ayiin
7 min readFeb 23, 2022

Hanya Manusia

Setelah seminggu habiskan waktu di Jenewa, pada akhirnya Ran dan Mitsuya kembali ke Jakarta di hari Senin yang mendung. 18 jam perjalanan itu membuat mereka langsung pejamkan mata erat-erat ketika tiba di rumah mereka. Ketika Ran terbangun dari tidurnya, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecup kening Mitsuya, lalu melangkah memasuki kamar mandi.

Hari ini, Ran harus bertemu dengan kedua orang tuanya. Perlakuan mereka terhadap Mitsuya benar-benar kelewatan. Terlebih ibunya. Jika boleh jujur, Ran merasa terkhianati oleh tingkah ibunya. Ia kira wanita itu akan menerima dan menghormati segala keputusannya, tapi apa? Semua hanya tipu muslihat. Di balik Ran, wanita itu ternyata punya rencana untuk mengacak-acak rumah tangganya.

Ran berencana menyelesaikan ini sendiri. Kalau bawa-bawa Mitsuya, ia takut ia akan bertengkar hebat dengan orang tuanya di depan suaminya itu. Mitsuya tak perlu dibebani lagi dengan masalah internal keluarganya, apalagi setelah menanggung ancaman sebesar itu di bahunya selama ini.

Namun Mitsuya sudah selesai mandi ketika Ran keluar dari ruang gantinya. Mitsuya berjalan hampiri dirinya, lalu berjinjit untuk kecup bibirnya secara singkat.

“Tunggu aku, ya? Jangan berangkat sendiri,” ujar Mitsuya singkat.

“Sayang—”

“Kamu bilang kita bakal selesaiin ini bareng-bareng, ‘kan? No more solving problem alone, we have each other now.”

Mansion besar nan megah itu selalu membuat Ran sesak. Tak peduli berapa ribu hektar luas tempat ini, Ran akan selalu merasa pasokan oksigennya berkurang jika sudah berdiri di sini. Para pelayan menyambutnya dan Mitsuya ketika mereka tiba, beberapa ada yang saling berbisik, arahkan tatapan tidak sopan ke Mitsuya yang membuat dirinya jengkel setengah mati.

“Siapa yang ngajarin kalian buat mandang omega saya kayak gitu, hah? Nunduk!”

Tentu Mitsuya terkejut melihat Ran yang tiba-tiba marah seperti itu. Ia remas tangan pria itu, kemudian ia berikan senyum tipis guna tenangkan amarah alpha tersebut.

Begitu sampai di ruang baca tempat ibu dan ayahnya berada, hal yang pertama kali dilakukan oleh ibunya Ran adalah tiba-tiba berjalan cepat hampiri mereka dengan tangan yang nyaris melayang ke arah Mitsuya. Untungnya Ran cepat tanggap, buru-buru menahan tangan ibunya sebelum mendarat ke wajah suaminya.

Ran yang awalnya ingin bicara dengan kepala dingin langsung membludak,

“MAKSUD ANDA APA?!”

“Anda? ANDA?! AKU INI IBU KAMU, HAITANI RAN! SEKARANG KAMU BERANI NGELAWAN ORANG TUA KARENA OMEGA RENDAHAN INI?!”

Mata Ran memerah, tangannya mencengkram Mitsuya, membawa tubuh omega itu agar bersembunyi di balik tubuhnya. Sementara ayahnya hanya diam saja ketika istrinya hampir kehilangan akal seperti ini. Ran menatap mereka dengan miris. Orang tua macam apa mereka ini?

“Ibu? Anda pikir saya masih bisa anggap Anda seorang ibu setelah semua yang Anda lakukan ke keluarga saya? Ke Takashi, suami saya?” Suara Ran bergetar, tandakan amarahnya sudah tak tertampung lagi dan siap meledak kapan saja.

“KAMU GAK NURUT SAMA MAMA! MAMA CUMA PINGIN KALIAN CERAI! MAMA CUMA PINGIN KAMU NIKAH SAMA ORANG YANG BENER! HIDUP DENGAN PENUH HORMAT, UDAH, ITU AJA! APA SUSAH, RAN?!”

“INI HIDUP SAYA!”

“YANG UDAH KASIH KAMU HIDUP ITU SIAPA?! YANG UDAH BESARIN KAMU SELAMA INI SIAPA, HAH?! KAMI, RAN! BUKAN DIA, TAPI KAMI!”

Mitsuya menggenggam tangan Ran, mengelusnya dengan lembut, berharap amarah alpha itu terkikis sedikit demi sedikit.

Ayah Ran yang sedari tadi terdiam mulai angkat bicara.

“Kamu itu, Ran, udah tau mama kamu begini masih aja gak nurut. Turutin aja, ini permintaan ibu kamu sendiri. Lagian mama kamu gak salah, apa untungnya pertahanin pernikahan kamu ini?”

Sekujur tubuh Ran sekarang bergetar, kepalanya berdenyut nyeri. Kenapa? Kenapa dua orang sialan ini adalah orang tuanya sendiri? Bagaimana bisa? Nggak salah, katanya? Apakah ayahnya baru saja membenarkan tindakan ibunya?

“Wanita ini mengancam suami saya dan kandungannya. Anak saya, loh? ANAK SAYA! GIMANA BISA ANDA PIKIR TINDAKANNYA BENAR?!”

“Yang bener, Ran. Papa sama mama ini orang tua ka—”

“SAYA NGGAK SUDI NYEBUT KALIAN ORANG TUA SAYA!” sentak Ran begitu lantang. Semua pelayan yang tadinya berada di sekeliling mereka otomatis bergidik ngeri, mulai berjalan menjauhi Ran.

Ayahnya itu berdiri, hampiri Ran dan—

PLAK!

“JAGA OMONGANMU! KAMU KIRA KAMU INI BISA APA KALO GAK ADA ORANG TUA KAMU?! MENTANG-MENTANG BUTA KARENA CINTA, UDAH LUPA ORANG TUA, IYA?!”

Nafas Ran tersengal-sengal, matanya terpejam kala rasakan sensasi panas mulai menjalar di pipinya. Sedangkan Mitsuya panik, namun tidak bisa apa-apa kecuali menenangkan alpha itu.

“Kalian ini ngancem Takashi… Ngancem anak di kandungannya… Anak saya! Taka keguguran waktu itu, saya nggak kaget kalo itu ulah kalian.”

“Berani kamu nuduh orang tua kamu sendiri?! Terima kenyataan kalau kamu gagal melindungi anak kamu sendiri! Kok bisa-bisanya nimpalin kesalahan ke orang lain!”

Ran mengangguk, menjilat bibirnya mengering kemudian berdeham agar suaranya berhenti gemetar.

“Oke, katakanlah emang kecelakaan, tapi kenapa istri Anda ngancem Takashi kayak gitu? Kenapa dia bilang kandungan Takashi gak bakal selamat kalo Takashi nggak gugat cerai saya? Kenapa, hah? KENAPA?!”

Ayah Ran menoleh ke arah ibunya, kemudian bertanya, “bener? Kamu habis ngancem orang itu?” namun tak peroleh jawaban dari ibu Ran.

Ayahnya yang sialan itu bahkan tidak sudi menyebut nama Mitsuya.

“Pokoknya, ya, sampai kapanpun kami sebagai orang tua kamu, Ran, nggak akan kasih restu. Harusnya kamu itu nurut, Ran. Mau gimanapun juga kami ini orang tua yang melahirkan kamu, biayain kamu dari kecil sampai segede ini. Ini ucapan terima kasih kamu? Dengan melawan dan nuduh orang tua kamu sembarangan?”

Ran rasanya ingin menangis, namun tangan Mitsuya yang menggenggamnya dengan kuat seolah-olah menjadi pengingat bahwa ia tidak sendirian sekarang. Maka dari itu ia tengadahkan kepalanya, tatap lurus mata ayahnya.

“Saya berterima kasih kalian mau ngelahirin saya dan besarin saya, biayain saya seperti kata kalian. Tapi kalian perlu tau, ini hidup saya, bukan hidup kalian. Saya punya hak sepenuhnya untuk jadi manusia yang utuh.”

Ayahnya mendecak, “dasar anak gak tau diuntung!”

“Iya. Makanya saya kesini mau bilang kalau saya, Haitani Ran, bukan bagian dari keluarga Haitani lagi,” Mitsuya membelalakkan matanya, begitu juga dengan kedua orang tua Ran. “Saya mundur sepenuhnya dari jabatan presiden direktur Haitani Entertainment. Begitu juga dengan 40% saham dari kekayaan saya sendiri dan semua investor yang saya gaet—semua saya tarik dari perusahaan. Silahkan cari presdir dan investor baru, Tuan Haitani yang terhormat.”

Mitsuya masih melongo tidak percaya. Jadi ini? Ini alasan Ran selama di Jenewa kemarin berulang kali mengadakan meeting dan menghubungi orang ini dan itu? Ternyata karena Ran berniat mundur dari perusahaan dan membawa orang-orangnya? Gila. Haitani Entertainment bisa kolaps kalau begini caranya. Bagaimana tidak, Ran adalah pilar dari perusahaan. Jika tahu Ran tiba-tiba mundur begini, pasti para investor yang berhasil dilobi oleh Ran akan ikut mundur. Harga saham milik Haitani Entertainment akan anjlok.

Perusahaan milik Haitani ini akan bangkrut.

“Perusahaan yang Anda banggakan itu bisa ambruk sekejap mata. Anda kira kenapa saya pergi ke Turki dan Jenewa? Buat senang-senang? Saya berencana buat kalian hancur.”

Saking terkejutnya, ayah Ran sekarang langsung ambruk ke sofa sambil memegangi tengkuknya dan meringis kesakitan. Sementara Mitsuya yang tak tahu-menahu ikut panik, ikut berbisik, “kamu serius? Ran? Jangan gila?

Ibunya juga ikut berseru panik, memanggil suaminya berulang kali dengan nada khawatir.

“Silahkan hidup dengan tenang tanpa punya anak seperti saya. Saya pamit undur diri.”

Ran membungkukkan badannya 90 derajat, seolah penghormatan terakhir pada orang tuanya. Namun baru saja berbalik badan, tiba-tiba rambut Mitsuya ditarik oleh ibunya yang sekarang berteriak histeris.

“SEMUA INI KARENA ORANG RENDAHAN KAYAK KAMU! LIHAT RAN! LIHAT! ANAKKU! ANAKKU JADI BEGITU KARENA KAMU! SIALAN KAMU! MATI AJA KAMU, MATI!”

Mitsuya berusaha melawan, namun bagaimana juga ibu Ran ini seorang alpha, kekuatannya belasan kali lebih kuat darinya. Rasa sakit itu berakhir ketika Ran berhasil memisahkan keduanya. Suaminya itu membawa Mitsuya ke rengkuhannya. Matanya yang merah itu mendelik dengan nyalang, air matanya merembes keluar dari ujung matanya. Seumur hidup Mitsuya, baru kali ini ia melihat Ran begitu marah.

“MAMA APA-APAAN?!”

“KENAPA?! MAMA BENCI SAMA OMEGA INI! BENCI! GARA-GARA DIA, KAMU JADI BERUBAH! DIA BAWA DAMPAK BURUK KE KAMU! HARUSNYA DIA MATI AJA!”

Mendengar ini, Mitsuya hanya bisa mati-matian menahan tangisannya agar tidak tumpah. Disumpahi mati oleh mertuanya sendiri, bagaimana Mitsuya tidak sedih? Namun Mitsuya tidak boleh menangis, tidak ketika emosi Ran sudah berada di ujung tanduk. Dia harus berperan sebagai orang yang menenangkan Ran sekarang.

“R-ran udah, aku g-gapa—”

“KALIAN KENAPA KAYAK GINI, SIH?!” Ran berseru, menatap kedua orang tuanya bergantian dengan dadanya yang naik dan turun tanpa ritme.

“GUE SALAH APA KE KALIAN, SEKARANG GUE TANYA?! KENAPA KALIAN JAHAT BANGET KE GUE, HAH?! GUE SALAH APA KE KALIAN SEMUA?!”

Suasana seketika menjadi sesak, feromon Ran membuat Mitsuya menciut di pelukan alpha itu.

“Lo semua bikin gue les tujuh bahasa, semua mata pelajaran, renang, piano, anggar, bela diri—SEMUANYA! Apa gue protes, hah?! GUE PROTES, NGGAK?! Lo tuntut gue sebagai juara pertama DI SEMUA PERLOMBAAN, lo paksa gue belajar dari PULANG SEKOLAH SAMPE JAM 3 PAGI! TAPI ADA GUE NGELUH?! NGGAK!”

Mitsuya menatap Ran tidak percaya, seperti itukah kehidupannya dulu?

“Ketika gue gagal juara pertama, papa mukulin gue pake tongkat golf, apa gue marah?! Apa gue benci sama kalian?! APA GUE NGELAWAN?!

“LO SEMUA NUNTUT GUE JADI ANAK PERTAMA PALING SEMPURNA GAK ADA CACAT! TAPI LO SEMUA MIKIR GAK, SIH, KALO GUE CUMA ANAK KECIL WAKTU ITU?!

“Tapi… Kalian gak pernah mikir gitu, ‘kan? Hah! Jelas! KALIAN GAK PERNAH ANGGEP GUE SEBAGAI ANAK KALIAN! GUE CUMA ALAT BUAT MENUHIN EGO LO, IYA, ‘KAN?!”

Ran menangis, namun bibirnya masih lantang muntahkan semua perasaan yang selama ini tertimbun di hati kecilnya.

“Kalian bilang, ‘Ran harus sempurna, Ran sebagai kakak harus kasih contoh yang baik, Ran pewaris utama harus gak boleh ada cacat’, GUE MUAK, ANJING! GUE CAPEK!”

Kini kedua orang tuanya hanya memandang Ran lama dengan rasa bersalah terpapar di wajah keduanya meski separuhnya tertimpa oleh raut angkuh mereka.

“Gue… Gue, Haitani Ran, seumur hidup udah nurutin semua perintah kalian. Lo nyuruh gue ngubur cita-cita gue sebagai dokter demi perusahaan lo, gue turutin. Lo nyuruh gue nempuh pendidikan sampe S3, gue turutin. Semua… SEMUA permintaan kalian gue turutin. Gue udah berusaha jadi sempurna buat kalian, tapi—”

Tenggorokan Ran tercekat, kemudian menangis sampai terisak. Hati Mitsuya makin mencelos, berapa banyak luka yang pria ini simpan? Berapa banyak beban yang ia pikul demi penuhi ekspektasi orang tua?

Anak sulung memang memikul beban terbesar, namun beban Ran ini sebesar apa? Mitsuya tidak bisa berhenti menangis sekarang.

Di balik hidup glamor dan reputasi buruknya, nyatanya, Haitani Ran hanyalah anak malang yang dipaksa menjadi budak untuk memenuhi harapan orang tuanya.

Ran mendongak, menatap orang tuanya dengan putus asa.

“Tapi Ran kali ini cuma jatuh cinta… Ran cuma mau punya keluarga sama orang yang Ran cintai, Ran cuma mau bahagia… Tapi kenapa kalian kayak gini? Apa Ran gak berhak bahagia? Apa selamanya Ran cuma bisa nafas kalau kalian suruh dan berhenti nafas kalau kalian udah gak butuh?”

Ran mengusap air matanya perlahan, lalu berkata di sela tangisnya,

“Pa, Ma, Haitani Ran itu cuma manusia.”

No responses yet