Esensi Pernikahan
Sebenarnya, apa, sih, esensi dari pernikahan itu? Untuk pembuktian mutlak dari dua insan yang saling mencintai? Untuk menganuti stigma dari masyarakat? Untuk menuruti keyakinan bahwa fase kedua hidup manusia adalah menikah? Atau untuk sekadar alat untuk memperkuat tahta? Sebetulnya banyak. Pernikahan bagi tiap individu itu begitu rancu. Ada yang anggap bahwa manusia setidaknya harus menikah sekali dalam hidup mereka, namun ada juga yang anggap kalau menikah hanya menambah beban hidup mereka.
Mitsuya Takashi adalah tipe orang yang kedua. Dia selalu berpikir bahwa pernikahan itu menyusahkan dan tidak cocok untuknya. Bukan masalah menghabiskan waktu dengan satu orang, dia tak punya masalah dengan mengabdikan dirinya pada satu orang saja. Masalahnya adalah, Mitsuya ini masih punya banyak beban yang harus ia tanggung. Mengurus ibu dan dua adiknya saja, Mitsuya harus bekerja banting tulang siang dan malam. Jangankan merawat orang lain, merawat dirinya sendiri saja dia tidak becus. Maka dari itu ia anggap hal-hal yang berbau tentang ‘pacaran dan pernikahan’ itu merepotkan dan inefisien.
Setidaknya sampai Mitsuya bertemu dengan Haitani Ran dan segala daya pikatnya yang mampu buat dirinya bertekuk lutut, sepenuhnya submisikan hatinya untuk alpha tersebut. Dengan Ran lah pada akhirnya, Mitsuya mampu memeluk apa itu cinta, perlahan mulai percaya bahwa pernikahan dan keluarga itu mungkin hal yang memungkinkan untuk dia punya.
Mitsuya sedang mengandung di minggu ke-6 ketika ia mulai berkhayal tentang membangun keluarga bersama Ran dan anak mereka kelak. Melihat Ran yang antusias, serta Kazutora selaku satu-satunya orang yang mengetahui kebenarannya mendukung, Mitsuya pun ikut bahagia, ikut menanti-nantikan kelahiran buah hatinya ini.
Namun takdir begitu kejam, perlakukan Mitsuya seolah-olah dia ini pendosa. Anak yang belum sempat ia ketahui jenis kelaminnya, belum sempat ia beri nama, dan juga belum sempat ia rengkuh dalam pelukan, nyatanya harus berpulang secepat itu. Mitsuya amat terguncang. Itu kehamilan pertamanya dan ia gagal total.
Mitsuya perlahan hilang harapan.
Meski Mitsuya tahu jika Ran berusaha keras untuk menguatkannya, beri afirmasi bahwa pria itu mencintainya tiap kali ada kesempatan, tetap saja Mitsuya masih merasa tidak percaya diri. Sampai kapan cinta Ran bertahan padanya? Apalagi anggapan bahwa Mitsuya telah menggagalkan Ran itu terus menjadi momok dalam benaknya. Ia sudah konsultasi dengan dokter psikolognya bersama Ran, namun tetap saja proses untuk meredakan perasaan buruk itu butuh waktu yang panjang.
Kehilangan anak merupakan hal yang paling memilukan untuk Mitsuya Takashi, dan juga orang-orang di luar sana yang pernah mengandung. Meski ia sudah terima dengan kenyataan, tetap saja ia bisa merasakan hampa di hatinya, buat dia beberapa kali sesak ketika tiba-tiba teringat kejadian itu.
Ran sudah menyelidiki tentang kecelakaan hari itu, namun sayangnya, pria itu tidak menemukan apa-apa. Mitsuya minta agar Ran berhenti mencari, toh untuk apa? Kalau memang benar ada dalang di balik semua ini dan mereka berhasil temukan orang itu, anak mereka tidak akan bisa kembali. Maka dari itu, Mitsuya menyarankan agar mereka melakukan program kehamilan pasca pernikahan mereka kelak.
Namun lagi-lagi harapan Mitsuya dihempaskan dengan fakta bahwa kehamilannya itu nyaris tidak mungkin dan kalaupun mungkin, hal itu akan mengancam nyawanya. Mitsuya seperti tidak diizinkan oleh semesta untuk berbahagia.
Rasa percaya dirinya yang awalnya mulai bangkit, kini kembali menciut. Mitsuya semakin ragu dengan rencana pernikahan mereka. Untuk apa Ran menikahinya? Dia tidak mengandung, jadi Ran tidak perlu bertanggung jawab apa-apa, ‘kan? Kalau pernikahan tetap berjalan, dia justru menjadi aib bagi alpha itu karena tidak mampu menghasilkan keturunan.
Ran dan pernikahan menjadi beban pikirannya akhir-akhir ini, ketambahan keadaan AKUMA yang kurang baik, lalu masalah Baji yang sudah minta izin untuk mengambil cuti—rasanya berbagai problema kian menghantam Mitsuya tiada henti, dan itu mulai melelahkan.
Lalu suatu hari, tetangga Mitsuya menghubunginya, berkata kalau ibunya masuk rumah sakit. Tentu saja Mitsuya kaget bukan main. Tidak mau mengganggu ibunya, yang pertama dihubungi tentu si adik tertua. Dia sedikit marah, kenapa tidak cerita padanya? Ada sedikit rasa kalut kalau berita dia keguguran telah sampai di telinga keluarganya, dan itu menjadi alasan mengapa Luna tidak langsung menghubunginya ketika ibunya kenapa-napa. Namun ternyata, ibunya yang meminta agar Luna tidak menghubunginya.
Rasa kesal itu kembali muncul. Apa ibu dan adik-adiknya berhenti bergantung padanya karena mereka bulan kemarin tahu kebenaran bahwa dia ini omega saat Ran meminta restu? Apa karena Mitsuya omega, dia jadi tidak dibutuhkan lagi? Begitu?
Belum tuntas rasa kesalnya, tiba-tiba Luna bilang kalau dia sudah minta bantuan Ran kemarin untuk membayar tagihan rumah sakit. Marah? Tentu. Sekarang amarahnya tidak bisa ditampung lagi. Amarah itu bukan ditujukan kepada Luna maupun Ran, tapi pada dirinya sendiri. Apa dia begitu lemah sekarang? Sangat tidak kompeten sehingga Luna berpikir dua kali untuk meminta bantuan padanya? Apa karena dia ini omega dan Ran itu alpha makanya dia disepelekan begini? Apa karena Ran banyak uang dibanding dirinya? Apa karena dia ini pernah gagal menjadi orang tua makanya Luna tidak percaya lagi padanya?
Rentetan pikiran itu yang membuat Mitsuya meledak-ledak, berakhir pada konversasi yang berapi-api di pesan teksnya bersama Ran.
Hari ini Mitsuya berada di apartemennya sendiri, langsung didatangi oleh Ran karena tidak ingin percakapan mereka berisi kesalahpahaman seperti itu. 15 menit lewat sebelum akhirnya Mitsuya mendengar bel apartemennya berbunyi. Saat pintu terbuka, ia melihat Ran dengan raut gelisah terukir di wajahnya. Tidak ada tanda-tanda emosi di wajah pria itu, padahal perkataannya di pesan teks cukup menyakitkan hati.
“Takashi, ayo diomongin dulu, ya?”
Mitsuya mengangguk, mempersilahkan Ran masuk dan langsung berjalan ke dapur untuk menyajikan kopi hangat untuk kekasihnya itu. Tidak ada suara di antara mereka, bahkan ketika Mitsuya menyajikan dua cangkir di hadapan mereka, tetap saja hening. Sepertinya Ran berusaha merangkai kata agar tidak menyinggung perasaan Mitsuya.
“Jadi… Masalah ibuk kamu, itu emang murni inisiatifku. Luna sama sekali belum bilang kalo dia butuh bantuan, tapi aku langsung nawarin buat bayar tagihan rumah sakitnya. Jadi jangan salahin Luna,” jelas Ran. “Aku pun gak ada niat apa-apa, Takashi, aku cuma mau bantu keluarga kamu. Udah, itu aja.”
“Ran, kamu tau nggak, sih, apa yang aku rasain belakangan ini?”
Ran menggeleng, menatap Mitsuya yang tidak banyak berekspresi.
“Aku ngerasa nggak percaya diri, Ran. Aku ini udah jadi omega yang gagal, pertama. Buat hamil aja kata dokter impossible, jadi aku makin gak ada ‘value’nya buat kamu nikahin. Aku nggak percaya diri buat berdiri di samping kamu, Ran,” ujar Mitsuya sebelum melanjutkan. “Kedua, hari ini aku tau kalo adekku, keluargaku, alih-alih minta bantuan ke aku, mereka malah lari ke kamu. Aku jadi makin mempertanyakan, ‘aku ini berguna gak sih jadi orang?’. Karena jujur aja, aku makin susah buat nemuin nilaiku sebagai manusia itu apa, Ran. Kehilangan kemarin bener-bener bikin self-esteemku turun drastis dan sekarang ini…”
Ran paham, dan kali ini dia benar-benar salah langkah. Harusnya dia diskusikan dulu masalah sebesar ini dengan Mitsuya, bukan asal memutuskan begini. Dia tahu kalau Mitsuya selama ini adalah sosok yang independen—persis seperti dirinya. Menerima bantuan dari orang lain ketika mereka yakini bisa lakukan mungkin sedikit menyinggung perasaan, belum lagi keadaan mental Mitsuya yang masih belum stabil, menjadikan omega itu sedikit lebih sensitif dari biasanya.
“Aku minta maaf, Takashi, aku bener-bener gak mikir panjang. Pikiranku cuma mau bantu kamu, maaf kalo aku bikin kamu ngerasa kayak gitu.”
Mitsuya menghela nafas panjang, kemudian sandarkan punggungnya ke sofa. Dia menatap Ran cukup lama sebelum memulai pembicaraan lagi.
“Oke, maaf, mungkin aku juga yang terlalu sensitif. Kamu sebutin aja jumlahnya berapa buat kamu bayarin rumah sakit ibukku, nanti aku lunasin secepetnya.”
Sekarang giliran Ran yang menatap Mitsuya aneh, seperti ada rasa sakit yang terpancar di wajahnya. Hal ini membuat Mitsuya mulai merasa bersalah.
“Takashi, aku ini kamu anggep siapamu, sih?”
“Pacar…” cicit Mitsuya, mulai mengetahui letak kesalahannya di mana.
“Bukan sekadar pacar aja, Takashi, tapi lebih. We’ve been through a lot together, dan aku yakin ikatan kita gak sesederhana ‘pacaran’ gitu aja. Iya, ‘kan? Atau aku cuma ngerasain ini sepihak doang?”
Mitsuya menggeleng. Ran benar, mereka telah melalui banyak hal dan itu sama sekali bukan hal yang sederhana. Mungkin dia keterlaluan sekarang.
“Nggak. Maaf, Ran, aku juga salah.”
Ran meraih tangan Mitsuya, menggenggam tangan itu dan menatap omega itu lamat-lamat.
“Mitsuya Takashi, kamu itu orang yang paling berharga di hidupku. Aku tau kamu kecewa sama tindakan adekmu dan aku, tapi jangan bilang aku bukan siapa-siapamu. Aku sakit hati, loh, Takashi?”
Mitsuya merengut, kemudian tundukkan kepalanya. “Maaf… Aku cuma nggak mau jadi beban buat kamu, Ran. Aku udah gak berguna buat kamu karena gak bisa hamil lagi, sekarang juga gak berguna buat keluargaku. Aku… Sedih… Aku benci diriku sendiri, Ran. I feel so useless, you won’t even understand.”
Bibir Ran mendarat di tangan Mitsuya, dikecup berulang kali sebelum berganti ke wajahnya, bubuhkan banyak ciuman di sekujur wajahnya, rasakan sedikit rasa asin ketika Mitsuya mulai menitikkan air mata.
“Sayang, kamu bukan beban, kamu juga nggak ‘useless’. Kamu inget, ‘kan? I fell for you because you’re the strongest person I’ve ever met,” bisik Ran, Mitsuya hanya pejamkan matanya, biarkan suara alpha itu mengetuk gendang telinganya dengan lembut.
Kini tangan Ran bergerak mengelus sisi wajah Mitsuya, sebelum akhirnya daratkan bibirnya di kening omeganya.
“Dan aku jatuh cinta sama kamu berulang kali karena kamu adalah Mitsuya Takashi.”
Kini Mitsuya membuka matanya, menatap Ran dengan netra lembayung yang berkaca-kaca. Air matanya siap tumpah lagi, namun kali ini, ia menangis karena rasa haru yang membuncah.
Padahal Mitsuya telah mengecewakan Ran, membuat hubungan mereka canggung karena ketidakstabilannya, baru saja berkata begitu kasar ketika Ran dengan sukarela membantu keluarganya, namun apa yang Ran perbuat? Pria itu justru mengajaknya bicara baik-baik, meminta maaf padanya, mau memahaminya, beri dia afeksi dan afirmasi tentang perasaannya pada Mitsuya.
Ran selalu membuat Mitsuya merasa dicintai, dan ia rasa, mungkin pria ini yang terlalu baik padanya.
“Takashi, mau, ya, nikah sama aku?”
Sekarang, Ran sudah berlutut di hadapannya, menggenggam tangannya begitu erat, dongakkan kepalanya untuk menatap Mitsuya.
“Aku nggak minta nikah sama kamu karena aku mengharapkan keturunan, tapi aku nikahin kamu karena aku cinta. Aku cinta banget sama kamu, Takashi. Nggak bisa sama orang lain, harus kamu. Jadi apapun keadaanmu, situasimu, kondisimu; aku tetep cinta.”
Mitsuya menutup mulutnya, menangis tidak percaya. Beda dengan sebelumnya di mana Ran mengajaknya menikah karena bentuk tanggung jawabnya, kali ini Ran hanya melamarnya karena perasaannya saja.
“Ran… Nanti kamu nyesel,” balas Mitsuya.
“Penyesalanku kalo aku nggak bisa bahagiain kamu, Takashi,” tukas Ran. “Nikah sama aku bakalan sulit, banyak rintangan. Tapi aku bakal lindungin kamu dan keluargamu. Aku gak bohong waktu aku bilang kamu itu bagian dari tanggung jawabku. Jadi aku mohon, Takashi, bebanmu sekarang bebanku, jangan nolak buat aku bantu, ya?”
Mitsuya menangis, memeluk leher Ran, kemudian berkata, “maafin aku, tadi aku kasar banget ke kamu.”
“Gak apa-apa. Aku tau kamu lagi kesulitan juga, pasti berat, kan, sayang? Karena jujur, Takashi, aku juga kesulitan akhir-akhir ini. Aku juga capek… Tapi gimana, ya, Takashi lebih capek dari aku, makanya aku gak boleh sambat.”
Mitsuya mendorong tubuh Ran, tangkup wajah pria itu dan menatapnya dengan raut wajah memelas.
“Pasti berat buat Ran juga, ya? Di depan semua orang, kamu harus jadi yang terkuat. Sekarang di depanku, kamu juga harus jadi yang paling kuat di antara kita. Maaf, ya, Ran, aku gak tau… Kamu pasti juga sedih selama ini tapi nggak berani nunjukin itu di depanku,” entah kenapa, mendengar perkataan Mitsuya sekarang membuat Ran nyaris menangis. Pertahanannya seperti siap ambruk kapan saja jika dihadapkan oleh omega ini.
Mitsuya yang sekarang mengelus rambut, sisiri surai violet kekasihnya itu dengan jemarinya, kemudian ia kecup kening pria itu.
“Mulai sekarang, kamu boleh nunjukin sisi lemahmu ke aku, Ran. Jangan ditahan lagi.”
Maka Ran tidak menahannya, memeluk tubuh Mitsuya dan menangis dalam diam. Tidak ada suara, namun Mitsuya bisa merasakan kemejanya basah.
“Takashi, aku mau habisin sisa waktu hidupku sama kamu,” ujar Ran seusai puas menangis dalam pelukan Mitsuya.
Mitsuya pun mengangguk, “aku juga mau, Ran. Kamu selalu jadi bagian dari masa depanku.”
Ran edarkan pandangannya ke sekitar lalu pandangannya jatuh pada bolpoin yang berada di atas meja kopi Mitsuya. Ia raih bolpoin itu, lalu ia gunakan tintanya untuk melingkari jari manis Mitsuya.
“Besok aku beli cincin beneran, sementara ini dulu, ya?” tanya Ran setelah berhasil menggambar cincin di jari manis Mitsuya.
Mitsuya terkekeh geli, tidak menyangka pria sedewasa Ran mampu bertindak kekanak-kanakan seperti ini. Mereka saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya mulai menangis lagi.
Orang-orang dewasa ini waktu masih kecil, mereka akan menangis setiap hari, lalu orang-orang akan berkata ‘sudah besar gak boleh nangis’. Tumbuh dengan kalimat itu, ketika menjadi dewasa, kita jadi kesulitan untuk menangis. Padahal apa salah menangis walaupun sudah besar? Nyatanya, ketika usia kita semakin dewasa, semakin banyak hal untuk ditangisi. Jadi, mengapa orang dewasa tak boleh menangis?
“Kalo udah nangisnya, kita tidur sambil pelukan, ya? Aku kangen banget sama kamu,” ujar Ran.
Mitsuya mengangguk, lalu berkata,
“Ran, sekarang aku nggak takut lagi karena aku punya kamu. Boleh gak, aku mikir gitu?”
Boleh, tentu saja boleh. Karena kalian, Ran dan Takashi, tidak perlu takut oleh apa-apa lagi ketika kalian memiliki satu sama lain.