Konversasi Malam
Menjadi omega memang menyusahkan. Mitsuya harus ingat terus jadwalnya untuk konsumsi obat, harus menghindar secepat kilat jika ada sedikit saja feromon alpha yang tercium olehnya, dan bagian parahnya adalah bagaimana tubuhnya menjadi sensitif. Dia benar-benar seperti hewan betina di musim kawin karena rangsangannya mudah terpicu.
Namun dari segala kesusahan yang Mitsuya alami, tetap saja yang paling menyebalkan adalah fakta bahwa ia harus bertemu dengan Haitani Ran malam ini.
Alpha itu bersikeras untuk menjemput Mitsuya. Ketika ditolak, Ran justru berkata, “gue klien lo.”
Menyebalkan sekali. Sekarang, Mitsuya harus berdiri di halte dekat gedung apartemennya sembari menunggu Ran datang.
Lima menit lewat, tiba-tiba ada mobil Tesla keluaran terbaru berhenti di depannya, mengundang tatapan banyak orang. Dasar tukang pamer, geram Mitsuya dalam hati. Ketika sudah duduk di kursi penumpang, Ran justru menyengir lebar, berujar, “seatbeltnya dipake dulu.”
Sok akrab!
Mitsuya kira, Ran akan membawa ke restoran mewah berbintang lima untuk pamerkan hartanya lagi, namun pria itu justru memarkirkan mobilnya di… depan supermarket? Sekarang, Mitsuya bingung.
Ran yang mengetahui perubahan di wajah Mitsuya pun terkekeh, lalu berkata sembari melepas sabuk pengamannya. “Mitsuya, temenin gue belanja, ya?”
“Hahhhh?”
ANEH! ORANG INI ANEH!!!
Jadi, disinilah Mitsuya sekarang, di tengah-tengah supermarket dengan troli yang kini digenggam olehnya. Ini sangat… Random! Aneh! Bizarre! Haitani Ran resmi menjadi orang gila sekarang! Apa karena Mitsuya sering menyumpahi Ran seperti orang gila? Gawat, semoga Ran tidak mengetahui itu dan menuntutnya!
“Lo boleh juga belanja kebutuhan lo,” Mitsuya tidak mengindahkan. “Gue bayarin. Serius.”
“Terima kasih atas kemurahan hati Anda,” sekarang Mitsuya memberi hormat kepada Ran sebelum memasukkan semua kebutuhan sehari-harinya ke dalam troli. Tidak perlu melihat harga atau mencari diskon, Mitsuya juga pastikan dia pilih brand yang termahal, yang selama ini hanya bisa ia pandangi. Peduli setan dengan tanggapan Ran, salah sendiri menawarkan.
Namun yang Ran lakukan justru mengikutinya dari belakang sambil mendorong trolinya dengan senyum lebar di wajahnya.
“Yang banyak, Mitsuya,” tukasnya. Seketika Mitsuya punya asumsi tentang tujuan Ran seperti ini — Ran itu mau pamer kekayaannya sekali lagi, ‘kan?!
Maka dari itu Mitsuya semakin melunjak, beli ini dan itu, bahkan dia membeli daging wagyu premium yang harganya menyentuh satu digit. Mitsuya sempat menoleh ke arah Ran, penasaran dengan reaksi pria itu. Namun yang ia dapatkan justru Ran yang bersenandung sambil memasukkan sekantong plastik buah apel ke dalam keranjangnya sendiri.
Mitsuya berhenti di depan rak yang memajang berbagai jenis puding, kemudian dengan cekatan tangannya mengambil enam pak puding berperisa kopi yang masing-masing berisi enam. Ini adalah puding kopi favorit Mitsuya yang hanya bisa dia beli sebulan sekali saja, itu saja hanya bisa beli dua biji saja.
Ran bergumam di belakang Mitsuya, “ohh, lo suka itu?” balasan Mitsuya hanya melengos dan segera mengantri ke kasir.
Ketika mengantri, Mitsuya sempat melirik troli Ran, kemudian merengut ketika melihat Ran hanya membeli buah dan banyak air mineral.
“Lo itu doang?” Ran mengangguk. “Bahan makanan gimana? Mi instan, seenggaknya? Atau kebutuhan sehari-hari lo?”
“Udah ada… Kalo bahan makanan, gue gak pernah masak, kan bisa makan di luar.”
Dasar orang kaya!
“Mitsuya bisa masak?” Ran tiba-tiba bertanya.
“Dikit.”
Lalu, Ran menjentikkan jarinya, tersenyum lebar, “kalo gitu, malem ini kita makan di tempat lo aja, ya? Masakin buat gue.”
Sebenarnya Mitsuya tahu ini ide yang buruk, amat sangat buruk. Membawa Tuan Haitani Ran yang terhormat ke apartemen kecil dan lusuh, membawa si penjahat kelamin ke dalam area teritorinya — buruk, sangat buruk! Tapi mau bagaimana lagi, dia juga punya rasa sungkan karena telah menghabiskan jutaan rupiah uang Ran untuk belanja bulanannya saja. Hitung-hitung balas budi, lah, meskipun Mitsuya setengah hati melakukannya. Lagipula, lebih baik di tempat Mitsuya kan, daripada di tempat Ran?
Ran memasuki apartemennya dengan raut wajah yang tenang, sesekali matanya beredar kesana dan kemari dengan binar yang terpancar. Seperti, ‘oh, jadi gini tempat tinggal rakyat jelata’. Mitsuya mempersilahkan Ran duduk di atas sofa, lalu ia pergi ke dapur, bersiap-siap memasakkan sesuatu untuk si tuan terhormat ini.
“Sederhana aja, ya, gue gak bisa masak kayak chef bintang lima langganan lo itu,” ujar Mitsuya sambil memasang celemeknya.
Ran, dalam hati: wow, Mitsuya pake celemek agak gemes ya…
Sepanjang Mitsuya memasak, Ran terus menerus mengajaknya mengobrol. Awalnya itu menjengkelkan, namun ketika Ran mulai berbicara tentang buku-buku koleksi Mitsuya, omega itu baru menyadari bahwa keduanya sama-sama punya minat dalam bidang literasi. Percakapan mereka berakhir dengan lancar, bahkan ketika makan pun, Mitsuya diam-diam menikmati kehadiran alpha di hadapannya itu. Semua pandangan kalau Ran itu bajingan brengsek perlahan luntur, berganti dengan seseorang yang ramah meskipun sedikit mengesalkan.
Jarum menunjukkan angka 10 ketika mereka mulai mencuci piring serta alat memasak yang tadi digunakan Mitsuya. Tanpa Mitsuya sangka, Ran ternyata menawarkan dirinya untuk mencuci, katanya, “lo kan udah masak.”
Tapi anak konglomerat seperti Haitani Ran tentunya tidak biasa melakukan kegiatan ini. Ran berulang kali diomeli oleh Mitsuya karena menyisakan noda di piring, atau bagaimana Ran tidak bisa menghemat air sama sekali.
Haitani Ran… mungkin tidak seburuk itu.
“Mitsuya, lo pake air dari keran ini buat minum? Itu gak higienis, tau? Jangan gitu, mending gue kirimin lima galon air aja tiap minggu.”
Ah, tidak, lihat nada bicaranya itu — masih saja angkuh dan menyebalkan! Mitsuya tidak mengindahkan Ran, mendorong pria itu menjauh sementara ia ambil alih cucian mereka.
Usai itu, Mitsuya berharap agar Ran segera pulang, namun pria itu justru meminta untuk minum kopi bersama. Keduanya duduk di kursi yang berada di dekat jendela apartemen Mitsuya — jendelanya menghadap bangunan lain, namun untungnya, langit masih bisa mengintip sedikit.
“Bulannya cantik, ya?” Ran bertanya tiba-tiba.
Mitsuya menatap datar langit malam itu, menjawab, “mendung.”
“Maksudnya, bulan di matanya Mitsuya.”
“Gue usir beneran, lo.”
Ran tertawa renyah, kemudian menyesap kopinya perlahan.
“Gimana rasanya jadi omega setelah bertahun-tahun jadi beta?” tanya Ran, nadanya sedikit lebih serius sekarang.
Mitsuya menghela nafas, ikut menyesap kopinya. Matanya menerawang ke luar jendela.
“Aneh, kayak gue gak familier lagi sama badan gue. Sejauh ini… Gue gak suka. Yang tau gue omega cuma lo,” kemudian Mitsuya teringat satu orang lagi. “Sama sekretaris lo.”
“Kenapa gak cerita? Lo malu? Padahal, mau lo omega, beta, atau bahkan alpha, Mitsuya tetep Mitsuya, gak tiba-tiba berubah jadi Brad Pitt, ‘kan?” Mitsuya terkekeh saat mendengar ini.
Ran ada benarnya. Mitsuya tetap Mitsuya, tidak peduli dia ini beta maupun omega. Tapi tetap saja, dengan menjadi omega, geraknya pun jadi terbatas. Jika orang-orang tahu dia omega, maka akan datang para alpha yang hadir dan berlagak seolah-olah mereka ksatria yang datang untuk menyelamatkan hidup Mitsuya. Namun, dia tidak butuh itu. Semua alpha itu bisa pergi neraka saja jika ngotot untuk menjadikannya omega mereka.
“Jadi omega itu, susah. Gue liat sendiri gimana strugglenya omega-omega di sekitar gue. Mereka diremehin, dianggap lemah, dianggap gak bisa mandiri, sedangkan gue tahu kalo value gue lebih dari itu. Gue takut kalo semua perjuangan gue dipandang sebelah mata, gue juga gak mau hidup gue diambil sama alpha gak jelas yang tiba-tiba dateng ke hidup gue,
“Gue ini anak pertama, kepala keluarga, tulang punggung keluarga juga, gue takut orang-orang nganggep gue gak pantes meranin peran itu karena gue cuma… Omega.”
Saat Mitsuya selesai berbicara, dia langsung bungkam mulutnya cepat-cepat, lalu merutuk dalam hati. Bagaimana bisa dia dengan mudah berkeluh-kesah di hadapan orang yang selama ini ia anggap psikopat gila? Ah, sialan, pasti karena terbawa suasana malam ini.
“Sorry, gue ngelan — ”
“Mitsuya, menurut gue, lo itu orang paling hebat yang gue tau,” Ran tak bisa berhenti memandang omega ini. “Lo anak pertama dan lo bisa menghidupi keluarga lo seorang diri. Awal gue tau fakta ini, jujur, gue ngerasa sungkan banget sama lo. Gue juga anak pertama, tapi gue rasa, gue gak ada apa-apanya sama lo. Dan sekarang lo yang ternyata omega, menurut gue lo makin hebat, sih? Omega yang punya pendirian dan bisa stand for himself, lo bakal bikin alpha malu, loh?”
Gelagapan, Mitsuya berusaha merespon meski wajahnya merah menyala. “A-apaan…”
“Beneran, gue kagum banget sama lo. Maaf karena bikin impresi awal lo ke gue jelek, tapi akhir-akhir ini gue deketin lo karena gue bener-bener pingin kenal sama lo. Seenggaknya temen, lah, karena gue bener-bener respect sama lo, Mitsuya.”
Ini? Haitani Ran? Yang benar saja! Kemana perginya seluruh bendera merah raksasa yang biasanya berkibar di atas kepala ungu itu?!
Ran brengsek dan bajingan seketika berubah menjadi Ran si anak pertama yang begitu menaruh rasa kagum dan hormat pada Mitsuya.
Kemudian, Ran mengulurkan tangannya pada Mitsuya. Netra violet milik Ran menatap lurus ke arahnya. Rambut klimis yang rapi, alis yang tebal dan rapi, hidung mancung menjulang, serta rahang yang tegas — di bawah sinar rembulan, Haitani Ran memang tampan bukan main.
Dan mungkin, itu membuat hati Mitsuya bertingkah lucu.
“Kita bisa mulai dari awal, Mitsuya.”
Ran menjabat tangan Mitsuya.
“Haitani Ran, presiden dari Haitani Entertainment. Anak pertama dari dua bersaudara. Panggilnya ‘Ran’.”
Ragu-ragu, Mitsuya membalas jabatan tangan itu.
“Uh, Mitsuya Takashi, manajer AKUMA. Anak pertama dari tiga bersaudara. Panggilnya… ‘Takashi’.”
Saat itu, Mitsuya bisa melihat bagaimana Ran tersenyum dengan lembut.
“Takashi?”
Mitsuya yakin ada yang salah dengan tubuhnya karena sekarang dirinya mulai memanas, kemudian berdeham dengan keras. “Manggil ‘Mitsuya’ aja, jangan ‘Takashi’! Kita belum seakrab itu!”
Ran terkekeh, “okay.”
Lalu, Mitsuya mencium sesuatu yang asing dari tubuh Ran. Omega itu tiba-tiba berdiri, lalu mengendus-endus tubuh Ran dengan kerutan di dahinya.
“Kok, feromon lo yang kemarin berubah? Ini…” butuh beberapa detik sebelum Mitsuya menyadari. “Bau omega lain, ya?”
Ran mengerjapkan matanya cepat, lalu mengangguk, “iya… Uh, kemarin — ”
“Oh iya, lo kan, punya banyak koleksi omega,” kemudian Mitsuya tegakkan badannya dan berjalan menjauhi Ran. “Udah malem, pulang sana.”
Namun, Ran masih tercengang. Wajah itu, suara itu — apakah Mitsuya cemburu?
Menggemaskan sekali…
Maka sisi jahil Ran mulai bangkit. Ia berjalan hampiri Mitsuya, kemudian berdiri sangat dekat dengan omega itu.
“Cemburu?”
“Dih, aneh! Pulang sana! Udah malem, gue mau istirahat! Lo mau nambah gaji gue apa gimana?! Ini udah di luar jam kerja!”
Sial, bahkan Ran sama sekali tidak membahas proyek apa-apa malam ini? Lalu untuk apa pertemuan mereka kali ini?!
“Galaknya kumat. Iya, iya, gue pulang,” Ran mulai berjalan ke pintu keluar, sementara Mitsuya berjalan di belakangnya sambil membawa jaket yang tadinya dikenakan oleh Ran.
Setelah Ran berada di luar pintu apartemen Mitsuya, alpha itu tiba-tiba memeluk Mitsuya, membuat omega itu membelalakkan matanya dan akhirnya protes.
“Emang gak boleh kalo temen saling pelukan?” tanya Ran, tepat di telinga Mitsuya. “Kalo mau, lo bisa ninggalin feromon lo di gue.”
Mitsuya terdiam cukup lama. Saat Ran hendak melihat apa yang sedang dilakukan Mitsuya, ia justru temukan dirinya didorong dengan keras oleh omega yang wajahnya semerah tomat itu.
“Sana pulang!”
Ran menunjuk jaket yang sekarang berada di tangan Mitsuya.
“Jaket gue?”
Mitsuya termenung, justru mengeratkan genggamannya pada jaket itu.
“G-gue bawa dulu!”
Mata Ran memicing, lalu bertanya, “kenapa?”
Sepertinya, Mitsuya makin salah tingkah. Sebab, sekarang matanya mulai melirik ke sini dan ke sana, mencari-cari alasan pada kekosongan.
“Ya — ”
“Soalnya bau lo enak! Bye!”
Pintu itu dibanting di depan muka Ran.
Ada jeda lama sebelum Ran berjalan menyusuri koridor. Kepalanya kadang dimiringkan, lalu menggeleng, kemudian ditemani oleh decakan — seperti ada yang error di tubuh Ran.
Sampai di parkiran, barulah Ran tertawa dengan kencang sampai ia harus memegangi perutnya.
“Gilaaaa, lo gemes banget, Mitsuyaaa, sial!”
Lalu, Ran mencium tubuhnya sendiri sebelum mengulum senyum. Madu, dasar rubah nakal.
Mitsuya telah menandai tubuh Ran dengan feromonnya.