KAMASUTRA
— dari semesta ‘AKUMA’
‼️SEX. EXPLICIT NSFW CONTENT. FOR ADULT. MINOR DNI. YOU HAVE BEEN WARNED‼️
“Jadi, kenapa Ryo kamu titipin ke Rin siang bolong begini?”
Ran berjalan mendekati Mitsuya, lalu rengkuh pinggang langsing suaminya itu dari belakang sambil sandarkan dagunya ke atas bahu Mitsuya. Tak perlu berkata apapun sebenarnya Mitsuya sudah paham dengan intensi Ran sekarang.
“Ayo… Udah lama…”
Sudah lama, katanya? Baru dua hari yang lalu mereka curi-curi waktu untuk berhubungan seks ketika Ryo sedang tidur. Kenapa Ran sangat hiperbola sekali?
“Baru juga kemarin lusa, Mas?”
“Mau yang seharian penuh…”
Dasar binatang.
“Males.”
“Takashi? Sayang? Pleaaaaseeeee? Aku gak pernah minta apa-apa, loh… Aku juga nurut, ‘kan?” Ran memohon, dibalas dengusan oleh Mitsuya. “Sayang, seks itu salah satu faktor rumah tangga harmonis, loh…?”
Pintar omong!
Ran berakhir merengek selama 10 menit nonstop sampai telinga Mitsuya berdengung. Heran. Ryo bahkan tidak seperti ini rewelnya? Siapa bilang Haitani Ran itu alpha yang dingin dan mengintimidasi? Pria ini hanyalah bayi besar yang mesum! Lihat, Mitsuya bahkan belum menjawab, namun tangan Ran sudah menjalar gerayangi pahanya.
“Mas — ”
“Aaaaa, mau makan Taka! Mau Taka, mau, mau, mauuuuu~”
Inilah bentuk Haitani Ran yang asli; tukang merengek kalau keinginannya tidak dikabulkan.
Daripada seharian Ran merajuk seharian dengan muka terlipat-lipat sampai menjadi empat bagian, Mitsuya pada akhirnya menyerah, menghela nafas dan mengangguk cepat.
“Oke! Do whatever you want, but — ” Mitsuya menghadap ke arah Ran, tangkup wajah pria itu dan menatapnya secara seksama. “Behave. Besok aku harus ketemu sama dosenku.”
Tidak ada jawaban dari Ran, pria itu langsung saja mengangkat tubuh Mitsuya ke atas konter dapur, raup habis bibir plum sang omega tanpa basa-basi. Mitsuya yang baru saja menutup mulutnya tentu saja terkejut dengan tindakan spontan Ran, terlebih saat bibir pria itu membungkamnya, dengan lidah panas yang kini invasi mulutnya, lilit lidahnya untuk saling menari dengan sengit.
Mitsuya pejamkan mata, kalungkan tangan di leher Ran sementara sang alpha sibuk kuasai permainan lidah mereka. Cumbuan intens itu seperti tak kenal kata usai ketika Mitsuya remat rambut violet milik Ran, makin perdalam tautan lidah itu meski lenguhan dan erangan kerap lolos dari bibir keduanya.
Tangan Ran yang pertama kali lancang menyusup masuk ke dalam kaos yang dikenakan Mitsuya. Jemarinya dengan lihai memijit dada Mitsuya, sebelum gunakan ibu jari dan telunjuknya untuk memilin puting omega yang mengeras itu. Ada desah yang dilantunkan oleh Mitsuya saat Ran iseng mencubitnya, disusul oleh tangan yang mendorong tubuh Ran agar menjauh.
“Jangan dicubit! Sakit!” Ran sebenarnya tidak peduli, dia hanya menatap Mitsuya lama sembari tersenyum miring.
Aduh, Mitsuya-nya sangat cantik sekarang. Surai lilanya yang semakin panjang itu acak-acakan, wajahnya merah padam, sementara matanya terlihat sayu. Lembayungnya nampak berkaca-kaca, membuat Mitsuya berkali-kali terlihat seperti barang rapuh. Ran ingin menghancurkan omega ini, apalagi ketika kedua puting Mitsuya menonjol dari balik kaos putih tipisnya itu.
Kain sialan. Ran yang sudah dikuasai nafsu langsung merobek kaos putih yang dianggap penghalang itu. Abaikan seruan Mitsuya, mata Ran sekarang pandang lurus tubuh suaminya yang terlihat putih dan mulus tanpa seutas benang pun. Puting merah muda itu mencuat, seperti memohon untuk dikulum olehnya.
Dan Ran kabulkan permohonan itu.
Wajah Ran dibenamkan di dada Mitsuya, lalu bibirnya mulai kulum benjolan merah muda itu. Mitsuya meringis, terlebih saat lidah Ran mulai terasa menggelitik. Ran benar-benar menyesap dua sisi putingnya secara bergantian; terkadang hanya dijilat dan disesap sampai merah, kadang juga digigit sampai tercetak jelas garis-garis gigi di areolanya.
“Mm, Taka, dada kamu makin berisi, deh. Aku mainin terus, ya, biar besar?”
Mitsuya menggeleng, bekap mulutnya sendiri dengan tangan, lalu tengadahkan kepala saat Ran menyesapnya semakin kencang. Menarik rambut Ran, Mitsuya berseru di tengah nafasnya yang tersendat-sendat, “s-sakit! Udahh! Raaaan!”
Ran berakhir melepaskan tautannya pada puting yang sudah bengkak itu. Ada senyum bangga di paras tampan alpha tersebut ketika meliha mahakaryanya sudah terpahat di tubuh polos Mitsuya. Sekarang Mitsuya-nya ribuan kali indahnya. Bercak merah terlihat di sini dan di sana, bekas gigitannya pun juga eksis di beberapa sudut tubuh langsing itu. Ah, sialan, kenapa Mitsuya sangat cantik begini? Seperti tubuhnya benar-benar diciptakan untuk Ran nodai.
Tidak membuang waktu, Ran kembali satukan bibir mereka, namun kali ini tangannya bergerak lucuti celana Mitsuya. Senyumnya melebar kala temukan celana dalam omeganya itu sudah basah kuyup. Lakunya boleh saja bengis, tapi tubuhnya tetap saja luar biasa sensitif jika sudah disentuh olehnya. Baru puting saja yang dimainkan saja sudah sebasah ini. Makin hari, Ran makin temukan bahwa tubuh Mitsuya ini agaknya sedikit binal.
“Nakal banget,” Ran meraba ujung penis Mitsuya yang sudah mengacung tinggi, lalu bergerak turun ke arah lubang senggamanya. “Baru nenen aja udah becek begini, sayang.”
Buka lebar-lebar kaki Mitsuya dengan tangannya, Ran dorong kaki itu sampai tubuh Mitsuya terbaring di atas konter. Mitsuya angkat sekilas kepalanya, membebelakkan mata ketika mendapati Ran mendekati bagian selatannya. Tak bisa berlaku apa-apa, Mitsuya hanya bisa menepuk tangan pria itu, mencakarnya ketika merasakan sesuatu yang basah dan licin mulai menjamah cincin analnya.
“Ran! J-jangann, itu kotor — Hn!”
“Mana ada kotor, hm? Wangi gini? Liat, tuh, lubang kamu dijilat dikit udah kedutan. Aku makan sekalian, boleh, ya, sayang?”
Mitsuya baru saja layangkan protes, tapi lidah Ran sudah terobos masuk ke dalamnya. Mitsuya terkesiap, pada akhirnya hanya bisa terlentang dengan kedua kakinya yang ditahan ke atas. Jari-jari kakinya mengerat, sementara pinggulnya mulai bergerak semakin maju ketika lidah Ran semakin sibuk mengacak bagian dalamnya. Suara decakan itu menggema ke seluruh ruangan, dibarengi desahan Mitsuya yang menjadi-jadi. Sekuat tenaga ia tahan suaranya, semua itu akan gagal total ketika Ran menyesapnya semakin kencang. Maka dari itu ia hanya bisa pejamkan matanya dan menjambak rambut Ran, memohon dengan air mata yang sudah mengintip dari ujung matanya agar diberi ampun.
Ran berhenti, kepalanya menyembul di antara selangkangannya. Seringainya terlihat jelas di wajah maskulinnya, lalu ia usap bibirnya sembari bersiul.
“You’re so fucking good, baby.”
Mitsuya membuat catatan mental untuk menyuruh Ran agar berhenti berkata apa-apa di tengah seks ketika semua ini berakhir. Namun disaat kepalanya sibuk berpikir, dua digit Ran justru melesak masuk ke dalamnya, undangan erangan keras dari Mitsuya yang sama sekali tak menduga.
“Mau tau, dong, Takashi bisa keluar nggak, kalo pake jariku aja,” godanya. Senyum tengiknya itu masih terpajang di wajah Ran. “Kalo bisa, wah, Mitsuya Takashi, kamu betulan binal banget.”
Jemari Ran yang tebal dan panjang itu selalu berhasil sentuh tempat-tempat yang tak bisa Mitsuya jangkau. Dadanya kini membusung, tubuhnya meliuk ke atas, sementara kuku jarinya mencakar tangan Ran yang masih menahan kakinya. Ran itu selalu piawai dalam gunakan tangannya. Geraknya tidak berantakan, namun temponya cepat dan mampu gapai titik ternikmatnya dalam sekejap.
“Ran, Ran, Ran — hhah, a-aku — ”
Mitsuya berniat menahan, sungguh. Namun nyatanya, ia langsung menyerah dan capai putihnya sampai tubuhnya mengejang. Isak tangis Mitsuya terdengar samar, namun dilihat dari bagaimana tubuh omega itu masih gemetar, terlihat sekali kalau Mitsuya sedang alami klimaksnya sekarang.
Ran kembali terkekeh, masukkan dua jarinya ke dalam mulutnya, lalu menjilat sisa-sisa cairan milik Mitsuya sampai habis.
“See? You’re a fucking slut, Takashi.”
Mitsuya tak merespon apa-apa, hanya berusaha mengatur nafasnya sambil memperhatikan bagaimana Ran tanggalkan kemejanya secara asal, pamerkan tato yang terpapar jelas pada setengah dari tubuh kekarnya. Mau dipandang berapa kali pun, Ran nampak luar biasa seksi jika sudah bertelanjang dada seperti ini.
Bungkus kondom itu dibuang sembarangan setelah isinya diambil dan dipasang pada batangan penis Ran yang sudah berdiri tegap. Mata Mitsuya tak berhenti pandangi milik Ran; besar, tebal, dan berurat. Mitsuya memang tak pernah melihat banyak penis dalam hidupnya, namun ia yakin kalau milik Ran itu sangat cantik sekaligus mengintimidasi.
“Suka?” Mitsuya mendecih, tak menjawab. “Well, it’s yours.”
Ran berjalan mendekat, kecup kening Mitsuya cukup lama sebelum membalik tubuh lelaki itu. Posisinya sekarang Mitsuya menghadap ke arah konter, tengkurap di atasnya. Bongkah pantat mungil itu ditampar ringan oleh Ran.
“Ass up,” perintahnya.
“Ran…”
Ran tersenyum, cium kening Mitsuya sekali lagi, kemudian beri kecupan ringan di seluruh wajahnya dan berbisik, “don’t worry, I’ll be gentle.”
Maka Mitsuya patuh. Ia naikkan pantatnya, suguhkan liang senggamanya hanya untuk merasakan tubuhnya seperti terbelah menjadi dua ketika penis Ran terobos masuk ke antara celahnya. Ada geraman dari bibir Ran, mungkin karena ia rasa lubang Mitsuya masih saja sempit ketika sebelumnya sudah dipersiapkan olehnya. Sementara Mitsuya sendiri hanya bisa menahan nafas, berusaha adaptasi dengan ukuran suaminya itu.
“Sakit?” tanya Ran yang dibalas gelengan kepala oleh Mitsuya. “Aku gerak, ya?”
Mitsuya sangat suka dengan bagaimana ukuran kejantanan Ran itu sangat bisa memuaskannya. Ia juga suka dengan aroma feromon Ran yang semakin tajam jika sedang bersetubuh dengannya. Lalu tato yang menjalar di separuh tubuh Ran juga terlihat seksi, apalagi jika tetesan keringat terkadang jelajahi turun tinta hitam itu.
Yang Mitsuya benci dari Ran mungkin cuma bagaimana mulut pria ini sangat manis, selalu bertanya keadaannya di tengah kegiatan senggama mereka. Kata-katanya selalu manis, seperti; “kalau sakit bilang, ya?” atau, “aku bakal pelan-pelan, kok.”
Bohong.
Lihat Mitsuya sekarang, kewalahan setengah mati ketika Ran sudah menghujamnya tanpa ampun. Katanya ‘pelan’, tapi Mitsuya disetubuhi sampai tak bisa bicara sama sekali kecuali meracau dan mendesah tak karuan. Lidahnya menjulur keluar, sementara Ran terus-menerus bergerak dengan liar di belakangnya. Tempo cepat itu membuat kepala Mitsuya terantuk-antuk dan membentur permukaan marmer konter. Melihat ini, Ran julurkan tangan, posisikan tangannya agar dahi Mitsuya tidak mengenai permukaan keras itu lagi.
Iya, Ran memang perhatian terhadap hal-hal kecil seperti ini. Namun kalau sudah tentang keadaan Mitsuya yang sudah lemas karena raih ejakulasinya terlebih dahulu, Ran tidak peduli. Pria dengan stamina berlebih itu tetap saja menggenjotnya tanpa ampun.
“Fuck, fuck, Takashi… Gila, kamu sempit banget, sayang,” gumam Ran tanpa menghentikan manuvernya. Ia tengadahkan kepalanya, kemudian mendecak ketika merasa dirinya sudah dekat dengan pelepasannya. “Look at you, so pretty like this. I wish I could breed you again and again, fuck.”
Ran meraih putihnya sembari menggigit bahu Mitsuya dan mengerang dengan suara baritonnya tepat di telinganya. Sialan, seksi banget, batin Mitsuya yang merasa terangsang lagi.
Belum juga Mitsuya mengambil nafas, tubuhnya dibalik lagi oleh Ran. Tubuh besar itu mengukumg tubuh Mitsuya sepenuhnya. Ada seringai lebar di wajah Ran, sementara Mitsuya meringis kesal.
“Lagi?” tanya Ran. “Masih belum turun ini.”
Mitsuya melirik ke bawah, hanya untuk mendapati bahwa milik Ran masih berereksi dengan sempurna. Manusia macam apa, sih, Ran ini? Baru saja klimaks sudah tegang lagi?
“Kamu kelainan apa gimana? Masa udah turn on lagi?” tanya Mitsuya keheranan.
“Habis kamu cantik banget, sayang,” Ran gigit bibir Mitsuya sekilas. “Nanti yang kedua ini aku gak pake kondom boleh? Mau keluar di mukamu.”
Mitsuya menghela nafas. Pertanyaan ini retoris. Sebab sekalipun Mitsuya tidak setuju, pasti Ran akan berusaha sekeras mungkin agar dirinya setuju. Pria sialan. Untung saja dia cinta.
“Terserah. Tapi bawahku masih sakit, tau! Nantian aja, ya? Jangan langsung, kayaknya bengkak, deh,” ujar Mitsuya beralasan.
Seenggaknya biarin gue nafas dulu, batinnya.
Namun Mitsuya lupa lawannya itu orang gila modelan Haitani Ran. Usai dia beralasan seperti itu, Ran justru berjalan ke arah kulkas untuk mengambil sesuatu. Pikirannya, ‘ah, mungkin minum’. Tapi Mitsuya benar-benar menyepelekan cara berpikir pria itu.
Sekarang Ran berdiri di hadapan Mitsuya yang masih berbaring di atas konter dapur, lalu membuka lebar-lebar kakinya. Tentu saja Mitsuya terkejut, protes, “kamu ngapain?!”
Ran terkekeh, “biar gak bengkak.”
Di tangan Ran sekarang terdapat es batu.
Iya, es batu yang dioleskan di cincin rektumnya dengan harapan bengkak yang dimaksud Mitsuya cepat pulih. Orang aneh! Namun yang lebih aneh mungkin adalah Mitsuya yang justru mendesah saat sensasi dingin itu mulai dirasa bagian selatannya.
Mungkin Ran sudah gila, sebab ketika melihat milik Mitsuya bereaksi saat ia tempelkan es pada analnya, tiba-tiba terlintas sebuah ide nakal di kepalanya.
“Taka, ayo belajar menghitung,” tukas Ran dengan riang.
“Apa lagi?!” ketus Mitsuya.
Ran jilat es batu yang berada di tangannya, kemudian tersenyum lebar.
“Hitung ada berapa es batu yang aku masukin di kamu.”
Tentu saja Mitsuya sangat terkejut dan buru-buru menolak. Namun kedua kakinya segera digenggam oleh Ran, diangkat sampai ke atas kepalanya. Tak lama, ia bisa merasakan sesuatu yang dingin masuk ke liangnya, membuatnya bergidik karena sensasi dingin yang begitu asing.
Lalu dua,
tiga,
dan —
“Berapa, Takashi?”
“Hnnhh, Ran… G-gak tau — ”
“Enam, sayang. Gitu aja kok gak bisa? Ayo, coba lagi,” Ran masukkan es lagi ke dalamnya.
Rasa dingin itu membuat sensasi aneh yang nikmat. Mitsuya sampai dibuat kebingungan karenanya. Namun seenak apapun yang ia rasakan sekarang, tetap saja rasanya asing. Terlalu dingin dan berair, Mitsuya tidak suka.
Mitsuya menangis, kemudian berkata, “g-gak suka… M-mas Ran, Taka gak suka…”
Seperti ada bunyi ‘klik’ di kepala Ran sekarang, sebab ia langsung berhenti bermain dengan es-es itu dan beralih sepenuhnya pada Mitsuya.
“Curang kamu. Kalo ada maunya aja langsung panggil ‘mas’.”
Es-es itu sudah mencair ketika Ran lesakkan penisnya ke dalam Mitsuya untuk yang kedua kalinya. Rasa dingin yang tadi dirasakan berubah menjadi hangat, sekaligus membuat indera perasanya menjadi sensitif. Tiap friksi yang diciptakan oleh Ran kini rasanya seperti menyengat, membuat nikmatnya terasa berkali-kali lebih nikmat.
“Taka, lagi, panggil aku lagi,”
“Hhn, R-ran — ”
“Bukan, yang satunya, atau aku gak mau gerak.”
Tukang ngancam!
Mitsuya buka matanya perlahan, lalu lingkarkan tangannya di leher Ran.
“Mas Ran, gerakin yang dalem, yah?”
Hal yang terjadi selanjutnya adalah kekacauan. Bibir Mitsuya disambar dan dilumat sampai ujung bibirnya terluka, kemudian tubuhnya diangkat, membuat penis Ran yang sudah berada padanya bersemayam semakin dalam. Ran meremas bongkah bokongnya dengan kencang, lalu menamparnya lagi. Tubuhnya sekarang diangkat naik dan turun dalam posisi berdiri, sebabkan Mitsuya menangis kencang karena posisi ini membuatnya bisa merasakan betapa dalamnya Ran berada.
“Mas, Mas Ran — AH! Dalem banget, Mas…”
Ran membawa Mitsuya ke kamar mereka, baringkan tubuh itu ke atas ranjang sebelum hentakkan penisnya lagi sampai ujungnya menonjol di perut Mitsuya.
“You like it, right? You like it when I fuck you deep like this,” bisik Ran yang kemudian hentakkan miliknya sekali lagi sampai cairan putih muncrat keluar dari ujung penis Mitsuya. “Little slut.”
Dipanggil begitu membuat Mitsuya raih ejakulasinya lagi, sukses membuat Ran mendecak penuh heran. Siapa sangka Mitsuya-nya ini sangat suka direndahkan begini? Kinky.
Ran meraih tangan Mitsuya, lalu diarahkan ke benjolan di perut omega itu.
“Mana boleh keluar duluan, cantik? Aku masih sedalem ini, loh? Kalo aku keluar di dalem sini gimana? Mau aku hamilin lagi, hm?”
Mitsuya tatap Ran dengan memelas, berkata, “Mas Ran udah janji…”
Ran terkekeh, kecup pipi Mitsuya dengan gemas sambil menghapus air mata lelaki itu.
“Ya udah, Mas keluar di mukanya Takashi aja, ya?”
Mitsuya mengangguk cepat, biarkan tubuhnya dihujam lagi oleh Ran berkali-kali. Ran benar-benar tidak memberinya waktu bernafas saat itu. Bahkan saat kuku jari Mitsuya beralih mencakar punggung lebar Ran, pria itu sama sekali tak peduli.
“R-ran, Ran, udah! Hhhnn, capekk, hiks,” pinta Mitsuya yang sudah keluar dua kali di ronde kedua ini.
Namun Ran, alih-alih sudahi permainan mereka, Mitsuya bisa merasakan bagaimana kejantanan pria itu membesar di dalamnya. Dasar psikopat! Mitsuya menangis minta sudah malah membuatnya semakin terangsang!
10 menit setelahnya, Ran mencapai klimaksnya dengan mengeluarkan air maninya di wajah Mitsuya. Ia biarkan cairan putih dan kental itu hiasi paras ayu omeganya itu, meleleh di sudut wajahnya dengan perlahan. Sinting. Mitsuya yang kelelahan setelah kegiatan bercinta mereka benar-benar menggugah nafsu birahinya lagi.
Nggak, lo bukan binatang, Ran!
Lalu netra kecubungnya menangkap Mitsuya sedang menjilat cairan sperma yang menetes di dekat bibirnya dengan begitu sensual.
“Sayang, lagi…”
Mitsuya mendelik, hendak protes namun seketika bungkam ketika melihat bagaimana Ran sudah tegak untuk yang kesekian kalinya.
Terkutuklah Ran dan stamina sialannya!
Usai 5 ronde, keesokan harinya, Ran temukan dirinya bersimpuh di depan Mitsuya yang sedang duduk dengan angkuh di sofa ruang keluarga dengan sikap sempurna.
“Duduk yang bener!” tegas Mitsuya sambil mengetuk kepala suaminya dengan spatula.
“Maaf…”
“Maaf apa?!”
“Maaf udah ngajakin sampe 5 ronde… Sampe kamu gak bisa jalan…”
Mitsuya mengangguk, kemudian menggetok kepala pria itu sekali lagi.
“Terus?”
“Maaf udah manggil kamu ‘slut’… Gak bermaksud, yang. Mana ada kamu ‘slut’…” cicit Ran yang dibalas anggukan dari Mitsuya. “Tapi kamu ngaceng — ”
TAK!
“Kurang minta maafnya! Lagi!”
Ran merengut, berusaha mengingat-ingat kesalahannya. Lalu ia teringat ronde terakhirnya kemarin.
“Maaf udah ngewein kamu sampe pipi — ”
TAK!
“YANG BENER!”
Ran meringis, mengusap kepalanya sambil merengek, “huuu, maaf… Bingung apa lagi salahku…”
Mitsuya julurkan kakinya ke arah Ran, angkat dagu pria itu dengan jemari kakinya agar menghadapnya langsung.
“Diinget-inget lagi, ya, salah kamu apa. Mas Ran pinter, ‘kan?”
Ran mengangguk, “pinter, kok… Maaf, Taka…”
“Kalo sampe nanti malem kamu nggak inget semua salahmu apa, jadi anjingku seminggu mau?”
Tentu saja Ran mengangguk cepat, menjawab, “mauuuuuuu,” sambil mencium kaki Mitsuya dengan seduktif.
“Kok mau, sih, Mas?!”
Lalu Ran mendongak, menyeringai sambil sandarkan kepalanya di betis Mitsuya.
“Woof~”
— FIN