ayiin
9 min readDec 18, 2021

Gugurnya Raja

Sanzu meminta member AKUMA yang berada di dorm untuk pergi dari sana sebentar — beralasan dia butuh waktu berdua dengan Mikey, ingin berkomunikasi sebagai sesama teman masa kecil. Niat Sanzu hanya tidak ingin orang-orang tersayang Mikey itu kena getahnya. Takemichi setelah ini tiba, begitu juga dengan Kakucho dan Draken yang sengaja ia pancing untuk kemari, jelasnya tempat ini akan menjadi tanah berlumuran darah, area perang, jika Sanzu boleh hiperbola. Ia tahu Takemichi, Draken, dan Kakucho dalam satu ruangan sama saja meletakkan tiga bom waktu di waktu bersamaan.

Tapi Sanzu harus melakukan ini; mengakhiri semua kekonyolan Kakucho meskipun nyawa jadi taruhan sebab Takemichi tidak akan kenal ampun jika sudah menyangkut tentang Mikey.

Takemichi yang terlebih dahulu datang. Lelaki itu masih terlihat sama seperti setahun sebelumnya meski tubuhnya jauh lebih besar — mungkin sering habiskan waktu untuk olahraga guna tenangkan pikirannya selama jauh dari Mikey. Ada kekhawatiran di wajah lelaki itu, sebelum langkahnya benar-benar terhenti dengan lara terlukis di wajahnya saat melihat Mikey terduduk di hadapannya dengan gurat lelah di paras ayunya dan pandangan kosong di netra jelaga favoritnya itu.

Marah, tentunya, jangan ditanya lagi. Takemichi meninggalkan Mikey dengan harapan dia bisa memberikan ruang bagi omega itu untuk bernafas, biarkan Mikey untuk lebih jelajahi perasaannya sendiri. Takemichi sudah rela jika Mikey akan jatuh hati dengan orang lain, tidak apa-apa selama Mikey temukan bahagianya.

Tapi ini apa? Mengapa Mikey terlihat seperti raga yang tak punya nyawa? Terlalu kosong, sampai-sampai Takemichi gagal mencari-cari rasa duka yang dirasakan omega itu. Siapa yang berani-beraninya membuat Mikey nelangsa begini? Murka. Takemichi ingin hancurkan orang itu sampai berkeping-keping.

“Kak Jiro…” Mikey hanya mendongak sekilas, lalu tersenyum kecil. Alih-alih merasa senang, Takemichi justru merasa nyeri luar biasa. Itu bukan senyum Mikey yang biasanya, terlalu palsu, terlalu hampa. “Aku balik, Kak, nggak disapa, nih?”

Mikey tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.

“Halo, Michi.”

Takemichi kira dia tidak akan mendengar suara ini lagi; suara Sano Manjiro yang sudah berada di ambang kehancurannya. Suaranya itu lembut, tapi mampu menusuk ulu hatinya. Tidak ada suara Mikey yang terdengar riang bak tempo allegro, sekarang suara itu lebih mirip bunyi disonan yang menyedihkan.

“Michi ngapain?” Mikey bertanya, tapi tatapannya lurus ke depan.

Takemichi kini bersimpuh di hadapan Mikey, lalu kecup punggung tangannya. “Kak, aku udah janji kan, kalo aku balik dan kakak gak bahagia, aku bakal rebut kakak lagi?” Mikey mengangguk. “Sekarang, kakak mau ikut aku, nggak?”

Mikey tidak banyak merespon, namun bibirnya terbuka untuk menjawab.

“Gak perlu, Michi. Lagian aku udah gak ngerasain apa-apa lagi,” jawaban ini membuat pertahanan Sanzu yang sedari tadi berdiam diri mulai runtuh.

Sanzu menangis, lagi, sebab dalam pemahamannya, semua ini salahnya. Jika saja ia lebih terima perasaannya terhadap Rindou, lalu belajar merelakan cintanya pada Mikey beserta segala masa lalunya, mungkin Mikey tidak akan menjadi seperti ini, mungkin Kakucho tidak akan segila ini pula. Salahnya yang egois, menggebu-gebu ingin cintanya pada Mikey yang ia tanam selama bertahun-tahun itu untuk segera menuai hasilnya. Terlebih ketika Kakucho ulurkan tangannya seperti malaikat penyelamat.

Mungkin Kakucho masih sama malaikatnya — malaikat pencabut nyawa. Segala tentang Kakucho adalah sebuah miskalkulasi yang tak pernah Sanzu kira dampaknya akan sebobrok ini. Sungguh, ia tidak ingin Mikey terjerembab dalam lubang hitam itu lagi. Tak masalah jika cinta-cintanya tak terwujud, yang terpenting adalah jaminan atas kebahagiaan Mikey.

Tapi nasi telah menjadi bubur, Mikey sudah kehilangan dirinya sekarang.

Bagi sebagian orang mungkin akan meremehkan perasaan Mikey sekarang, bertanya-tanya, apa yang membuat Mikey bertingkah seolah-olah ditinggal mati kekasihnya? Padahal itu cuma perkara cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Tapi Sano Manjiro telah banyak alami kehilangan, dan salah satu kehilangan terbesarnya adalah bagaimana ia telah kehilangan dirinya sendiri.

Dalam setahun ini, Mikey kehilangan Takemichi. Mungkin Mikey dengan cepat distraksi rasa kosong itu dengan fokuskan atensinya ke banyak hal, salah satunya adalah mencintai Draken. Tapi belum juga kosong yang disebabkan oleh Takemichi terganti oleh Draken, alpha bersurai pirang itu justru mengaku cinta pada orang lain tepat di hadapannya. Tak berhenti di sana, kini ada kabar musuh terbesarnya mengandung buah hati laki-laki yang ia cintai. Oh, mari jangan lupakan fakta bahwa Draken berniat untuk undur diri dari band yang selama ini Mikey anggap sebagai rumahnya terhangatnya.

Maka dari itu Sanzu paham betul apa yang membuat Mikey runtuh.

Fakta yang paling menyakitkan adalah bagaimana Sanzu adalah saksi mata runtuhnya Mikey, dan ia biarkan hal itu terjadi. Dialah bajingan paling keji yang layak dihakimi.

“Mai, maafin gue,” Sanzu berujar di sela isakannya.

Mikey menggeleng, “Haru nggak salah.”

Pada akhirnya Sanzu ikut bersimpuh di hadapan Mikey, menangis tersedu-sedu di sana sementara tangan Mikey akan sesekali menyugar surai merah muda itu. Takemichi melihat ini rasanya mual, Mikey benar-benar tak bereaksi banyak.

Raja mereka seperti gugur di medan perang yang tak kasat mata.

Lalu suara pintu terbuka dengan kencang, diikuti derap langkah kaki yang tergesa. Baik Takemichi dan Sanzu tak perlu menoleh untuk tahu tamunya.

“Udah puas, Cho, main-mainnya?”

Kakucho menghela nafas kasar, dahinya mengerut sebelum terkekeh. “Main-main? Lo gimana? Masih nekat mau bawa kabur Kak Mai?”

Takemichi berdiri, kini menghadap Kakucho dan Draken yang berdiri tak jauh dari mereka. Lengkap sudah, pikir Takemichi. Jika saja suasana saat ini tidak mencekam dan tak ada hawa saling membunuh, mungkin Mikey akan bahagia. Sayang seribu sayang, yang Takemichi ingin lakukan sekarang bukan saling menjalin benang persahabatan, melainkan layangkan tinjuan kuat-kuat kepada dua alpha di depannya ini.

Masih bisa mereka berdiri tegap ketika sudah hancurkan Mikey? Tak tahu malu, pantas untuk dilenyapkan. Semoga Sanzu tidak merecok dan menggagalkan dirinya untuk menghabisi dua cecunguk ini, pikir Takemichi.

“Gue mau bawa Kak Jiro sama gue. Kenapa, Cho? Mau protes?”

Kakucho belum merespon saat Draken melangkah maju. “Lo gila? Mikey masih punya tanggungan — ”

Lalu kepalan tangan dilayangkan di wajah Draken dengan keras sampai tubuh alpha itu terhuyung ke belakang.

“DIEM LO! GUE PALING BENCI LIAT LO, RYUGUJI!” Kemudian Takemichi raih kerah baju alpha tersebut, layangkan tinjunya lagi. “PENGECUT LO! DARI DULU SAMPE SEKARANG, LO MASIH PENGECUT!”

Satu tinjuan lagi.

“LO GAK PERNAH BISA BAHAGIAIN KAK JIRO!”

Lagi.

“YANG LO LAKUIN CUMA NYAKITIN KAK JIRO!”

Lagi dan lagi. Takemichi terus layangkan tinjunya, sementara Draken tak melawan. Sanzu yang menghentikan Takemichi, membuat alpha itu sedikit berang. Ketika bertanya mengapa dihentikan, Sanzu melirik ke arah Mikey.

Mikey masih tidak merespon, wajahnya masih datar, tatapannya masih kosong, tapi ada air mata yang mengalir dari ujung matanya. Takemichi cepat-cepat sadar, sembunyikan tangannya ke dalam saku jaketnya. Sementara Draken tertatih-tatih mulai berdiri, tegapkan badan untuk menatap Mikey dengan penuh kesenduan.

“Cho, udah… Apapun rencana yang punya sekarang, berhenti,” pinta Sanzu setelah menyeka air matanya. “Buat apa lo sejauh itu buat make Rin? Gue udah nyerah, Cho. Pake gue semau lo, tapi jangan Mai yang jadi korbannya. Ini bukan rencana awal lo.”

Kakucho menatap Sanzu tidak percaya.

“Lo kira gue ngelakuin ini semua demi apa?”

“Gak ada,” sambar Takemichi cepat, tatap Kakucho tajam. “Lo cuma orang gila yang gak paham konsep cinta dan terlalu terobsesi sama Kak Jiro.”

Kakucho tertawa hambar. “Rasanya gak pantes lo ngomong gitu, Chi.”

“Takemichi gak salah. Coba sekarang lo liat Mai, Cho, apa itu gambaran orang lagi bahagia? Kalo iya, berarti otak lo yang sakit!” Sanzu berujar.

Netra rubi dan biru langit itu cepat-cepat menoleh ke arah Mikey yang masih duduk terlampau tenang tanpa sepatah kata apapun. Kakucho menelan salivanya bulat-bulat, langkahnya tanpa sadar membawanya untuk mendekat ke arah Mikey yang tanpa daya itu. Tapi belum juga dekat, Takemichi menahan langkahnya, layangkan kepalan tangannya ke wajah Kakucho.

“Jangan berani-beraninya lo deketin Kak Jiro,” desis Takemichi. Kakucho seperti abai, ia tetap berusaha terobo pertahanan Takemichi meskipun banyak tinju yang menghantam wajahnya.

Kakucho pada akhirnya menyerah, bersimpuh di jarak yang lumayan jauh. Ia tundukkan kepala sebelum ditendang oleh Takemichi.

“Jarak segini juga gak boleh, Cho. Mundur.” Perintah Takemichi.

Seperti yang Sanzu pikirkan, Kakucho pun sebenarnya tidak ingin melihat Mikey seperti ini. Tapi logikanya berpikir kalau bahagia itu memang sejatinya tidak mudah dicapai agar kebahagiaan itu tidak menjadi fana semata. Jadi harusnya wajar kan, kalau bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian? Tapi kenapa semuanya memandangnya seolah-olah dia antagonisnya di sini?

Kakucho? Antagonis? Ketika yang ia lakukan selama ini hanyalah berdiri di samping Mikey, ‘kan? Tapi mengapa ia dihakimi begini?

“Cukup liat aja, Cho. Kak Jiro kayak gitu karena lo,” Takemichi menunjuk Kakucho sebelum berganti menunjuk Draken. “Dan lo, Ryuguji. Kalian berdua bedebah! Yang kalian lakuin cuma ngerusak hidupnya Kak Jiro!”

Mungkin Takemichi benar, sebab semuanya bisa jelas pandang Mikey yang sudah mati rasa. Detik ini juga mereka paham bahwa Mikey selama ini terlalu sering menahan rasa sakit seorang diri, maka dari itu ketika meledak begini, tubuh Mikey akan menyabotase dirinya sendiri, menjadikannya tubuh tak bertuan seperti ini.

Kakucho mulai menggelengkan kepala.

“Masalah Rin hamil, gue gak tau – ” Kakucho hendak mengelak tapi dipotong oleh Takemichi.

“LO GAK TAU BUKAN BERARTI LO GAK BERTANGGUNG JAWAB, KAKUCHO! ANDAI LO GAK LANCANG RECOKIN HIDUP KAK JIRO, MANA BISA KEJADIAN BEGINI, HAH?! LO ITU SALAH! SADAR DONG, CHO?!”

Sentakan Takemichi begitu menggelegar sampai-sampai Mikey sedikit meringis. Sanzu cepat-cepat menggenggam tangan Mikey, diusap pelan-pelan.

“Michi, jangan gitu, didenger Mai,”

“Gue gak peduli, Zu! Yang gue peduliin cuma Kakucho nyadar kalo dia cuma bajingan brengsek yang udah ngerusak hidupnya Kak Jiro!”

Hening untuk sesaat, sebelum Kakucho tertawa terbahak-bahak. Hal ini membuat Takemichi, Sanzu, bahkan Draken bergidik ngeri. Tawa itu sangat lantang, menggema ke seluruh ruangan. Namun tawa itu perlahan berubah menjadi tangisan pedih, terisak sekaligus tertawa di waktu bersamaan.

“Gue? Ngerusak? Yang gue lakuin cuma bikin Kak Mai bahagia,” Kakucho memulai di tengah tawa dan tangisnya. “Gue cuma mau Kak Mai bahagia… Tapi bahagia mana mungkin instan? Wajar kan, kalo sengsara – ”

Kini Sanzu yang menghajar Kakucho habis-habisan. Dia sudah menahannya dari tadi, pikirnya dia harus jadi rasional di sini, tapi Kakucho terlalu sinting. Sayangnya belum puas amarahnya tersalur, Draken sudah memisahkan mereka, memeluk Kakucho agar menjauhi Sanzu.

“Udah, Zu! Cukup!”

“LO MAU GUE BUNUH JUGA, HAH?!”

Di saat keduanya mengatur nafas, Kakucho kembali buka suara.

“Menurut gue, dari kita semua, cuma Sanzu yang berhak sama Kak Mai. Sanzu selalu bilang ke gue dia cinta mati sama Kak Mai, tapi di satu sisi, dia gak pernah maksain segala kehendaknya ke Kak Mai,” terangnya. “Michi juga cinta, tapi jatuhnya mirip obsesi. Tanpa ada alasan Hina pun gue tau lo terlalu obsesi ke Kak Mai. Sedangkan Draken… Lo terlalu pengecut, penakut. Yang lakuin dari dulu cuma kabur dan kabur, padahal lo juga cinta Kak Mai.”

“Dari semuanya, gue cuma lihat Sanzu yang tulus cinta Kak Mai. Makanya gue bantu Sanzu buat dapetin Kak Mai.”

Takemichi masih memandang Kakucho sebagai orang gila.

“Lo itu siapa? Kenapa bermain Tuhan yang tau Kak Mai berhak sama siapa, hah?”

Kakucho mengusap air matanya, tidak mengindahkan Takemichi. “Gue sengaja manas-manasin Hina buat ngikat Michi. Ketika Hina udah percaya sama gue, gue giliran yang nusuk dia, gue penjarain dia biar perjodohannya sama Michi batal. Michi yang merasa bersalah pada akhirnya balik terapi sesuai perkiraan gue.”

“Pikiran gue saat itu semisal Sanzu gagal, gue tau Michi bakal balik buat Kak Mai, tapi dalam keadaan sehat.”

Kini Kakucho menghadap Sanzu.

“Awalnya gue percaya sama lo, gue pikir lo bakal cinta tulus ke Kak Mai. Gue singkirin Draken yang bikin lo paling insekur, gue juga singkirin Rin yang lo bilang ganggu hubungan lo sama Kak Mai. Gue lakuin ini biar Sanzu bisa leluasa cinta Kak mai,” Kakucho terkekeh. “Tapi apa? Sanzu ternyata jatuh cinta sama Haitani Rindou.”

“Dan Draken… Lo terlalu pengecut, tapi di waktu bersamaan, lo mau mencintai Kak Mai. Gue kabulin, ‘kan? Dengan bayaran lo harus relain Kak Mai sama Sanzu. Lo join MikeyBar yang lo pinginin selama ini, karena Michi gak mungkin bolehin lo gabung.”

Kini Kakucho kembali menatap Mikey, begitu hampa, penuh dengan rasa bersalah.

“Gue cuma nurutin apa yang kalian mau, tapi gantinya itu jalan yang terbaik buat Kak Mai. Michi balik berobat, Sanzu leluasa mencintai Kak Mai, dan Draken – ” Tenggorokan Kakucho tercekat, ia merasa kerongkongannya terbakar, air mata kembali meleleh dari matanya. “Gue cuma mau bikin jalan yang terbaik buat kalian. Emang prosesnya gak mulus, tapi yang gue pikirin cuma hasilnya.”

“Waktu gue tau Sanzu ternyata cintanya ke Rin, gue seketika bersyukur karena seenggaknya Michi bisa mencintai Kak Mai dengan benar pas balik. Jadi Rin hamil… Gue bener-bener gak tau.”

Kakucho menangis lagi, kali ini terdengar begitu pilu.

“Gue cuma mau Kak Mai dicintai dengan benar, tapi gue sadar gue gak akan pernah bisa karena bener kata Michi, gue gak tau konsep cinta itu gimana,” Kakucho tersenyum. “Dan alasan gue mau Kak Mai dicintai dengan benar, karena mendiang Ayahnya Kak Mai titip ke gue…”

“Karena gue gak pantas mencintai Kak Mai, makanya gue cari-cari itu di kalian.”

Takemichi, Sanzu, bahkan Draken tidak ada yang berani menginterupsi monolog Kakucho. Terlalu malang, seolah-olah Kakucho selama ini terlalu berusaha seorang diri.

“Tapi cara gue ternyata salah. Dari waktu Hina itu, terus sekarang ini, selalu ada variabel baru di luar dugaan gue. Gue akuin… Gue emang salah, salah besar, tapi gue cuma mau Kak Mai bahagia,” Mikey kini menatap Kakucho. “Demi Tuhan, gue cuma mau Kak Mai bahagia…”

Lalu ada suara baru terdengar.

“Kamu sibuk cari-cari bahagiaku, terus bahagiamu gimana, Cho?”

Itu adalah Mikey.

“Kakucho, aku tanya, kamu bahagia, nggak?”

Tangisan Kakucho semakin pecah.

“Kak Mai… Aku udah gak bisa ngerasain apa-apa… Aku ini udah rusak…”

Kakucho, sutradara film tersohor, ternyata hanya bisa memahami emosi manusia lewat jendela kameranya sebab ia sudah mati dari jauh hari.

Mikey berdiri, kemudian bersujud di hadapan Kakucho.

“Kakucho… Maafin aku… Semua ini… Kalian semua ini jadi begini karena aku, maafin aku…”

Raja sudah gugur, kini hanya ada Sano Manjiro dan kepingannya yang masih tersisa.

No responses yet