Konsiderasi dan Realisasi
“Hayo! Mikir apa, sih?!”
Mikey menoleh dan mendapati Sanzu sedang mengaduk adonan kue sambil memakai celemek merah muda yang senada dengan rambutnya. Rengutan di wajahnya kini berubah menjadi senyum lebar, tawanya lepas begitu saja ketika melihat penampilan Sanzu yang menggemaskan itu. Cepat-cepat ia berdiri, arahkan ponselnya untuk memotret Sanzu.
“Gemes banget, Haruuuu!”
“Dipaksa sama Ken!” Rengeknya sambil melirik celemeknya. “Mending lo yang pake, Mai.”
Mikey tidak mengindahkan Sanzu dan terus berjalan ke area dapur, disambut oleh Takemichi dan Draken yang sibuk adu argumen tentang topping apa yang akan mereka gunakan untuk kukis mereka.
“Udah gue bilang, dark chocolate aja, Ken,” ujar Takemichi dengan coklat hitam di tangannya.
Draken menggeleng. “Pait, Mai gak bakal suka nanti. Siapa yang bakal makan kukisnya kalo Mai gak suka?”
“Tapi kalo kemanisan gak bagus tau?”
“Coklat biasa, Chi.”
“Dark chocolate, Ken.”
“Hanagaki,”
“Ryuguji,”
“Bikin dua jenis kukis bisa, sih?”
Itu Kakucho yang menyambar dua coklat yang digenggam oleh Draken dan Takemichi. Mikey tertawa, diikuti oleh Sanzu yang geli karena tingkah Draken dan Takemichi yang masih saja hobi debat seperti dulu, sementara Kakucho selalu menjadi penengah di antara mereka.
Sanzu diam-diam melirik Mikey, tanpa sadar pun hatinya juga menghangat melihat Mikey bisa tertawa lepas seperti ini. Sungguh, yang ia harapkan sedari dulu ada ini, Mikey bisa bahagia seperti sedia kala. Mungkin alasan mengapa Sanzu mati-matian berusaha menjadi orang yang bisa berada di sampingnya karena ia percaya diri bahwa dirinya bisa menjadi orang yang membahagiakan Mikey — mungkin juga merasa bersalah karena dulu tidak bisa apa-apa. Tapi sekarang dia sadar bahwa bahagianya Mikey adalah bersatunya mereka berlima.
Matanya tak lepas dari Mikey, ikuti pergerakan omega itu yang kini menyusup ke tengah-tengah Takemichi dan Draken, memeluk pinggang keduanya sambil bersandar di bahu Takemichi, lalu julurkan lidahnya ke Draken — entah membicarakan apa, terlalu berisik. Sepertinya masih perkara coklat.
Sanzu bahagia, bahagia sekali. Ini yang dia inginkan dari dulu, membuat Mikey bahagia karena ia gagal melindungi kebahagiaan itu. Tapi siapa sangka kalau dia ini bodoh dan tak paham masalah bahagia atau tidaknya seseorang.
Sekarang Sanzu paham, setidaknya sedikit. Tapi yang jadi fokusnya adalah hatinya yang terasa kosong. Karena Sanzu belum temukan bahagianya.
Mungkin banyak kesempatan semesta telah tunjukkan bahagianya — misalnya dalam wujud Haitani Rindou yang kemudian selalu ia sia-siakan. Kata Kakucho ‘karma’, dan ia paham. Tapi yang tak Sanzu pahami adalah mengapa Rindou berbohong ketika berkata ia tidak cinta lagi? Sanzu telah mengalami banyak penolakan di hidupnya, salah satunya adalah bagaimana ia tak pernah melihat pancaran cinta dari Mikey meski bertahun-tahun berada di sisi omega itu. Ia paham betul jika Mikey memang tidak pernah cinta padanya, tapi Rindou?
“Chiyo, adonannya?” Sanzu menoleh ke arah Draken, menyerahkan mangkok adonannya ke arah lelaki itu. “Ngelamun apaan? Rindou?”
Sanzu melengos, lebih memilih untuk merecoki Takemichi dan Mikey yang asik mengemili coklatnya sementara Kakucho yang mengerjakan semuanya dengan serius. Sebenarnya dia tidak marah dengan Draken, tapi fakta kalau Draken lebih sering habiskan waktu semasa Rindou hamil sedikit menyakiti egonya sebagai seorang alpha.
“Michiiii, aaaa,” Takemichi menyuapi Mikey, sementara Draken mendengus, ikut membuka mulutnya.
Takemichi melotot ke arah Draken, tapi masih menyuapi alpha bertato naga itu. Tapi entah kenapa dua alpha itu tidak bisa damai untuk jangka waktu yang lama, terbukti keduanya sekarang sedang meributkan tentang bagaimana Takemichi menggunakan tangan kirinya alih-alih tangan kanan. Mikey yang tidak ingin terjebak di antara keributan itu akhirnya memilih untuk hampiri Kakucho.
“Udah jadi?”
Kakucho tersenyum. “Ini beberapa ada yang udah. Mau coba?”
Mikey dengan sigap membuka mulut, biarkan Kakucho menyuapinya dengan satu kukis yang baru saja keluar dari pemanggang.
Bahagia bagi mereka itu tidak perlu menghambur-hamburkan uang untuk reservasi di restoran orang-orang borjuis yang terletak di jantung kota, datang ke sana dengan kenakan pakaian berlapis emas yang ditenun oleh desainer ternama. Cukup seperti ini. Berkumpul di apartemen yang baru-baru ini Draken sewa karena dekat dengan studio. Tidak seluas tempat tinggal alpha lainnya, tapi cukup menampung lima laki-laki itu dengan sempurna. Mereka habiskan malam itu dengan memanggang kukis favorit Mikey dengan baju rumah sederhana.
Bising. Ada suara dari televisi yang bercampur dengan tawa menggelegar dari Mikey, kemudian disahuti oleh rengekan dari Sanzu. Suara Takemichi mendominasi, diikuti oleh Draken — mengejek Sanzu dengan begitu semangat. Kakucho juga sesekali menimpali, tertawa kalau memang lucu. Tapi Mikey masih jadi pusat segalanya. Omega itu kini duduk di pangkuan Takemichi, sementara rambutnya dikepang oleh Draken yang asik bercengkrama dengan mereka semua. Kakucho terkadang juga menyuapi Mikey dengan berbagai makanan. Hanya Sanzu yang terlihat memisah diri — mungkin ada rasa tidak enak hati dengan seseorang.
Saat di pertengahan film, tiba-tiba ponsel Mikey berdering. Terpaksa Mikey bangkit dari posisi duduknya, keluar ke balkon untuk mengangkat telfonnya.
Panggilan itu hanya berlangsung tiga menit — hanya Shinchiro yang menanyakan kabarnya di tengah kesibukannya, lalu pamit karena masih banyak urusan. Saat Mikey balik badan, ia justru temukan Draken berdiri di sampingnya. Feromon alpha itu sudah akrab di indra penciumannya, maka dari itu Mikey akan secara alami mendekat ke arah Draken.
Presensi Draken selalu membuatnya aman.
“Ngapain kesini?”
“Cari angin,”
Mikey tidak banyak bicara, justru terdiam meski badannya semakin didekatkan ke Draken. Sementara Draken terkekeh, tangannya bergerak memeluk bahu omega itu sementara jemarinya menyusuri helai pirang Mikey.
“Mai, makasih, ya,” ucap Draken. Mikey mendongak, tatap langsung wajah tampan itu sedang tersenyum manis. Tidak ada senyum dibuat-buat, benar-benar tulus seolah semua bebannya sudah tuntas. “Maaf juga karena udah nyakitin lo.”
Mikey kini benar-benar menghadap ke arah Draken, biarkan tangan besar itu kini mengelus pipinya.
“Makasih karena udah ngenalin gue ke mereka, ke orang-orang yang bisa gue anggap rumah,” Draken berucap dengan suara rendah.
Lalu sorot mata penuh haru itu berganti menyedihkan. Draken pandangi Mikey dengan kesedihan tertera di manik mata jelaganya itu.
“Mai, gue sayang banget sama lo, bahkan gue berani bilang kalo gue cinta,” Mikey rasakan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. “Tapi gue juga sayang sama Takemichi, Chiyo, Kakucho…”
Draken meraih beberapa helai rambut Mikey, kemudian mengecupnya.
“Mai, gue cinta sama lo, tapi gue udah relain lo sama Michi,” Draken tersenyum. “Kalian berdua berhak bahagia.”
Tenggorokan Mikey rasanya seperti tercekat. Matanya mengerjap cepat, tapi lidahnya terlalu kelu untuk bicara. Bahagia? Jika dia sudah bahagia dengan Takemichi, lalu bagaimana dengan Draken? Bukannya alpha di hadapannya ini juga paling berhak berbahagia setelah berbagai neraka yang ia alami semasa hidupnya?
“Tapi… Kenchin gimana? Kenchin juga berhak bahagia?”
Draken terkekeh, mengacak rambut Mikey asal.
“Gak usah mikirin gue, pikirin lo dulu.”
Tapi, Draken, bagaimana jika bahagianya Mikey adalah kamu? Rasanya Mikey seperti ingin membalas pernyataan Draken, namun perasaannya sendiri juga teraduk-aduk. Apalagi setelah Draken pamit untuk kembali ke dalam ruangan lagi, lalu matanya tak sengaja menatap Takemichi yang menatapnya sendu dari balik pintu balkon.
Mikey benci melihat Draken sedih seperti barusan, tapi ia juga benci ketika wajah Takemichi menggambarkan kekecewaan. Saat ia kembali, Takemichi dan Draken masih bercengkrama, tapi Mikey memilih untuk menjauh, mendekat ke Kakucho.
Kepalanya sangat penuh dengan wajah Draken dan Takemichi sampai-sampai saat semuanya sudah terlelap, Mikey masih terjaga.
Sebenarnya Mikey ini cinta siapa?
“Kak? Belum tidur?”
Mikey nyaris menjatuhkan gelasnya ketika tiba-tiba mendengar suara Kakucho. Dapurnya kini remang-remang, hanya tampakkan figur Kakucho yang perlahan hampiri dirinya.
“Gak ngantuk, sih,” Mikey menjawab. Sebenarnya dia sedikit canggung dengan Kakucho, apalagi setelah tahu semua rencananya itu. Meskipun ia paham semua itu demi dirinya, tetap saja itu membuatnya tidak nyaman.
Tapi Mikey paling kenal dengan Kakucho, dan ia tahu laki-laki itu maksudnya baik meski caranya salah besar.
“Banyak pikiran, ya?” Kakucho kini duduk di sampingnya. “Atau bingung mau milih Kak Ken atau Michi?”
Mikey langsung menoleh cepat ke arah Kakucho yang pandangannya masih terpatri padanya.
“H-haha, apa, sih?”
“Kakak suka dua-duanya, ya, ‘kan?” Mikey menelan ludahnya bulat-bulat. “Tapi kakak gak bisa milikin mereka secara bersamaan. Satu, karena keluarga Takemichi. Dua, karena kakak gak mau Kak Ken kenapa-napa.”
Mikey tahu jika Kakucho itu observan, tapi tidak seperti ini. Siapa sangka kalau Kakucho bisa menebaknya secara akurat begini?
“Kak Mai mau milih Michi, tapi gak mau nyakitin Kak Ken. Dan sebaliknya, milih Kak Ken bisa jadi trigger sisi sintingnya Michi lagi. Ya, ‘kan?”
Kakucho paham keempat temannya. Dulu, ketika mereka belum berbaikan begini, ia tahu kalau Takemichi serius ketika berkata ia akan menghabisi Draken jika alpha itu pada akhirnya dipilih oleh Mikey. Tapi tidak berhenti di sana, setelah Takemichi pastikan Draken tidak bernafas, ia pasti akan menyusul alpha itu juga. Takemichi tidak rela jika Mikey-nya diambil oleh Draken karena ia juga menyayangi alpha itu di waktu yang bersamaan.
Itu hanya dugaan Kakucho, tapi Mikey pun juga punya perkiraan ini. Takemichi itu berbahaya, dan Mikey tahu.
“Jadi gimana, Cho?”
Kakucho meraih tangan Mikey, mengecupnya.
“Pilih aku, Kak. Kak Ken gak mungkin nentang, Michi juga gak akan berani nyentuh aku.”
Alis Mikey naik sebelah. “Katanya, kamu gak paham cinta?”
“Tapi aku paham Kak Mai lebih baik dari siapapun.”
Mikey melepaskan genggaman tangan Kakucho. “Jangan gila lagi kamu, Cho. Masalah yang kemarin aja aku belum sepenuhnya maafin kamu?”
Kakucho mengedikkan bahunya.
“Aku cuma kasih jalan keluar. Emangnya kakak punya pilihan lain? Yakin mau milikin mereka berdua secara bersamaan? Ketika masa lalu mereka peliknya begitu? Kakak harus inget kalo hidup Kak Ken berantakan karena nutupin perbuatannya Michi. Mana mungkin mereka bisa berdiri berdampingan jadi pasangan kakak? Pilih salah satu pun juga sama aja kayak bunuh diri.”
Mikey tidak merespon, hanya menatap lurus ke depan. Tangannya tanpa sadar meremat gelas begitu keras. Lalu ia kembali menghadap Kakucho.
“Kalo gitu, mending aku gak sama siapa — ”
“Dan biarin mereka terus ngejar kakak? Sampe kapan? Mereka gak akan berhenti kalo kakak sendirian. Terus kalo udah gitu, apa? Kak Mai bakal luluh lagi, dan ujung-ujungnya mereka bakal retak lagi suatu saat. Kakak mau hubungan mereka hancur lagi karena kakak?”
Mikey menatap Kakucho tajam. Demi Tuhan, ia benci dengan segala yang Kakucho lontarkan. Tapi ia tak bisa mengelak jika semuanya adalah kebenaran.
“Pilih aku. Kakak mungkin nggak mencintai aku untuk sekarang, tapi aku bisa ngerubah itu.”
Hanya tawa rendah yang keluar dari belah bibir Mikey. Matanya memicing, tatap Kakucho remeh.
“Kamu? Yang katamu udah rusak itu?”
“Aku masih bisa diperbaiki kalo kakak milih aku,” tangan Kakucho bergerak membelai sisi wajah Mikey.
“Kakucho… Kamu gak pernah nyesel sama semua perbuatanmu ke aku, ‘kan?”
Yang ditanya menghela nafas kasar.
“Aku ini kurang apa, sih? Aku udah berubah demi kakak? Aku bahkan gak nyentuh Kak Iza — ”
“JANGAN — ” Mikey tanpa sadar menaikkan suaranya sebelum berdeham untuk menstabilkan suaranya. “Jangan sebut nama kakakku lagi di depanku, Kakucho. Cukup.”
Tidak ada ekspresi di wajah Kakucho.
“Aku begini karena Kak Mai, loh. Inget, ‘kan?”
Mikey tidak bereaksi apa-apa, hanya menatap Kakucho tajam. Percuma melawan, yang surai hitam itu selalu lebih pintar berdalih dan memutarbalik omongan. Kakucho memang baik, selalu baik. Tapi kalau sudah begini, Mikey rasanya ingin merusak wajah tampan di hadapannya ini.
“Ah, terserah, deh, Kak Mai mau pilih aku atau mereka,” Kakucho berdiri, menjauhi Mikey. “Masih banyak jalan menuju Roma, katanya. Termasuk jalan buat bikin kakak milih aku, ‘kan?”
Mikey nyaris melempar gelas di tangannya jika saja ia tidak kepikiran yang lainnya sedang tertidur pulas. Kakucho — ia kira laki-laki itu sudah berubah. Saat tahu Kakucho dalang dibalik semua ini, Mikey tidak terkejut. Yang buat dia terkejut adalah bagaimana Kakucho menangis, bersimpuh di tanah untuk menjelaskan dan meminta maaf. Mikey kira, Kakucho memang sudah berubah.
Tapi malam ini, Mikey sadar sepenuhnya bahwa di antara mereka semua, hanya Kakucho yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Kupu-kupu yang sayapnya sudah lama rusak mana bisa kembali seperti semula lagi?