Kazutora Bukan Manusia
cw // adegan seks implisit
Jika ditanya ‘manusia itu seperti apa?’, pasti jawabannya akan rancu. Sebab ini adalah pertanyaan yang jawabannya meluas dan tak terhingga. Definisi manusia itu tak bisa ditorehkan dalam kata-kata saja karena tidak ada habisnya. Ada yang bilang, manusia itu mereka yang punya hati seluas samudera; mampu merengkuh sesamanya, dan ampuni kesalahan lawannya. Ada yang bilang juga, manusia itu mereka yang junjung ego dan harga diri mereka tinggi-tinggi, serta bentengi mimpi-mimpi mereka dengan dinding yang dinamakan ‘usaha dan kerja keras’.
Manusia itu, makhluk yang sederhana, bukan?
Maka dari itu, Kazutora melabelinya dirinya sebagai ‘bukan manusia’. Hatinya terlalu dangkal akibat terisi dendam, tangannya terlalu ringkih untuk merengkuh jiwa-jiwa lain, lalu dosanya terlalu menumpuk untuk bisa ampuni yang lain. Ego, harga diri, dan mimpi? Kazutora tak punya semua itu. Tiga hal itu seperti nihil eksistensinya.
Mengapa seperti itu? Sebenarnya sesederhana karena Kazutora mencabut titel ‘manusia’, dan menggantinya dengan ‘makhluk rendahan’.
Tidak, ini bukan tentang Kazutora yang membenci dirinya sendiri. Demi Tuhan, dia itu cinta, kok, dengan dirinya sendiri? Kalau tidak, mana mungkin ia gelontorkan uang untuk merawat diri dan belanja barang-barang desainer jutaan rupiah? Dia sayang dengan dirinya, dengan tubuh ini, tapi ia paham bahwa seorang Hanemiya Kazutora itu tak jauh lebih baik dari sampah.
Manusia mana yang mau jajakan tubuhnya demi memanjat tangga sosial? Yang mau khianati siapa saja asal upah ia terima? Yang mau saja turunkan ego dan injak harga diri selama diberi harta dan kedudukan? Tidak ada manusia yang jalani hidup tanpa tujuan dan hanya berisikan keputusasaan.
Maka dari itu, Kazutora anggap dirinya bukan manusia.
Malam itu, Kazutora diomeli habis-habisan oleh atasan perkara malfungsi pakaian yang terjadi oleh sub-vokalis band yang sedang ia urus. Kazutora hanya mampu tundukkan kepala berulang kali, gumamkan kata maaf dan ‘saya tidak akan ulangi lagi’ sambil pandangannya tatap lurus karpet mewah yang tengah ia pijak. Usai itu, ia disuruh keluar setelah dibilang ‘bedebah pengacau’.
Agensi tempat Kazutora bekerja ini bukan tempat yang buruk, pun band yang ia pegang ini. Orang-orangnya baik, begitu juga dengan gajinya yang mampu tambali kehidupan sehari-harinya. Dia tak punya masalah dengan rekan kerja, malah dianggap keluarga oleh manajer beserta anggota bandnya. Namun, tetap saja para petinggi tunjukkan rasa tak suka padanya. Mungkin fakta bahwa dia ini cuma lulusan SMA tapi bisa dapat pekerjaan dengan mudah, atau fakta banyak para kalangan elit yang jatuh pada pesonanya dan berhasil ia gaet ke ranjang — Kazutora tak peduli. Ini hidupnya, persetan dengan bagaimana cara orang-orang memandangnya.
Seperti kesalahannya kemarin. Selain karena faktor-faktor di atas, ada satu faktor satu lagi yang sangat krusial; ia melakukan kesalahan pada anak emas agensi ini. Inui Seishu namanya, pujaan hati anak pemilik agensi ini — si Kokonoi Hajime itu. Jika ada segelintir cacat yang berani sentuh kesempurnaan Seishu, maka Koko tak segan-segan gunakan kuasanya untuk hukum siapapun orangnya. Beruntungnya Koko itu sedikit melunak padanya setelah setahun bekerja sama, hanya dapat ujaran tajam; itu sudah biasa bagi Kazutora.
Kazutora tidak langsung pulang hari itu, kunjungi pameran lukisan yang diadakan tak jauh dari gedung agensinya. Sebagai seseorang yang kerjanya memadupadankan busana dan merias banyak wajah, Kazutora punya rasa ketertarikan terhadap dunia seni. Dia bisa habiskan waktu panjang untuk pandangi maha karya yang dipamerkan oleh para pelukis ini.
Lukisan kontemporer, pikir Kazutora sambil berjalan ke sekitar pameran. Dia ini walaupun sering kunjungi pameran dan museum, bukan berarti dia ahli dalam bidang seni. Mau ahli bagaimana, tamatan SMA sepertinya ini memang tahu apa? Lebih-lebih ketika seumur hidupnya ini hanya dihabiskan untuk membuka kakinya lebar-lebar saja demi dihujani uang.
Mungkin salahnya, atau salah orang ini, sebab ketika Kazutora terkejut karena tiba-tiba peroleh panggilan dari seseorang di ponselnya, ia berakhir panik dan menabrak seseorang. Tabrakan itu cukup kencang walaupun tubuh Kazutora masih bisa pertahankan keseimbangan, namun orang yang ia tabrak jauh dari kata baik-baik saja.
Kazutora awalnya menatap orang ini dengan tajam, sebelum menelan ludahnya ketika menyadari betapa besar tubuh orang ini. Mungkin tinggi badannya mencapai angka 190 cm, dengan setelan jas yang amat Kazutora pahami jika ini adalah salah satu koleksi musim dingin desainer ternama yang edisinya terbatas.
Setelan mahal ini mungkin bisa membeli seluruh harga diri Kazutora yang tersisa, dan dia tak sengaja tumpahkan kopi yang dibawa pria ini ke pakaian yang dikenakan.
Kazutora menutup mulutnya penuh keterkejutan, sementara pria itu masih bungkam, memandangnya dengan seksama — mungkin sedang menilai penampilannya. Dia kenakan busana merek ternama dari ujung kaki sampai kepala, tak lupa dengan kalung mutiara berbandul ‘Chanel’ yang melilit lehernya dengan sempurna. Sial, dia terlihat seperti orang mampu sekarang.
“Ah, sorry, ya…” Kazutora rogoh tasnya, tas Dior seharga 70 juta rupiah itu, keluarkan kartu namanya dengan senyum canggung di wajahnya. “Lo bisa hubungin nomer gue buat ganti rugi.”
Tidak bisa diurus sekarang karena ponselnya tak berhenti bergetar sejak tadi.
“Duluan,” pamit Kazutora pada pria jangkung yang miliki warna rambut yang sama dengannya sebelum pergi meninggalkan gedung pameran.
Pria itu masih diam tak bergeming, pandangi kartu nama itu cukup lama.
“Hanemiya Kazutora, ya?”
Kazutora tiba di unit apartemennya dan mendapati seseorang berdiri dan bersandar di dekat pintu masuk. Sosok bersurai panjang dan legam itu tegakkan badan saat sadari presensi Kazutora hampiri dirinya.
“Lo ngapain disini, Baji?” Kazutora bertanya.
Baji, lelaki itu berjalan hampiri Kazutora, kemudian merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya. Ia bisa mencium sekilas feromon lelaki itu, sedikit kebingungan dengan tindak-tanduk alpha ini.
“Katanya kalo mau ngewe boleh langsung kesini?”
Kazutora mendorong tubuh Baji, menatap lelaki itu dengan tajam. “Gak. Lo balik ke dorm sana, dicariin anak-anak lainnya nanti.”
Baji menggeleng lemah, kembali memeluk lengan Kazutora dengan erat.
“Gue tengkar sama Chifuyu, Kaz,” tuturnya. Kazutora memandang Baji untuk waktu yang cukup lama sebelum menghela nafas panjang.
“Urusan sama gue apa, Ji?”
“Kaz… Lo masih temen gue, ‘kan? Gue gak ada temen lain kecuali lo, Kaz,” bisik Baji, sandarkan kepala di bahu Kazutora. “Seenggaknya bikin gue lepas dari Chifuyu walaupun cuma bentar.”
Baji terdengar seperti betulan letih. Anggap membayar hutang budi karena membuat masa SMA-nya tidak suram-suram sekali, Kazutora pada akhirnya persilahkan lelaki itu masuk ke dalam.
Awalnya Kazutora hanya menyajikan dua gelas kopi dan berbincang singkat. Baji tidak bercerita tentang masalahnya dengan Chifuyu, hanya terus-menerus bercerita tentang ini dan itu — seperti ingin didistraksi oleh Kazutora. Tanggapan Kazutora tidak kurang maupun berlebih, secukupnya. Sesekali ia akan tertawa jika Baji lontarkan candaan konyol. Mereka juga membicarakan AKUMA, dan Kazutora sekilas perhatikan bagaimana antusiasnya Baji saat membahas Seishu. Wah, batinnya, bisa gawat kalau Chifuyu dengar Baji bicara tentang Seishu kayak gini.
Kazutora paham kalau hubungan dua insan itu rumit, terikat oleh masa kecil mereka yang tak begitu dipahami olehnya. Ada dendam yang tertanam pada Baji yang merupakan mantan kekasih 6 bulannya ini, namun malam ini, Kazutora berusaha abai semata-mata karena Baji pernah jadi kawannya.
“Hah, Chifuyu, ya… Gak tau, lama-lama gue muak sama dia, capek.”
Mungkin karena Baji perhatikan bagaimana Kazutora melamun, alpha itu berani curi satu kecupan singkat di pipinya. Tentu saja Kazutora terkejut, lebarkan matanya saat yang ia temukan adalah bagaimana Baji tersenyum miring sambil mengerlingkan matanya.
“Baji,” peringat Kazutora yang dibalas dengan tarikan di pinggangnya.
“Malem ini aja, ya, Kaz? Gue kangen banget sama lo.”
Kazutora mendengus, berusaha alihkan pandangannya ke sekeliling. Namun Baji masih bersikeras, kini sibuk mengendus lehernya sebelum tinggalkan satu kecupan di sana.
“Kaz… Please? Lo gak kangen sama gue?”
Rindu, ya? Kalau dalam urusan seks, sih, Kazutora sering temukan orang yang keahlian di ranjangnya jauh lebih veteran ketimbang Baji yang masih terkesan buru-buru. Namun Baji ini pernah jadi penguasa hatinya, maka Kazutora pun luluh, terlebih saat tangan Baji yang radiasikan kehangatan itu mulai cengkram pinggang langsingnya, bawa tubuhnya ke atas pangkuan lelaki itu.
Seks dengan Baji malam itu terasa lebih lamban — alpha itu perlakukan Kazutora seolah-olah mereka bercinta sungguhan alih-alih bersenggama kasual ala pemuda dan pemudi kota metropolitan ini. Teknik Baji agaknya memiliki kemajuan, lelaki itu kini tahu titik-titik mana yang mampu buat Kazutora menggelinjang penuh nikmat. Mengambil botol pelumas untuk basahi lubang Kazutora yang masih kering, Baji terkekeh, “gue heran, deh. Lo kan, omega, ya? Tapi masih kering aja. Teknik gue kurang, kah?”
“L-lo kan, tau gue ada kelainan, Ji — ah!”
Baji kecup bahu Kazutora singkat, berbisik, “enak, ya?”
Kazutora mengangguk, “d-disitu!”
“Hm,” balas Baji. “Jangan ninggalin bekas di mana-mana, ya, Kaz?”
Kazutora mengangguk, sibuk terlena dengan permainan Baji sepenuhnya.
Pemula maupun tidak, Baji sama sekali tidak berubah; lelaki itu selalu perlakukan dirinya dengan penuh kelembutan. Caranya menyentuhnya sedikit ceroboh, tapi selalu penuh dengan perhatian. Pemuda itu banyak bertanya, seperti, ‘sakit?’ atau ‘kurang, gak?’
Barangkali ini yang dulu membuat Kazutora jatuh bukan kepalang pada alpha ini. Namun sampai pada malam ini, ia paham bahwa yang dipandang oleh Baji tetaplah Matsuno Chifuyu seorang. Bukan dirinya, bukan Hanemiya Kazutora si jalangnya orang-orang.
Paham, begitu paham. Bahkan ketika Baji berhasil raih pelepasannya, ia sekilas dengarkan alpha itu gumamkan nama Chifuyu. Kazutora pura-pura tuli, langsung jauhkan tubuhnya dari Baji dan cepat-cepat meraih bungkus rokoknya. Selipkan satu batang di antara bibirnya, Kazutora berusaha acuhkan Baji yang kini sibuk dengan ponselnya.
“Kenapa?” Tanya Kazutora saat melihat raut di wajah Baji berubah menjadi tidak enak. Lelaki itu menggeleng, namun tetap saja tak menghapus rasa ‘terganggu’ yang tercetak jelas di paras tampannya.
Hembuskan asap rokoknya, Kazutora berkata, “balik aja ke dorm. Chifuyu, ‘kan?”
“Ck, iya,” Baji bangkit dari ranjang Kazutora, buru-buru memasang bajunya lagi. “Sorry, Kaz, gue balik duluan, ya?”
Sebelum melangkah keluar, Baji menoleh ke arah Kazutora terlebih dahulu.
“Gue keliatan kayak orang habis ngewe gak?”
Kazutora menggeleng, mengusir Baji dengan gestur tangannya. Kepergian Baji diikuti dengan suara kereta api yang berbunyi nyaring. Wajar saja, apartemen ini berada tepat di pinggiran kota, tepat sebelah jembatan rel kereta api.
Selalu gini. Bahkan saat ia masih berhubungan dengan Baji, lelaki itu tak ragu untuk meninggalkannya demi Chifuyu. Dia tidak menyalahkan si surai pirang itu, ia salahkan Baji. Kenapa yang jadi prioritas bukan dia?
Namun jawabannya sudah jelas; siapa juga yang mau prioritaskan makhluk hina sepertinya?
Kazutora baru memulai batang keduanya saat tiba-tiba bel apartemennya berbunyi. Raih jubah tidur dan memasangnya asal-asalan. Ia bercermin terlebih dahulu, mendecih saat melihat bagaimana terdapat bercak merah di sini dan di sana pada tubuhnya. Padahal Baji tidak mau ia beri bekas ciuman di tubuhnya.
Berusaha abai, Kazutora berjalan ke arah pintu dan membukanya tanpa pikir panjang. Ia kira Baji, namun di hadapannya kini ternyata alpha lain dengan surai hitam dan mata sipit yang tajam.
“Koko?”
Koko belum dipersilahkan untuk masuk, langsung menerobos apartemen Kazutora tanpa peduli. Ada raut ketidaksukaan di wajah lelaki itu, lalu berkomentar, “lo udah digaji banyak masih aja tinggal di tempat kumuh gini?”
Kazutora gulirkan bola matanya kesal.
“Duit gue buat hal lain,” sahutnya cepat.
“Apa? Barang-barang branded?” Koko hempaskan tubuhnya ke atas sofa. “At least take care of yourself lah, Kaz. Penampilan lo aja kayak simpenan pejabat, tapi lo tinggal di tempat rongsokan begini. Mana tiap hari makan makanan instan.”
Koko berujar seperti itu seusai temukan beberapa bungkus makanan instan menumpuk di atas konter dapur. Kazutora mendecak, tak paham dengan kehadiran Koko yang tiba-tiba seenaknya mengintrusi tempat tinggalnya.
“Lo mau apa?”
“Sini, duduk dulu.”
Kazutora ogah-ogahan hampiri Koko, duduk tepat di sebelahnya. “Terus?”
“Gue lagi sumpek banget,” Koko sandarkan punggungnya pada sofa, tatap Kazutora dengan senyum tipis di wajahnya. “Suck me off?”
Tentu saja Kazutora menolak, apalagi setelah barusan berhubungan badan dengan Baji. Band gila, pikirnya. Bagaimana bisa band ini belum kena skandal yang bisa runtuhkan reputasi mereka?!
Namun begitu Kazutora layangkan penolakan, rambutnya langsung ditarik oleh Koko, paksa lelaki itu agar menghadapnya.
“Lo nolak, Kaz? Mau gue beberin ke orang-orang kalo pake suntikan feromon omega selama ini, hah? Beta macem lo berani nolak gue? Setelah gue biayain semua kebutuhan lo?”
Tentu Kazutora tak seharusnya menolak Koko yang mau biayai suntik feromonnya itu guna tutupi kebenaran kalau dia hanyalah seorang beta.
Sejarah mereka tidak rumit, kok. Kazutora yang sengaja dekati Koko di sebuah klub elit ternama di kota, berhasil bawa alpha itu ke ranjang untuk setubuhi dirinya. Namun Kazutora sudah tahu kalau si Tuan Muda Kokonoi itu punya kelemahan — Inui Seishu. Merekam kegiatan seks mereka, Kazutora dengan lantang berani ancam akan berikan rekaman ini ke Seishu.
Begitulah bagaimana cara Kazutora berhasil dapat pekerjaan sebagai penata rias AKUMA; sebagai ganti untuk membungkam mulutnya. Tentu saja transaksi kotornya dengan Koko tak berhenti di sana saja. Banyak malam-malam panas dan janji di atas kontrak yang terjadi di antara mereka, sehingga hubungan berlandaskan transaksi ini berlanjut sampai detik ini.
“Kenapa lagi lo sama Inupi?”
“Fuck, jangan sebut namanya. Gue lagi sumpek beneran,” Koko mengacak rambutnya dengan dahi berkerut. “On your knees, Kaz.”
Lalu? Apakah Kazutora bisa menolak? Tentu saja tidak. Lagipula kenapa menolak ketika terbiasa suguhkan tubuh kepada banyak alpha? Lagipula hubungan transaksinya dengan Koko ini berkontinuitas selama alpha itu menginginkan dirinya. Ego, harga diri, dan cita-cita saja tidak punya, jadi Kazutora harus pertahankan apa?
Maka Kazutora biarkan mulutnya digunakan sebagai alat pemuas nafsu alpha tersebut. Yang awalnya hanya seks oral saja, nyatanya menjalar ke hal-hal lain. Koko sekarang mulai jajah tubuhnya, selipkan beberapa digit ke dalam lubangnya yang masih basah pasca Baji.
Koko merengut, “lo barusan dipake siapa?”
Kazutora tidak menjawab, membuat Koko harus mengendus leher lelaki itu untuk temukan jawaban. Begitu mencium aroma familiar dari tubuh Kazutora, Koko langsung terkekeh geli.
“Really? Baji? Lo masih mau aja dipake sama dia? Mana dipakenya gratisan?” cecarnya. “Gue kira seks sama lo butuh duit? Ternyata khusus Baji cukup dibayar pake kenangan aja, ya?”
“Lo diem, jangan bikin gue gak mood,” tegas Kazutora sebelum naik ke atas pangkuan Koko. “Fokus ke gue aja.”
“Little slut. Beruntung goyangan lo enak.”
Setelah Baji, kini ia juga jajakan tubuhnya kepada Koko. Tidak seperti Baji yang penuh hati-hati dan kelembutan, Koko benar-benar perlakukan tubuhnya seolah-olah ia pelacur yang dipungut dari pinggir jalan. Sangat kasar jika dibanding Baji, membuat Kazutora butuh waktu untuk bisa adaptasi dengan Koko saat ini.
Tapi yang seperti ini lebih baik, setidaknya memang Koko gunakan tubuhnya untuk lampiaskan birahi saja tanpa membuat dirinya lambungkan harapan apa-apa. Ia biarkan Koko rapalkan nama ‘Seishu’ di tiap manuvernya, bertingkah seolah-olah dirinya ini sang pujaan hati.
Kazutora tidak peduli. Sudah terbiasa juga seperti ini. Dijadikan opsi kesekian, pengganti, maupun pelampiasan belaka — sudah biasa. Justru hal baru jika seseorang jadikan dia sebagai pusat segalanya, seperti seseorang yang pergi bersama janji-janji manisnya dulu.
Bahwasannya, Kazutora sudah paham jika dia ini bukan Inui Seishu, anak kesayangan semesta yang tumbuh besar penuh hangat dan kasih sayang. Bukan Matsuno Chifuyu yang tiap nafasnya selalu terdapat puja dan puji dari Baji yang terus mendamba cintanya. Bukan Sano Manjiro yang terbiasa hidup sebagai seorang raja dengan para prajurit yang siap kabulkan angannya. Juga bukan Mitsuya Takashi yang merupakan seorang manusia sejati, hidup dengan penuh kejujuran dan kerja keras, juga hati yang begitu lapang.
Kazutora ini bukan manusia, ia hanyalah makhluk rendahan yang tak pantas disebut sebagai manusia. Demi gapai nikmat duniawi, dia rela tanggalkan sisi kemanusiaan yang sudah terkikis itu.
Tapi ada satu hal lagi yang membuat Kazutora semakin yakin bahwa ia bukan manusia; cara bagaimana orang-orang sekitarnya perlakukan dirinya dengan remeh. Seperti Todoroki Enji yang cicipi tubuhnya sebagai selingan saja, seperti Baji Keisuke yang gunakan dirinya sebagai pelarian ketika lelaki itu pernah torehkan luka padanya, seperti Kokonoi Hajime yang gaulinya semerta-merta karena bosan, seperti mereka-mereka yang sepelekan Kazutora dan segala eksistensinya.
Kalau Kazutora memang manusia, mereka tidak akan bertindak seperti itu, ‘kan? Tapi nyatanya, orang-orang terus melukai Kazutora sampai ia menjadi lumpuh perkara perasaan.
Karena orang-orang itulah, Kazutora merasa dia bukan manusia.