patung besi seukuran kepalan tangan, lalu menghantam benda itu ke kepala Draken.
Draken tumbang dengan instan, kepalanya berputar, pendengarannya berdengung nyaring. Ia sekilas mendengar Takemichi masih menangis frustasi, sementara Mikey seperti menyerukan nama Kakucho dengan penuh amarah. Kakucho tidak menghantamnya di daerah yang fatal, untungnya. Tapi tetap saja ia butuh waktu untuk mengumpulkan kesadarannya dan membunuh Kakucho dengan tangannya sendiri.
“KAKUCHO! JANGAN GILA! LO LUPA MEREKA SIAPA?!” Mikey berseru.
Kakucho sekarang berdiri, menatap Mikey remeh.
“Mereka? Temen, sahabat, kakak, ya… You name it, lah.”
Karena feromon para alpha di sana perlahan surut, Mikey beranikan diri untuk berdiri, berjalan melangkah mendekati Kakucho. Draken susah payah berkata, “j-jangan, Mai.”
Kakucho mengambil pecahan kaca yang berada di sana, hendak membungkam Draken dengan menyayat salah satu bagian tubuhnya. Tapi gerakannya kalah dengan Takemichi yang kini menghadang tubuh Draken, menghasilkan ujung pecahan kaca itu mengenai sudut bibir Takemichi.
“KAKUCHO!” Pekik Mikey dengan panik. Saat ia akan berlari untuk hampiri Takemichi dan Draken, ia lagi-lagi dikejutkan dengan Kakucho yang tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya.
Sebuah pistol.
Kaki Mikey melemas detik itu juga. Sudah berakhir, pikirnya, Kakucho sudah tidak bisa dikendalikan. Kini Takemichi makin menutupi tubuh Draken dengan tubuhnya, bertindak sebagai perisai.
“Cho, Kakucho, lo benci gue selama ini, ‘kan? Jangan sakitin Kak Jiro, gue mohon. Ken juga jangan… Ya? Gue aja, Cho… Gue…”
Kakucho mendengus, memainkan pistol yang berada di tangannya dengan malas.
“Siapa juga yang mau nyakitin Kak Mai? Gue juga gak mau, lah,” ucapnya, kemudian menodongkan pistol itu ke arah Takemichi dan Draken.
Mikey sekarang bersimpuh di lantai. “Kakucho… Kakucho gue mohon, lo gak perlu sejauh ini. Maafin gue, Cho, maaf. G-gue turutin semua kemauan lo, tapi jangan gini…”
Ada bunyi pistol dipersiapkan, membuat jantung Mikey sempat berhenti sesaat.
“Kak Mai, liat aku.”
Mikey susah payah mendongak, tatap Kakucho dengan mata berkaca-kaca. Kakucho yang di hadapannya ini mengingatkannya dengan Kakucho beberapa tahun yang lalu. Mikey kembali menangis, ia kira ia sudah menyelamatkan Kakucho.
“Kak Mai, pilih salah satu,” mulai Kakucho. “Pilih Kak Ken, atau Michi?”
Tentu saja Mikey menggeleng dengan cepat, tangisannya semakin keras. Sementara Draken merintih, “selamatin Michi aja, Mai.”
Takemichi mendengar ini menatap Mikey putus asa.
“Kak Jiro, Ken selama ini menderita karena aku. Jadi selamatin dia, ya?”
Tidak. Tidak ada yang bisa Mikey pilih. Terlalu gila, ini bahkan bukan pilihan! Mana bisa Mikey memilih salah satu saja untuk diselamatkan?!
“Kak Mai, waktunya jalan, loh?”
Mikey sekuat tenaga bangkit dari posisi bersimpuhnya. Dengan mengeratkan jaket milik Draken ke tubuhnya, ia berjalan tertatih-tatih ke arah Kakucho. Begitu berdiri di hadapan Kakucho langsung, ia cengkram tangan alpha itu, lalu arahkan ujung pistolnya ke dahinya.
“Gue. Tembak gue.”
Kakucho awalnya terkejut, lalu tertawa.
“Kamu secinta itu sama mereka, Kak?”
“IYA! GUE SECINTA ITU SAMA MEREKA! JADI JANGAN MEREKA, KAKUCHO, GUE MOHON!” Seruan itu terdengar frantik, Mikey bahkan tak peduli dia sekacau apa di hadapan Kakucho sekarang. “Gue gak akan bisa milih satu dari mereka! Gak bisa!”
Kakucho mendesah pasrah, turunkan pistolnya dari dahi Mikey.
“Ok, aku gak akan nyakitin satu pun dari kalian,” Mikey hampir menghela nafas lega, namun pistol itu sekarang justru diacungkan ke Takemichi. “Tapi mereka berdua, isi pelurunya dua, kok, Kak.”
“KAKUCHO, LO KENAPA, SIH?!”
“Any last words?”
Sebelum pelatuk ditarik, Mikey sudah berlari, kemudian memeluk Takemichi dan Draken. Sekilas Mikey teringat kenangannya di masa lalu.
“Aku sayang banget sama kalian berdua,” ujar Mikey kecil.
Draken dan Takemichi saling melirik satu sama lain, mendengus sebelum mengiyakan Mikey. “Kita juga sayang kamu.”
Mikey terkekeh. “Kalo kita udah besar, kita nikah bertiga, ya?”
“Mana bisa?!” Ini Draken.
“Bisa, lah. Kalo Kak Jiro yang minta pasti bisa!”
Mikey berdiri, berkacak pinggang sambil tertawa lebar.
“Harus bisa! Janji, ya, kita gak bakal ninggalin satu sama lain!”
Sampai sekarang, perasaan Mikey tak pernah berubah. Mungkin ini alasan mengapa Mikey tak pernah bisa mengetahui harus mencintai siapa di antara mereka berdua. Mikey hanya mengenal cara mencintai keduanya, bukan salah satunya.
Di tengah bunga mawar yang berserakan di lantai, Mikey pejamkan matanya saat suara pistol berbunyi lantang.