ayiin
9 min readJan 4, 2022

Euforia Mutlak

/éuforia/ n; perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan.

Tiap manusia punya pemahaman tentang bahagia yang beragam. Ada yang bahagia karena sudah menikah, bahagia karena sudah punya momongan, bahagia karena sudah punya uang tabungan ratusan juta, bahagia karena sudah berhasil sekolahkan adik-adiknya — definisi bahagia itu luas. Kebahagiaan satu individu tak bisa disamakan dengan individu lainnya; alias tak bisa dipukul rata. Maka dari itu membandingkan kebahagiaan seseorang dengan diri kita sendiri sebenarnya dilarang. Sebab, apa yang bagi kita membahagiakan belum tentu bisa bahagiakan orang lain.

Kakucho mungkin gagal pahami ini dulunya, namun ia sudah belajar dari kesalahannya yang lalu-lalu. Tentang cinta dan bahagia, dua hal itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa dipaksakan. Bertahun-tahun Kakucho belajar pahami ini, dan perlahan ia mulai bisa mengerti letak kesalahannya apa, menyesali perbuatannya dan mulai meminta maaf pada orang-orang yang ia sakiti.

Setelah bertahun-tahun rehat dari industrim perfilman dan menetap di luar negeri untuk terapi dengan Izana, ia bisa kembali ke negara asalnya lagi. Kakucho kira ia akan diasingkan dan harus bersujud terlebih dahulu untuk dimaafkan, namun hal pertama yang ia dapat adalah sambutan hangat dari Mikey, Draken, Takemichi, bahkan Sanzu. Katanya, mereka sudah memaafkan Kakucho. Mereka juga meminta maaf karena justru absen ketika Kakucho sedang butuh mereka.

Hubungan mereka membaik, namun tetap saja Kakucho masih tercengang dengan satu fakta ini ketika ia kembali;

Mikey sudah mempunyai buah hati.

Masih kecil sekali, mungkin masih umur tiga bulan. Rambutnya pirang, mirip sekali dengan punya Mikey. Kakucho sampai tersedak berulang kali awal kali melihatnya. Bahkan sampai detik ini pun dia masih mendecak kagum saat di tangannya ada bayi mungil yang masih pejamkan matanya dengan rapat.

“Bener-bener mirip Kak Mai,” ujar Kakucho.

Izana duduk sebelahnya, ikut menamati bayi tersebut.

“Yup, bener. Emang mirip banget sama Jiro.”

Saat bayi kecil itu menggeliat dan membuka mata, barulah Kakucho sadar akan sesuatu.

“Matanya… Mirip siapa, ya?”

Alih-alih memiliki iris mata jelaga seperti Mikey, bayi ini justru memiliki mata berwarna hijau berkilau seperti permata zamrud. Cantik bukan main, tapi tetap saja aneh. Dugaan Kakucho, anak ini adalah anak Takemichi atau Draken. Tapi kalau begitu, bukannya seharusnya matanya berwarna biru atau hitam? Bukan hijau begini?

Tiba-tiba terdengar bunyi ‘deg’ di hatinya. Dia baru ingat siapa yang punya mata berwarna hijau seperti ini —

“Sanzu?”

Mikey sekarang sedang berusaha mati-matian untuk menahan suaranya. Tapi sayang seribu sayang yang sedari tadi menggempurnya bukan maha pengasih, apalagi pemaaf. Semakin Mikey tahan suaranya, semakin gencar gerakannya di bawah sana.

“Kamu punya siapa, Kak?”

Suara bass itu terobos indra pendengarannya, membuat nafasnya terhenti sesaat dan mulai menjawab tertatih-tatih.

“M-mi — Ah!”

Satu tamparan melayang pada pipi belakangnya. “Jawab yang bener, Kak.”

“Mi-michi! Aku punya Michi!”

Puas, Takemichi memberi kecupan singkat pada pipi Mikey. “Pinter,”

Tapi Mikey belum bisa bernafas dengan lega, tidak ketika ada benda lain yang terobos tubuhnya padahal dia ini masih penuh membalut milik Takemichi. Membelalakkan mata, Mikey menoleh ke belakang, tatap wajah yang sedang menyeringai itu dengan alis bertaut.

“Michi aja, nih, Mai?”

Itu Draken. Kini Mikey hanya bisa melenguh begitu lantang saat dua batangan tebal itu menginvasi tubuh ringkihnya. Sialan. Padahal perjanjian awal tidak begini! Kalau sudah begini, memang Mikey bisa apa selain meracau berantakan, pejamkan dan buka matanya berulang kali saat titik sensitifnya dihujam tanpa ampun.

“Punya siapa, hm?” Giliran Draken yang bertanya. Demi Tuhan, persetan dengan Draken dan Takemichi, serta kecenderungan posesif dan teritorial mereka, Mikey sudah lelah menjawab pertanyaan itu berkali-kali.

Tapi nyatanya, Draken tidak menyerah. Beralih menggigiti leher dan bahunya karena Mikey tidak kunjung menjawab.

“Kenchin! Aku punya Kenchin! H-hah… Punya Michi, punya Kenchin jugaah — hn! Aku punya kalian! Puas?!”

Respon Draken dan Takemichi adalah makin mempercepat gerakan mereka. Suara kulit bertemu kulit saling beradu dengan desahan lantang di seluruh ruangan — tapi Mikey sudah tidak peduli, bahkan Takemichi dan Draken sama-sama tak pedulinya, sibuk raih pelepasan mereka dari tubuh mungil omega mereka ini.

Entah habis berapa bungkus kondom, yang jelas, baik Takemichi dan Draken sepakat berhenti saat Mikey sudah terkulai lemas dan kesulitan bicara. Meski dua alpha itu masih belum puas, mereka harus berhenti karena tidak ingin memaksakan tubuh Mikey sampai pingsan mengingat betapa lemahnya tubuh omega itu.

Mikey tidak bicara apa-apa seusai permainan mereka, justru menggembungkan pipinya dan bersembunyi di balik selimut. Takemichi terkekeh, kemudian memeluk Mikey dengan erat, kecupi kepalanya berulang kali.

“Kok ngambek, sih, Kak?”

“Bodo.”

Kini giliran Draken yang tertawa. Ia ikut mengecup kepala Mikey, lalu memakai bajunya kembali.

“Urusin biar gak ngambek, gue mau masak.” Draken berujar singkat sebelum mengecup rambut Takemichi, lalu mengelus tato naga yang hiasi punggung alpha bersurai hitam itu.

Benar, sepeninggalan Draken, Takemichi membuat tato naga yang membentang di punggungnya — pengingat bahwa ia telah kehilangan Draken. Tapi Takemichi agak menyesalinya, sebab Draken jadi sering menggodanya karena hal ini.

Akhirnya Takemichi protes, dahinya berkerut dalam. “Jangan gitu, lah! Sana-sana masak! Gue mau omelette, tapi jangan pake daun bawang, ya?”

“Aku banyakin daun bawang!” Mikey berseru dari balik selimutnya.

Draken cuma acungkan jempolnya, kemudian berjalan keluar dari kamar. Takemichi sendiri pada akhirnya menyerah memohon-mohon kepada Mikey agar berhenti cemberut, memilih untuk menggenjreng gitarnya sekarang.

Sementara Mikey terdiam, namun menyembunyikan senyuman di bibirnya, apalagi ketika aroma masakan Draken mulai menusuk indra penciumannya, serta suara gitar Takemichi mengetuk gendang telinganya. Rasanya seperti damai, seperti sebuah realisasi bahwa inilah hidup yang selama ini ia dambakan. Hidup tenang dan damai, dikelilingi orang yang ia cinta.

Mikey tidak pernah terang-terangan deklarasikan status hubungan mereka bertiga, tapi mereka sudah memiliki satu paham yang sama bahwa mereka milik satu sama lain, dan tentunya mencintai satu sama lain. Awalnya Draken amat skeptis dengan konsep ini, merasa aneh. Tapi setelah habiskan tiap menit jalani hubungan seperti ini, dia mulai terbiasa. Tentunya mudah bagi Draken maupun Takemichi, toh pada dasarnya, mereka berdua sudah saling menyayangi satu sama lain.

Jika tak ada rasa mendalam, mana mungkin Takemichi rela terjun ke dunia musik dan melawan orang tuanya karena hanya musik satu-satunya hal yang ditinggalkan oleh Draken? Draken juga mana mungkin rela korbankan masa kecilnya demi melindungi Takemichi dulu? Pada dasarnya, mereka sudah saling mengasihi, maka dari itu hubungan mereka bisa berjalan dengan lancar.

Hubungan mereka tidak akan pernah bisa jika tidak bertiga seperti ini. Jika Takemichi mundur, Draken tidak akan rela melihat Takemichi sedih. Pun sebaliknya. Mikey juga tak rela pilih salah satu dari mereka, apalagi melepaskan. Maka kesepakatan yang mereka ambil adalah saling memiliki satu sama lain.

Inilah definisi bahagia bagi Mikey. Tak peduli orang-orang memandangnya aneh, meremehkan cinta mereka karena terbagi menjadi tiga, mereka tahu apa? Memangnya mereka tahu perjuangan apa yang mereka lalui demi tiba di tahap ini? Tahu mereka tentang luka dan pengorbanan untuk bisa saling mencintai seperti ini? Orang hanya melihat dari luar, meremehkan ikatan mereka sebagai ‘hubungan yang tidak serius’ karena hubungan mereka sedikit berbeda dengan yang lain.

Tapi Mikey sudah tidak peduli, yang paling penting sekarang adalah dia dapatkan bahagia yang mutlak, bahagia yang selama ini ia dambakan. Orang-orang bisa mencelanya ini dan itu, tapi yang terpenting dia punya Draken, Takemichi, dan —

“Mai! Haruo udah dateng!”

Buah hati tercintanya, Sano Haruo.

Mikey baru saja hendak bangkit dari posisi tidurnya, tapi Takemichi sudah beranjak terlebih dahulu, pakai bajunya buru-buru dan berlari ke luar ruangan.

“Ruooooo!” Suara Takemichi menggelegar di seluruh ruangan, mungkin sekarang sibuk menciumi Haruo yang baru saja diantar oleh Kakucho dan Izana.

Mikey mendengus, pakai bokser dan jubah tidurnya, lalu berjalan keluar kamar hanya untuk melihat Takemichi dan Draken berebut menggendong Haruo.

“Lu masak, Ken! Gue yang gendong!”

“Gantiin gue masak, lah, Chi?”

Mikey menghela nafas, rebut Haruo dari tangan Takemichi, lalu mencium anaknya itu berulang kali.

“Ruoo, pinter sama Om Chocho sama Om Ija, ‘kan?” Haruo hanya mengerjapkan matanya yang lebar itu sebagai jawaban. “Ututuuu, pinternya anak bubuuu!”

“Dih, Mai, itu juga anak gue… Biarin gue gendong, lah?” Draken kini merajuk. “Ruo mau digendong ayah, ‘kan?”

“Ruo mau sama papanya! Liat deh daritadi ngeliatin gue?!” Sekarang giliran Takemichi yang bersikeras.

Saat Takemichi dan Draken saling adu mulut, tiba-tiba ada suara baru yang menyambar,

“Minggir semua, ayah kandungnya dateng!”

Itu adalah Sanzu yang kini menggandeng anak kecil berambut merah muda yang amat mirip dengannya. Kakucho baru saja hendak bertanya, tiba-tiba kepala Sanzu sudah dipukul duluan dengan tas oleh orang yang berdiri di belakangnya.

“Ngomong yang bener!” Sungut Rindou.

Anak bersurai merah muda kini berjalan cepat hampiri kaki Mikey, berkata, “Len mo liat Luo!”

Mikey tidurkan anaknya itu di atas sofa, biarkan Ren hampiri Haruo dengan penuh semangat. Kemudian Mikey berjalan ke arah teman-temannya, lipat tangan ke depan dada.

“Jadi, ini kenapa pada ngumpul di sini?”

“Kakak ulang tahun besok, lupa?” Takemichi berujar sambil menunjuk ke arah kalender. “Jadi nanti malem mau makan-makan di teras luar. Member AKUMA yang lain juga dateng, kok.”

Mereka semua berakhir saling berbincang sambil memakan kudapan yang sudah disiapkan oleh Draken. Banyaknya membahas tentang Kakucho dan Izana selama di luar negeri — mereka keliling dunia. Mikey bisa melihat wajah kakaknya menjadi sumringah, begitu juga dengan Kakucho yang jauh berbeda dengan dulu, lebih banyak senyum tulus dan ikut berceloteh tentang ini dan itu. Sekilas, Mikey melihat cincin yang sama di tangan keduanya. Baguslah.

“Uh, gue sebenernya mau tanya… Tapi kalo menyinggung gak usah dijawab,” Kakucho tiba-tiba menyela. “Jadi… Haruo itu anak Kak Mai sama siapa?”

“Anak gue.” Jawab Mikey datar.

“Gue ikut urunan, ya!” Sahut Draken.

“Gue juga!” Ini Takemichi.

“Gue juga, loh?” Terakhir Sanzu.

Kakucho masih belum paham. “Maksudnya?”

Surrogate mother, Cho. Gue pake ibu pengganti buat ngandung Haruo,” jawab Mikey. Kakucho langsung mengangguk paham. Tentu saja ia paham istilah surrogacy atau bisa disebut ‘meminjam rahim orang untuk mengandung anak kita’. Jadi dugaan Kakucho, sperma Mikey yang digunakan sebagai benih. Masuk akal kenapa mata Haruo berwarna hijau — mungkin gen dari ibu pengganti ini.

Tapi yang Kakucho tidak paham, kenapa bukan Mikey sendiri yang mengandung?

“Sebelum lo tanya, sebenernya fisiknya Mai makin lemah. Pernah kita konsultasi ke dokter kandungan, katanya Mikey gak bakal bisa ngandung karena fisiknya lemah banget. Kalo dipaksa, bisa-bisa Mikey gak selamar waktu persalinan,” jelas Draken.

“Tapi Kak Jiro ngotot punya anak karena orang-orang di sekitarnya pada hamil waktu itu, apalagi Rin sukanya pamerin Ren ke Kak Jiro. Makanya jalan keluarnya ya ini… Surrogate mother.” Takemichi melanjutkan.

Kakucho hanya bisa menggeleng. Ia paham kalau Mikey sudah ingin sesuatu, maka harus dituruti.

“Terus maksud kalian rebutan titel ayah, apa?”

Sanzu kali ini yang merespon. “Cuy, surrogate mother tuh pricey banget, apalagi adanya di luar negeri. Jadi kita bertiga patungan duit, alias ini kadonya MikeyBar yang paling mahal buat Mai.”

Kakucho mengangguk-angguk, melihat ke arah Mikey kemudian Haruo yang berada di tangan.

“Mirip Mai banget tapi, bagus lah.”

Mikey menjulurkan lidahnya, “mirip, lah! Anak gue!”

Suasana kembali gaduh lagi karena Draken dan Takemichi yang berebut masalah Haruo, bahkan salah satu dari mereka sudah mengeluarkan pasal-pasal mengenai hak asuh anak. Mikey di tengah-tengah mereka hanya bisa tertawa, bahkan Haruo di pangkuannya sempat tersenyum kecil — mungkin menertawakan kelakuan ayah-ayahnya.

Kakucho pun tersenyum, jadi ini bahagia mutlaknya Sano Manjiro? Bahkan ketika tidak menikah seperti yang lainnya, mempunyai anak dari rahimnya sendiri, Mikey tetap sangat bahagia sampai-sampai Kakucho bisa rasakan sendiri sinar yang diradiasikan oleh omega itu.

Jadi memang benar, bahwa tidak ada tolak-ukur yang pasti untuk kebahagiaan seseorang. Orang-orang bisa anggap Mikey kekurangan segala hal, tapi Mikey sekarang nyatanya sedang rasakan euforia terhebat semasa hidupnya. Standart kebahagiaan orang berbeda, dan Kakucho kini paham betul maksudnya.

Mikey menatap Kakucho, lalu tersenyum lembut. Ah, itu adalah senyuman orang yang telah capai titik tertinggi dalam hidupnya. Di tengah sorot lampu yang gemerlapan, di mata Kakucho, Mikey masihlah seorang raja. Tapi bukan sembarang raja karena kini tak ada orang yang menjalankan geraknya dari balik panggung. Raja yang nyata, raja yang berhasil menggapai hal-hal yang ia inginkan dalam hidupnya.

Sano Manjiro seperti inilah yang dulu ingin Kakucho wujudkan. Namun ternyata, Kakucho gagal telak. Hanya Mikey lah yang bisa wujudkan semua ini karena memang sejatinya, yang tahu kebahagian kita hanyalah diri kita sendiri.

Kini, kisah seorang raja malang yang dahulu terbelenggu oleh ikatan beracun para subjeknya sudah berakhir, digantikan oleh seorang raja yang sangat kuat; yang berhati besar, yang sangat mencintai dua kekasihnya, dan yang begitu menyayangi pangeran kecilnya. Kerajaan yang terbuat dari pasir itu sudah runtuh, lalu dibangun kembali dengan batangan emas yang kokoh. Sempurna, kerajaannya sudah sempurna — bukan lagi kerajaan menyedihkan yang siap ambruk kapan saja.

Begitulah akhir dari Sano Manjiro; yang masa lalunya begitu pelik, yang punya hubungan begitu terbelit, dan yang kerap kali dijadikan lelucon oleh semesta. Tak peduli berapa kali diterpa masalah, yang namanya Manjiro masih berjuang, merangkak tertatih menuju kebahagiaannya, dan pastikan dirinya akan berdiri di puncak dari segalanya.

Sebab, Sano Manjiro tetap Sano Manjiro. Dimana pun ia berada, ia tetaplah seorang raja.

Obey the Omega — FIN

No responses yet