ayiin
9 min readFeb 19, 2022

Dusta Kata

cw // panic attack, mental breakdown, self-sabotage

Menurut kalian apakah mungkin jika seorang Mitsuya Takashi yang amat sangat mencintai Haitani Ran dengan sepenuh hatinya tiba-tiba meminta cerai dalam satu malam?

Jawabannya adalah tidak.

Mitsuya yang rela hidupnya dibalik 180 derajat oleh kehadiran Ran, yang dengan besar hati mampu memaafkan segala tentang Ran dan masa lalu pria itu, yang dengan tangan kecilnya mampu selimuti kehangatan pada tubuh Ran — mana mungkin Mitsuya berhenti mencintai pria itu dalam sekejap mata.

Maka dari itu, mari kita kilas balik di hari dimana Mitsuya baru saja mendapatkan hasil positif pada dua testpacknya. Awal Mitsuya tahu, dia sangat bahagia. Ia melompat-lompat kecil di area rumahnya, berlari ke arah gudang untuk mencari tumpukan sepatu yang pernah dibeli oleh suaminya. Ada rasa haru — akhirnya sepatu-sepatu ini bisa digunakan.

Ke dokter dulu buat mastiin, terus baru ngabarin Ran, pikir Mitsuya yang tidak ingin Ran kecewa untuk kesekian kalinya. Namun keesokan harinya, dia justru bertengkar lewat pesan teks dengan Ran di pagi hari, membuat suasana hatinya sangat buruk.

Pada pukul 6 sore, Mitsuya berangkat ke dokter kandungan di rumah sakit langganan keluarga Haitani. Ran bilang kalau ada apa-apa ke rumah sakit ini saja karena rumah sakit ini milik kerabat pria itu. Mitsuya tidak perlu mengeluarkan biaya apapun jika membawa dirinya maupun orang lain kemari — seperti rumah sakit pribadi keluarga besar Haitani.

Dokter kandungan yang memeriksa Mitsuya tersenyum lebar, memberinya selamat sebab kasus seperti Mitsuya ini hitungannya langka, apalagi sebelumnya sudah didiagnosis akan mengalami kesulitan untuk mengandung lagi. Dokter itu berkata bahwa Mitsuya harus benar-benar menjaga anak ini karena keajaiban tidak akan datang sekali lagi kalau dirinya lalai.

Setelah memberikan anjuran ini dan itu, Mitsuya keluar dari ruangan dengan perasaan bahagia. Kabar ini terlalu membahagiakan untuk disampaikan lewat pesan teks maupun panggilan suara, maka dari itu Mitsuya berencana mengabari Ran seusai pria itu kembali.

Namun saat Mitsuya berjalan ke parkiran, mendadak ada mobil mewah yang berhenti di sampingnya. Mitsuya kerjapkan matanya berulang kali sebelum kaca mobil itu menurun, tampakkan wajah familiar.

“Ah, t-tante,” sapa Mitsuya sambil membungkukkan badannya 90 derajat.

Ada supir yang keluar dari mobil, membukakan pintu mobil tersebut. Ibu Ran berkata dengan angkuh, “masuk.”

Suara dan perangainya begitu dingin, berbanding balik dengan bagaimana wanita itu bersikap ketika Ran ada di sekitarnya. Ini adalah kali pertamanya ia berduaan dengan ibu mertuanya. Jantungnya berdegup kencang, apa yang wanita ini mau? Tidak mungkin mertuanya ini menemuinya secara sukarela begini tanpa tujuan? Karena ingin bertemu menantu satu-satunya? Mitsuya bukan orang bodoh, Rindou yang merupakan anak kandungnya saja acap kali dikunjungi, apalagi dia yang orang asing?

“Saya nggak mau basa-basi, jadi saya tanya ke kamu,” wanita itu menoleh ke arahnya. “Kenapa kamu belum cerai sama Ran?”

“Maksud tante?”

“Semua foto dan perlakuan orang-orang di pesta-pesta itu nggak cukup buat merusak mental kamu apa gimana? Kayaknya saya terlalu meremehkan kamu, ya?”

Mitsuya menelan ludahnya. Apa maksud wanita ini? Foto? Orang-orang? Mitsuya seperti paham, namun tidak paham juga di waktu bersamaan.

“Jadi foto-foto itu ulah tante? Terus orang-orang selalu sarkas dan nyindirin saya itu karena tante?”

Ibu Ran hanya mengangguk. “Saya kira kamu bakal menyerah, atau Ran bakalan bosen makanya saya biarin dia nikah semaunya. Tapi ini udah setahun, kamu malah hamil, lagi.”

Mitsuya dengan panik memeluk perutnya, menelan ludahnya bulat-bulat.

“G-gimana bisa tau? Ran aja belum saya kasih tau?” tanya Mitsuya. Ia harap dia bisa kabur sekarang, namun sialannya, mobil ini tetap membawa mereka berkeliling kota. Sengaja, sepertinya wanita ini tahu bahwa Mitsuya mungkin akan segera meninggalkannya begitu mendengar kata ‘cerai’ keluar dari bibirnya.

Ibu Ran menatap Mitsuya tanpa ekspresi sedikitpun di wajahnya.

“Kamu ini kayaknya cerdas, tapi sedikit polos dan naif,” tukas wanita itu. “Rumah sakit yang kamu kunjungi itu, dan semua yang ada di sana, itu bawahan saya.”

Mata Mitsuya membelalak tidak percaya, tiba-tiba jantungnya bergemuruh dengan kencang. Ada yang tidak beres dengan wanita ini.

“Begini aja, Mitsuya, saya dan kamu ini… Istilahnya sama-sama ‘ibu’ lah, ya? Kamu mengandung, dan saya pun juga pernah mengandung. Jadi sebagai orang yang sama-sama di posisi itu, saya cuma minta kamu untuk pergi dari hidup Ran.”

Mitsuya menggeleng, kebingungan, “saya nggak paham kenapa saya harus pergi?”

“Saya, sebagai ibunya Ran, sangat menentang kamu menjadi suami dari anak saya. Alasan pertama, mungkin kamu sudah tau, ‘kan? Latar belakang kamu yang rendah dan gak sebanding sama Ran, terlebih kamu ini laki-laki omega pula. Pendidikan dan pekerjaan kamu sama-sama memalukan, nggak ada satu pun hal yang bisa dibanggain dari kamu, Mitsuya. Saya bukannya menghina kamu, saya hanya bicara fakta. Setuju kan, Mitsuya?”

Mitsuya mau tak mau mengangguk. Mau bagaimana lagi memang ibu Ran tidak salah. Perbedaan status antara dirinya dan Ran memang terlampau kontras, seperti bumi dan langit. Bahkan menikah dengan pria itu tidak menghapus fakta bahwa dia memang orang biasa.

“Kamu paham nggak, sih? Kenapa Ran sibuk siang dan malam buat kerja itu karena apa? Itu karena dia harus membangun relasi dengan banyak klien dan investor agar kedudukannya kuat. Kenapa dia harus kerja sekeras itu? Ya, itu karena pasangan dia gak berguna seperti kamu ini, Mitsuya.”

Mitsuya lagi-lagi hanya bisa menunduk, mendengar omongan yang menohok hati itu sambil meremas ujung pakaiannya, berharap rasa sesak di dadanya itu reda.

“Andai kata pasangan Ran itu dari kalangan elit seperti kami, dia gak perlu susah payah bangun relasi seperti itu, Mitsuya. Dia bisa lebih santai karena pernikahannya bisa membantu, bukan malah merugikan Ran seperti ini.”

Akhirnya, Mitsuya beranikan diri itu mendongak, tatap wanita itu dengan tegas.

“Tapi baik saya dan Ran udah tau resiko dari pernikahan kami. Saya udah menyanggupi apapun konsekuensi yang harus saya hadapi setelah menikah, juga Ran yang sanggup melakukan segala cara untuk melindungi keluarga kami.”

Menelan salivanya sekali lagi, tatapan Mitsuya masih lurus memandang wanita berambut hitam legam itu.

“Apapun yang terjadi, saya nggak akan ninggalin Ran.”

Lalu ibu Ran melempar foto-foto Ran dengan wanita asing yang pernah dikirimkan ke Mitsuya sebelumnya. Foto Ran yang terbaru. Namun Mitsuya masih tidak goyah, hanya melirik fot0-foto itu tanpa rasa ketertarikan.

“Perempuan itu yang akan jadi kandidat sebagai istri Ran,” tukas ibu Ran yang membuat hati Mitsuya berdegup kencang. “Dia baru 22 tahun, tapi sudah menempuh S2 di Stanford. Keluarganya terpandang, begitu juga dengan pendidikannya.”

“Tante pikir Ran mau?”

“Buktinya, Ran mau ketemu sama perempuan itu. Lihat, mereka cocok, bukan?”

Mitsuya melihat foto-foto itu dengan seksama, lalu membuang muka. Dari foto-foto itu juga terlihat jelas bahwa Ran sama sekali tidak tertarik dengan wanita itu. Sepertinya Ran terpaksa.

“Saya percaya sama suami saya, tante. Dia gak akan tertarik sama perempuan itu.”

Ibu Ran mendecak, kemudian berkata, “kamu itu egois, ya? Saya disini juga lagi memperjuangkan keluarga saya. Kamu tau hubungan Ran dan papanya jadi hancur karena kamu? Papanya Ran lagi sakit, Ran bahkan nggak jemput sama sekali! Kamu itu gak hanya merusak hidup Ran, tapi juga keluarga kami!”

Mitsuya hendak membela diri, namun kata-katanya dipotong.

“Kamu gak tau, sih, ya, rasanya punya anak gimana. Gimana perasaan saya saat anak yang saya kandung selama sembilan bulan dan kami didik dari dia kecil sampai dia sebesar ini suatu hari benci sama kami cuma karena dia jatuh cinta? Kamu nggak akan tau, Mitsuya, kamu aja gagal menyelamatkan anak kamu yang pertama. Iya, ‘kan?”

Bungkam sudah Mitsuya ketika ibu Ran mulai membawa-bawa perkara itu. Padahal ia sudah siap argumentasi bahwa baik ibu maupun ayah dari Ran, keduanya tidak ada yang becus dalam membesarkan anak mereka. Rindou saja dibesarkan oleh Ran! Bagaimana bisa wanita ini sekarang bersombong ria, berkata seolah-olah ia sudah mendidik Ran dengan benar?

Merogoh dompet dan mengeluarkan selembar cek, ibu Ran bertanya, “kamu mau berapa?”

“Saya bilang, saya nggak akan cerai dari Ran! Nggak peduli keluarga Anda maupun lingkungan Ran nggak nerima saya, atau berapapun foto yang Anda kirim ke saya, saya nggak akan menceraikan Ran!”

Ibu Ran terkekeh, “ah, tentu kamu nggak akan bisa pakai cara klise begini. Jadi? Apa saya harus ngancem keluarga kamu? Ibu kamu janda, ‘kan? Adek satunya kuliah, satunya lagi masih SMA.”

Mitsuya berusaha mengatur nafasnya. Tenang, tenang, kalau diancam begini, dia tidak boleh takut. Dia masih punya Ran. Ia yakin Ran bisa melindungi keluarganya. Ia tidak boleh takut —

“Oh, masih nggak ngaruh?”

Wanita itu dengan elegan menyelipkan surai legamnya ke belakang telinga, tersenyum tipis yang amat mirip dengan cara Ran tersenyum.

“Atau… Kamu mau kehilangan anak lagi?”

Jantung Mitsuya berdegup dengan kencang. Sangat kencang, sampai-sampai Mitsuya tidak bisa mendengar apapun kecuali detakan jantungnya sendiri. Tangan yang gemetar itu otomatis menyentuh perutnya sendiri, sementara mulutnya sudah tidak kuasa untuk berkata apa-apa lagi.

“Mitsuya, masih inget, ‘kan? Masih inget gimana rasanya janin yang ada di kandungan kamu, yang kamu dan Ran tunggu-tunggu, terus suatu hari diambil begitu aja? Kamu gak sempat tau kayak gimana rupa anakmu, bahkan kamu gak sempat kasih anakmu nama. Masih inget?”

Rasanya mual. Kenangan yang sampai membuat Mitsuya bolak-balik ke rumah sakit untuk konsultasi ke dokter, konsumsi obat penenang agar bisa tidur dengan tenang, tiba-tiba dibuat oleh wanita ini untuk menyerangnya bertubi-tubi.

Masih ingat? Bercanda wanita ini, Mitsuya bahkan tidak akan bisa lupa meskipun ia sudah terbujur kaku di dalam tanah sekalipun.

Mitsuya merasakan sesak di dadanya, lalu keringat dingin mulai membasahi keningnya. Air matanya pun mulai meleleh tanpa perintah.

“Jadi, kamu mau ngerasain itu lagi?”

Buru-buru Mitsuya menggeleng, menangis hebat sambil menggenggam tangan wanita itu.

“Nggak! Saya nggak mau ngerasain itu lagi… Tolong jangan ambil anak saya lagi, saya mohon… Apa aja asal jangan anak saya…” pintanya di sela tangisannya.

“Kalau gitu cerai sama anak saya.”

Mitsuya mendongak, menatap ibu Ran dengan matanya yang berair.

“K-kenapa? Saya c-cinta sama Ran — ”

“Ya udah! Gak usah cerai dan liat aja anak kamu bakal selamat atau nggak!”

Mitsuya kembali menggeleng, “maaf, maaf… Saya bakal cerai sama Ran! Saya bakal jauhin Ran, saya gak akan ganggu Ran lagi! Tapi jangan celakain anak saya!”

Ibu Ran mendorong tubuh Mitsuya menjauh, lemparkan dokumen berisi surat gugatan cerai ke Mitsuya. “Sudah saya urus, tinggal kamu isi dan minta Ran untuk tanda tangan.”

“T-tapi Ran gak bakal mau…”

“Ya buat mau! Kamu bohong atau apa, saya gak peduli, pokoknya kamu harus dapet tanda tangannya! Ngerti?!”

Mitsuya memandang map coklat ini untuk waktu yang lama, kemudian menatap ibu Ran dengan sendu.

“Kami bahkan baru nikah setahun…”

“Justru karena setahun, dia bakal ngelupain kamu cepat atau lambat.”

“Anda ini tega, ya, ngerusak kebahagiaan anak Anda sendi — ”

PLAK!

“TAU APA KAMU TENTANG KEBAHAGIAAN ANAK SAYA?!” sentak wanita itu dengan lantang. Sedangkan Mitsuya tidak banyak reaksi, hanya memegangi pipinya yang kini memanas.

Tidak sakit sama sekali.

“KAMU YANG MERUBAH ANAK SAYA! MERUSAK MASA DEPAN ANAK SAYA DENGAN MENIKAH DENGAN SAMPAH SEPERTI KAMU! HARUSNYA KAMU SADAR! CINTA, CINTA, MEMANGNYA HIDUP INI CUKUP MAKAN CINTA AJA, HAH?!”

Kemudian mobil itu terhenti, sementara ibu Ran berdeham, mengatur suaranya agar kembali tenang.

“Saya tunggu perceraian kalian. Secepatnya. Kamu nggak mau gagal jadi ayah untuk yang kedua kalinya, ‘kan?”

Malam itu, Ran hancur karena tiap ujaran kata yang dilontarkan oleh Mitsuya dengan kejam. Mitsuya sendiri mati-matian memutar otak, mencari-cari kesalahan Ran, kesalahan dalam pernikahan mereka — apa saja yang sekiranya bisa menjadi alasan kuat mengapa ia minta berpisah.

Tapi tidak ada yang berhasil.

Maka, Mitsuya Takashi mengucapkan satu kalimat yang berisi kebohongan terbesar dalam hidupnya;

Aku udah nggak cinta sama kamu, Ran!

Dan, Mitsuya bisa melihat sendiri bagaimana netra lembayung Ran yang begitu indah kini perlahan meredup. Ran, di hadapannya, hancur berkali-kali karenanya.

Karena Mitsuya pengecut dan penakut.

Ran langsung setuju, bahkan sempat meminta maaf padanya, membuat Mitsuya meringis. Ini bukan salah Ran, ini salahnya.

“Takashi, aku cinta kamu.”

Itu yang Ran ucapkan, namun Mitsuya abai dan melangkah keluar rumah mereka.

Di luar, ada mobil yang menunggu Mitsuya. Lalu kaca mobil diturunkan, perlihatkan ibu Ran yang langsung menyambar map itu dari tangan Mitsuya.

“Hm, good job.”

Lalu ibu Ran melemparkan selembar cek bernilai satu juta dolar ke arah Mitsuya, sebelum melaju pergi meninggalkan omega itu.

Mitsuya hanya bisa menatap kosong sepanjang perjalanan ke apartemennya. Ada yang kosong di dadanya, namun ia sama sekali tidak bisa menangis.

Baru ketika Mitsuya injakkan kaki ke dalam apartemennya, tubuhnya merosot ke lantai. Ia membekap mulutnya, bahkan menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah agar tangisannya tidak keluar. Namun sia-sia, sebab hatinya sudah terlalu terluka sekarang. Ia menangis begitu lantang, berseru dengan frustasi, menjambak rambutnya berulang kali.

“Lo goblok, goblok, GOBLOK! KENAPA LO TOLOL?! KENAPA LO BIKIN RAN SEDIH?! APA BEDANYA LO SAMA MEREKA?!”

Mitsuya menghancurkan seisi apartemennya, berteriak dengan histeris. Ia pecahkan seluruh cermin di apartemennya, mengutuk dirinya sendiri tanpa henti. Lalu, ia tampar sendiri bibirnya yang telah menyakiti Ran dengan tiap ucapannya yang tak masuk akal.

“PUAS?! PUAS LO UDAH HANCURIN HIDUP LO SENDIRI?! PUAS?! PUAS, MITSUYA TAKASHI?!”

Lalu Mitsuya berhenti mendadak, mengelus perutnya sambil mengatur nafasnya.

“Gapapa, gapapa, yang penting kamu aman, sayang…”

Lalu detik selanjutnya, “t-tapi gue… Gimana caranya gue hidup tanpa Ran?”

Mitsuya menarik rambutnya sekali lagi, menangis di bantalnya sambil gumamkan, ‘Ran, Ran, Ran, Ran’ berulang kali.

Rasanya seperti menjadi gila.

Kenapa ia harus berpisah dengan suaminya? Kenapa ia harus memilih antara anaknya dan Ran? Kenapa ia tidak boleh mencintai Ran? Kenapa ia tidak boleh mempertahankan pernikahannya? Kenapa ia harus menyakiti Ran? Kenapa ia bodoh? Kenapa Mitsuya Takashi bodoh? Kenapa Mitsuya Takashi sangat lemah? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

“AAAAGGHHHHH!!!”

Mitsuya hanya menangis, menangis, dan menangis di tengah kekacauan yang ia buat. Apartemennya lebih mirip kapal pecah sekarang, beberapa barangnya sudah hancur berkeping-keping ke lantai.

Di tengah itu semua, Mitsuya tiba-tiba tertawa, meraih foto pernikahannya dengan Ran yang kacanya sudah retak, lalu memeluknya dengan erat.

“Ran, kali ini, aku berhasil lindungin anak kita, ‘kan?”

No responses yet