EPILOG: Haitani Ran
cw // blood, child abuse, graphic depictions of violence, murder, mental instability, anger issues, kidnapping, stalking, unhealthy coping mechanism, self-harm, multiple suicide attempt.
Konon, yang namanya Haitani Ran itu sudah mati di umur 7 tahun.
Sebelum itu, mari putar balik ke masa di mana Ran lahir. Berbeda dari bayi pada umumnya, ketika Ran tiba di bumi pertiwi ini, dia sudah memperoleh sambutan yang meriah — diagung-agungkan sebagai calon alpha yang akan menjadi pewaris Grup Haitani kelak. Semua orang akan memujanya, menyebutnya anak laki-laki yang sempurna.
Namun tidak dengan ibunya.
Ibu kandung dari Haitani Ran itu adalah istri simpanan ayahnya, di mana publik tak tahu-menahu tentang eksistensi wanita ini. Yang orang-orang tahu adalah wanita dari anak tentara berpangkat tinggi yang diperistri secara resmi oleh sang ayah. Sementara ibunya yang merupakan lacur yang ayahnya pungut dari rumah bordil itu disimpan erat-erat dalam rumah gedongannya.
Ibu kandungnya itu benci setengah mati dengan Ran. Saat Ran kecil, ibunya sering menyakitinya, berusaha membuatnya mati. Ran kecil berusaha ditenggelamkan, dicekik sampai nyaris hilang oksigen, dan dibakar sampai kulitnya melepuh. Katanya, Ran ini anak iblis yang bawa malapetaka, pantas untuk mati.
Ran yang masih kecil hanya bisa menangis ketika dihardik begitu keras, bertanya-tanya, ‘memang salahku apa?’, lalu tumbuh besar dengan penuh dendam dan amarah yang terpendam.
Lalu ada ibu tirinya yang tak pernah peduli dengannya meski sekujur tubuhnya babak belur, hanya berpura-pura baik saja jika di depan publik dan awak media. Keluarga penuh kepalsuan itu benar-benar memuakkan, pikir Ran.
Selang beberapa tahun kemudian, adiknya lahir, namanya Haitani Rindou. Anak kedua di keluarga Haitani ini begitu disayang, dimanjakan dengan amat sangat. Tentu saja itu bukan tanpa alasan — Rindou ini lahir dari rahim istri sah sang ayah. Ran yang emosinya sudah tak stabil karena pengaruh ibunya itu selalu disuruh mengalah pada Rindou. Apa saja yang dimau oleh Rindou harus dituruti, sekalipun Ran yang pertama kali dapat.
Jika Rindou berbuat salah, Ran yang dicaci-maki sampai dikurung di kamar seharian.
Jika nilai Rindou jelek, Ran yang dimarahi, katanya ia tak becus jadi kakak karena tidak bisa mengajari adiknya dengan benar.
Jika Rindou terluka, Ran yang dibuat lebam karena dirasa gagal lindungi adiknya.
Tapi jika posisinya itu adalah Ran?
Jika ia berbuat salah, dia bisa dibuat sekarat. Jika nilainya turun, dia dipaksa belajar tanpa tidur seharian, sampai pingsan. Jika ada bagian dari tubuhnya yang terluka, maka harus dirinya sendiri yang mengobati karena tak ada satupun yang peduli.
Afeksi di rumah tidak dapat, pun juga di sekolah dasarnya. Ia disebut-sebut sebagai anak haram. Ran saat itu tentu saja tidak paham ‘anak haram’ itu apa. Saat bertanya, anak-anak menjawab, “anak haram itu anaknya iblis!”
Jadi, siapa yang mau disalahkan? Haitani Ran itu tumbuh besar dengan doktrin bahwa dia itu anak iblis.
Namun puncak segalanya bukan itu.
Suatu hari, ketika Ran sedang menemani Rindou bermain di sebuah taman dengan pengasuh mereka, tiba-tiba mobil van hitam datang yang berisi pria-pria besar yang mengerikan. Ran sebagai sang kakak saat itu tentu saja dengan cekatan lindungi sang adik, padahal ia juga takut.
“Yang mana yang namanya Rindou?!”
Baik Ran maupun Rindou kecil tidak menjawab, begitu juga pengasuh mereka yang nampak kebingungan.
“SEBUTIN RINDOU YANG MANA KALAU KALIAN MAU HIDUP!”
Ran saat itu menyusun rencana untuk melindungi adiknya, namun pengasuh mereka justru merespon dengan lantang;
“Y-yang di depan itu! Yang rambut pirang panjang! Itu Rindou!”
Tentu saja Ran membelalakkan matanya tidak percaya. Ia nyari berteriak, mengelak kebohongan yang dilontarkan pengasuhnya itu, namun tangannya sudah ditarik paksa. Diikat, dibungkam, dilempar kesana dan kemari — dia diperlakukan seolah-olah dia bukan manusia.
Ran diculik, disekap di sebuah tempat yang gelap gulita. Para penculik di sana marah bukan main saat tahu yang mereka culik adalah Haitani Ran, membuatnya harus tersiksa lebih-lebih karena dijadikan samsak tinju oleh orang-orang itu.
Haitani Ran disekap dan harus melewati penyiksaan bertubi-tubi selama kurang lebih 30 hari. Sangat lama, bukan? Itu karena keluarganya tidak ambil tindakan apa-apa. Selama itu bukan Rindou, mereka tidak peduli. Bahkan kalau bukan kepala pelayan yang bersikeras menyelamatkan Ran, mungkin mereka semua tidak akan peduli.
Namun terlambat. Mereka semua gagal menyelamatkan Ran pada saat itu. Karena sejatinya, jiwa Haitani Ran sudah mati, menyisakan cangkang kosong yang sudah tak berpenghuni lagi.
Maka dari itu, Haitani Ran dinyatakan mati pada umur 7, digantikan oleh iblis yang selalu dilontarkan orang-orang sekitar padanya.
Ran itu gila, tapi setidaknya saat itu hanya dia dan kepala pelayan yang tahu. Tubuh Ran saat ia masih terlampau muda itu sudah penuh dengan bekas luka sayatan — salah satu caranya untuk salurkan amarah. Saat menginjak bangku SMP, dia saksikan sendiri ayahnya bersetubuh dengan omega asing di rumah. Ketika ayahnya menemuinya keesokan paginya, pria tua itu menjelaskan seperti ini;
“Ayah kayak gitu ke omega itu karena ayah cinta.”
Ran menanggapi dengan skeptis.
“Yang begitu itu cinta?” ayahnya mengangguk. “Terus, bunda gimana? Ayah cinta sama bunda? Kalau cinta, kenapa bunda dikurung di rumah sama ayah?”
Bunda yang dimaksud adalah ibu kandungnya, yang masih diisolasi di mansion megah keluarga mereka.
“Itu karena ayah cinta mati sama bunda kamu, Ran. Makanya ayah gak mau bunda kamu kemana-mana, ayah mau bunda kamu aman.”
Begitulah konsep ‘cinta’ terbentuk di kepala Haitani Ran. Apa boleh buat? Ran sendiri masih terlalu kecil dan terlalu kosong untuk paham cinta itu apa. Jadi ia hanya mengiyakan, percaya dengan semua ujaran ayah bejatnya itu.
Selang beberapa tahun kemudian, Ran semakin menjadi-jadi. Bersetubuh demi mencari ‘cinta’ yang dikatakan ayahnya karena ia penasaran, lalu berakhir melukai pasangannya hanya karena ia kecewa ternyata mau bersetubuh dengan cara apapun, semuanya terasa hambar.
Saat Rindou kuliah di Inggris, Ran mencapai kejahatannya yang sempurna;
Membunuh ayah dan ibu tirinya dengan tangannya sendiri.
Apa salahnya? Pikir Ran. Toh orang-orang itu yang sebut dirinya iblis, seenaknya sendiri mau mengasingkan Ran yang sudah bekerja keras dari dini untuk memegang perusahaan Haitani. Begitu menyingkirkan dua orang menyusahkan, tak lama disusul oleh kematian ibu kandungnya yang terlalu syok sebab pria yang dicintainya itu meninggal.
Bodoh, batin Ran. Cinta itu bikin bodoh, contohnya, ya, seperti ibunya ini.
Ran yang sedang menempuh pendidikan doktornya jadi seenaknya sendiri karena orang-orang yang menyebalkan itu sudah hilang. Ia hanya berpesta sana-sini, bersetubuh dengan lubang pria maupun wanita yang ia anggap menarik. Ia hanya cukup membayar orang untuk tuntaskan studinya sebelum kembali ke Indonesia dengan gelar S3, siap menduduki posisi Presiden Direktur di umur 27.
Haitani Ran di usia ini sudah sepenuhnya mati rasa.
Ran bertemu dengan Mitsuya di hari dimana hujan mengguyur ibukota dengan deras. Yang surai lila ini tak tahu-menahu tentang keberadaan Ran, tapi Ran tahu. Omega bersurai lila itu adalah pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran kota — kafe yang dijadikan tempat Ran untuk berteduh hari itu.
Awalnya tidak ada yang spesial; hanya pelayan kafe yang melayani pelanggannya. Tiba-tiba ada kakek-kakek penjual mainan yang berteduh di depan kafe. Awalnya Ran kira, orang ini akan diusir — salah. Pelayan bersurai lila itu justru membawa orang itu masuk, memberinya segelas coklat hangat sambil tersenyum cerah.
27 tahun Ran hidup, ia tak pernah melihat orang yang hatinya sebesar itu.
Hal ini menarik perhatian Ran, dan tanpa sadar, ia jadi sering mengikuti Mitsuya di jam-jam kosong kerjanya. Ia melihat bagaimana Mitsuya sempatkan waktu untuk membantu ibu-ibu menyebrang jalan, mengambilkan layangan yang tersangkut untuk anak-anak di taman, bahkan memberi makan kucing liar satu potong ayam dari kotak bekalnya.
Awalnya memang hanya rasa ketertarikan yang sederhana, namun perlahan rasa itu berubah menjadi obsesi yang beracun. Surai pirang dan hitam milik Ran diubah menjadi warna ungu yang senada dengan rambut Mitsuya. Saat itu yang dipikirkan Ran saat itu jelasnya bukan cinta, melainkan pemikiran bahwa ‘ia bisa punya keturunan yang baik jika ia bisa menikah dengan omega ini’.
Orang sewajarnya tak berpikir begitu, tapi ini Haitani Ran yang sudah rusak. Maka ia membuat skenario untuk membalas dendam pada Taiju agar Takemichi, kawannya itu, mau membantunya. Ia pasang topeng seolah-olah ia tak tertarik sama sekali dengan Mitsuya di hadapan Takemichi; mungkin karena gengsinya yang terlalu tinggi.
Menjebak Mitsuya sangatlah mudah karena omega ini dasarnya terlalu murah hati. Jika ia gertak akan patuh, benar-benar omega yang penurut. Belum lagi fakta bahwa bersetubuh dengan Mitsuya miliki efek yang sama dengan obat-obatan yang pernah ia konsumsi, bikin candu dan ketergantungan.
Maka Ran lakukan segala cara agar mengikat Mitsuya dengannya, sekalipun caranya tidak manusiawi sama sekali. Toh Ran ini sudah tidak dapat berperilaku seperti manusia sekalipun di genggamannya itu adalah Mitsuya Takashi yang lebih manusia dari siapapun. Ia hanya menganggap Mitsuya sebagai ‘sesuatu yang harus ia miliki’ demi penuhi egonya, maka dari itu ia tidak suka jika Mitsuya melewati batasnya — seperti dengan mengharapkan afeksi yang hangat darinya.
Ran yang ketagihan dengan seks dengan Mitsuya pun mulai merasa aneh. Kenapa dia suka sekali meniduri omega ini? Lalu ia teringat perkataan ayahnya; cinta. Hari itu, Ran mual, memuntahkan isi perutnya dengan telak. Demi apapun, Ran benci segala hal yang dinamakan cinta.
Maka Ran mencari-cari kesenangan dari omega lain. Tiduri omega ini dan itu karena tak ingin dirinya kecanduan pada sesosok Mitsuya Takashi.
Tapi tindakannya itu justru membuat Mitsuya kecelakaan, menghilangkan anak yang selama ini ia dambakan.
Ran sebenarnya tidak ingin marah, maka dari itu ia berdiam diri di rumah dan memilih untuk tidak menemui Mitsuya. Ia tahu bahwa amarahnya yang membludak kalau dihadapkan oleh Mitsuya. Namun di hari ketiga, ketika emosinya belum reda sama sekali, Mitsuya justru pulang. Alkohol dan amarahnya yang tak stabil itu perpaduan yang mematikan; terbukti, ia hampir membunuh Mitsuya saat itu.
Ran panik. Pertama kali dari hidupnya ia merasakan panik, seolah-olah takut kehilangan. Ia saat itu berpikir, ah, masuk akal kalau dia takut kehilangan barang kesayangannya.
Meniru sang ayah, Ran mulai mengurung Mitsuya di mansionnya. Ia jadikan mansion megah berlapis emas itu sebuah sangkar untuk Mitsuya Takashi. Lebih-lebih ketika omega itu berani sodorkan surat cerai pada suatu hari, cuma perkara Ran berhubungan seks dengan omega lain. Salah siapa, ‘kan? Mitsuya yang membuatnya kecanduan dengan tubuh omega itu. Tidak tahukah Mitsuya kalau Ran hanya bisa rasakan hangat ketika sedang bersetubuh dengan si surai lila itu?
Namun, Mitsuya menjadi berubah ketika berhari-hari ia kurung dalam sangkar yang ia buat itu. Ada kalanya Mitsuya tenang seperti riak air di danau, atau kacau seperti badai di tengah musim kemarau.
Ran tidak tahu cara apa lagi untuk membuat Mitsuya tenang, lalu ia mengingat bagaimana ayahnya membuat ibunya tunduk patuh; dengan obat bius dan pil penenang. Maka ia tiru lagi tindakan ayahnya dulu.
Lalu ada hari dimana Mitsuya tenang, Ran akan duduk di hadapan omega itu, memandanginya seksama. Dia tidak merasakan perubahan signifikan apa-apa di tubuhnya, namun ia merasa nyaman. Apalagi saat Mitsuya mulai menggambarnya di buku yang selalu dibawa lelaki itu kemana-mana.
Di hari yang tenang, Ran dan Mitsuya sering habiskan waktu seperti ini. Diam tanpa sepatah kata apapun, saling mengobservasi satu sama lain dalam keheningan yang membisu.
Tapi di hari dimana keduanya menggila, mereka akan membunuh satu sama lain, menyumpah serapahi dengan lantang, lempar barang ini dan itu sampai vas dan guci koleksi di kediaman mereka perlahan mulai raib.
Siklusnya selalu seperti itu. Berdamai untuk sehari, lalu berperang untuk seminggu. Ran sempat menjauhi Mitsuya beberapa saat, takut — karena Mitsuya menjadi gila seperti ibunya dulu.
Namun Ran masih mengira, semua akan baik-baik saja.
Sampai pada akhirnya, Ran menyaksikan sendiri bagaimana Mitsuya terbang malam itu, lalu hancur di depan matanya sendiri. Darah di mana-mana, tulang-tulang itu patah, sementara sisi kepala Mitsuya remuk. Ran tidak menangis, tapi dia menjerit seperti orang kesetanan. Di rengkuhannya hanyalah tubuh tak bernyawa Mitsuya, yang ia peluk dengan erat dan panggil-panggil namanya berulang kali seperti orang gila.
Ran bahkan tidak peduli ketika Hanemiya Kazutora melangkah melenggang keluar dari mansionnya, tatap dia lama sambil mengeluarkan secarik kertas dari sakunya.
“Dari Mitsuya,” ujarnya sambil melemparkan kertas itu. “Sialan lo. Padahal lo yang bikin dia mati masih sempet dibikinin surat.”
Ran tidak membaca surat itu sampai hari dimana Mitsuya dan anaknya dimakamkan.
Rasanya dunia seperti mencekiknya ketika ia tahu fakta bahwa Mitsuya bunuh diri dengan keadaan mengandung anak mereka. Apakah Mitsuya sangat membencinya sampai-sampai ia rela mati dengan anaknya agar membuat Ran menderita seumur hidup?
Ran menghancurkan seisi mansionnya, gaungkan nama Mitsuya berulang kali, berharap Tuhan — jika memang ada — berbaik hati untuk memberinya Mitsuya kembali. Tapi tentu saja tidak mungkin; dia itu iblis yang tak tahu kasih sayang, mana mungkin diberi kesempatan sentuh ciptaan-Nya yang paling berharga itu lagi?
Hancur sehancurnya. Perusahaan terbengkalai, kondisi tubuhnya pun juga. Seharian cuma minum-minum, tapi tak sekalipun ia meneteskan air mata.
Barangkali, Haitani Ran memang bukan manusia. Ia hancur karena barang favoritnya rusak dan hilang.
Lalu Ran teringat surat yang Kazutora berikan padanya. Ia baca surat itu dengan perasaan yang teraduk, apalagi saat membaca,
‘p.s. Aku udah maafin kakak. Jadi, kakak harus maafin diri kakak sendiri, ya.’
Kenapa? Kenapa Mitsuya memaafkan dia? Bukannya ia harusnya benci dengan Ran sampai-sampai rela ambil nyawanya sendiri begitu?
Kemudian, kepala pelayan bercerita, “Tuan Mitsuya sudah tahu semua tentang masa lalu Tuan Ran.”
Di hari dimana Ran hampiri membunuh dengan mencekiknya, hari ke-42 Mitsuya ditahan, sebenarnya omega itu sudah berniatan untuk membunuh dirinya sendiri. Namun sebelum itu, Mitsuya bertanya pada kepala pelayan; seperti apa Haitani Ran itu dulunya?
Yang Mitsuya dengar justru adalah cerita paling biadab dan keji yang membuat hatinya nyeri. Sisi Ran yang ini yang membuat Mitsuya akhirnya gagal untuk mengakhiri hidupnya. Apalagi saat Mitsuya sering mendapati Ran menangis dalam tidurnya, melihat bekas-bekas luka pisau maupun bakar yang ditimpa oleh tinta hitam di sekujur badannya, lalu fakta bahwa ia selalu berjengit ketika Mitsuya kelepasan menghinanya dengan sebutan ‘iblis’, juga bagaimana Ran memandangnya lama; seperti ingin melakukan sesuatu, tapi tidak tahu harus memulai dari mana.
Mitsuya terkadang memandang Ran sebagai manusia, yang sayangnya sudah diambil alih kendali sepenuh oleh iblis tak bertanggung jawab. Rasanya Mitsuya ingin kembali ke waktu di mana Ran masih kecil, melindungi anak itu dari perlakuan jahat orang-orang yang melukainya sampai-sampai ia gagal menjadi manusia yang utuh.
Maka dari itu Mitsuya meminta maaf. Ia meminta maaf karena ternyata, ia hanya bisa bertahan selama dua bulan dalam sangkar emas milik Ran; dalam genggaman manusia yang sudah rusak itu. Mitsuya pun juga tidak ingin dirinya ikut rusak dan pada akhirnya ikut hancur bersama Ran, lalu menghancurkan anaknya seperti orang tua Haitani pada Ran dahulu.
Membaca surat itu berulang kali, baru saat ini Ran menangis. Ia menangis bukan karena sedih, tapi bingung karena ia gagal merasakan sesuatu. Padahal surat itu tetap melekat pada matanya, tapi ia tak bisa merasakan sedih yang mendalam — hanya kekosongan yang melolong.
Seperti yang tertera pada surat dari Mitsuya, Ran berencana hidup dengan lama.
Ran jalani hidupnya seperti biasa; pergi ke kantor, memimpin rapat, tandatangani dokumen, lalu pulang pada pukul 10 malam. Ia akan selalu berkata, “Mitsuya, aku pulang.” meski tidak ada satupun yang menjawab.
Apakah Ran sudah waras? Apakah Ran sekarang sudah menjadi manusia?
Jawabannya adalah tidak.
Ran hanya berpura-pura saja. Ia jalani hari-hari seperti manusia pada umumnya karena Mitsuya bilang, ia akan mengawasi dengan Ryo dari atas sana. Ketika malam semakin larut, maka Ran akan berusaha membunuh dirinya dengan berbagai cara.
Mungkin… Bukan berusaha membunuh, lebih ke menyakiti dirinya sendiri sampai nyaris mati.
Ran tidak akan membunuh dirinya sendiri, namun ia akan menyiksa dirinya sampai dirasa dia akan kehilangan nyawanya. Melukai tangannya sampai nyaris kehilangan banyak darah, tenggelamkan dirinya di kolam renang sebelum akhirnya ditolong oleh pelayannya, konsumsi obat-obat yang ia paksakan pada Mitsuya dulu sampai overdosis dan dilarikan ke rumah sakit, dan masih banyak lagi siksaan-siksaan yang Ran perbuat pada dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Ran yang terjebak pada sangkarnya sendiri. Berusaha mati, namun sadar dirinya tak pantas mati. Berakhir menyiksa dirinya, berharap kalau dengan segala siksaan ini, mungkin Ran akan dimaafkan.
Haitani Ran hidup untuk waktu yang lama, tapi tiap harinya digunakan untuk membayar dosa-dosanya.