Cerai Berai
Mitsuya menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melangkah ke dalam gedung apartemen elit di hadapannya ini. Tempat ini pernah jadi rumahnya. Ah, tidak, bahkan tempat ini sampai sekarang masih menjadi rumah Mitsuya seharusnya.
Hatinya semakin berat kala langkahnya makin mendekat dengan rumahnya. Tiap langkah yang ia ambil akan mengingatkannya pada bagaimana setahun ini, ia sangat bahagia menikah dengan Ran. Ia begitu menghormati Ran sebagai suaminya. Sibuk, memang, namun pria itu akan sempatkan waktu untuk memberinya berbagai hadiah.
Rasa bersalah mulai menghantui Mitsuya. Dia harus bagaimana ketika bertemu dengan Ran nanti? Tersenyum? Menangis? Jutek? Mitsuya tidak tahu. Dan seperti apakah ekspresi Ran ketika melihatnya? Terharu? Marah? Begitu banyak dugaan di kepala Mitsuya ketika tangannya hendak memasukkan kode pintu rumah mereka.
Apa Mitsuya mundur saja? Toh dia tidak menjanjikan siapa-siapa untuk menemui Ran hari ini. Rindou memang sempat menitipkan Ran padanya, tapi bukan berarti ia harus turuti, ‘kan? Namun sisi lain Mitsuya kerap mendorong nuraninya untuk menemui Ran. Ya, tentu saja karena di dalam lubuk hati Mitsuya, dia itu sangat khawatir dengan kondisi Ran sekarang.
Sebenarnya ketika mendengar kabar Rin sedang mengandung, pikirannya langsung tertuju pada Ran. Ia tahu jelas bagaimana berantakannya hidup Ran sekarang, apalagi ia dengar kalau suaminya itu baru saja menghadapi orang tuanya yang keras itu. Ketika Ran seharusnya punya tempat untuk bersandar setelah hari-harinya yang berat, ia justru selaku suami undurkan diri, hancurkan hidup Ran secara total dengan surat gugatan cerainya.
Mitsuya seperti orang jahat yang tak punya hati.
Rumah itu gelap gulita ketika Mitsuya langkahkan kakinya masuk ke dalam. Hanya ada cahaya remang-remang dari beberapa lampu yang sedikit iluminasikan interior mewah rumah mereka ini. Ada sedikit rasa khawatir membelit hati Mitsuya sekarang, seperti pertanyaan; bagaimana jika terjadi suatu pada Ran?
Langkah tenang dan penuh hati-hati itu mendadak menjadi langkah frantik, berlari ke tiap ruangan hanya untuk temukan kekosongan. Tidak mungkin Ran tidak ada di rumah — sepatunya ada di depan, dan sandal rumahnya pun juga tidak ada. Jantungnya jadi bergemuruh, pria itu tidak nekat lakukan hal buruk, ‘kan? Karena kalau iya, Mitsuya tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
“Takashi?”
Detak jantungnya nyaris terhenti sesaat ketika suara bariton yang familiar itu mulai menyapa gendang telinganya. Feromon tembakau dan vanila itu membuat rasa rindu yang selama ia kubur dalam-dalam meledak. Ingin hati segera berlari ke pelukan alphanya ini, namun rasionalitasnya mengatakan sebaliknya. Maka Mitsuya hanya membalikkan badannya, pertemukan netra lembayung mereka yang sama-sama pancarkan kerinduan.
“Ran.”
Yang dipanggil melangkah maju, membuat cahaya semakin sinari paras tampannya dengan jelas. Ran, suaminya itu begitu indah di mata Mitsuya sekarang. Wajah ini, suara ini, dan aroma ini — semua tentang Haitani Ran mengingatkan Mitsuya dengan rumah.
Ran tidak berkata apa-apa, hanya memandangnya dengan sendu, seolah-olah pria itu siap menangis kapan saja sekarang. Hati Mitsuya mencelos, tidak terbayang berapa banyak beban di bahu pria itu sekarang. Masalah dengan Rindou, orang tuanya, Hanma, dan juga… Dirinya.
“Gimana kabarnya?” tanya Mitsuya sebelum mengutuk dirinya dalam hati. Pertanyaan bodoh! Tentu saja pria itu tidak baik-baik saja!
Tapi Ran tersenyum, menjawab, “kamu mau denger jawaban yang kayak gimana, Takashi?”
Mitsuya tidak menjawab, omega itu justru buang muka dan mengeluarkan map amplop dari dalam tasnya. Ketika Ran melihat ini, pancaran di matanya seketika meredup. Seolah pria itu tidak percaya bahwa Mitsuya serius dengan tindakannya.
“Aku kesini buat minta tanda tangan dari kamu.”
Ada tawa yang mengiris hati ketika Mitsuya ulurkan map amplop itu ke Ran.
“Kamu kira aku mau tanda tangan, Takashi? Kamu bahkan nggak ngasih tau aku alasan kamu apa? Kamu ini mau ngelucu apa gimana? Mana bisa kamu minta cerai tanpa alasan?”
Tatapan Mitsuya begitu dingin, menorehkan luka di hati Ran sepenuhnya.
“Aku punya banyak alasan, Ran.”
Mitsuya membuka tasnya, lalu mengambil amplop lain berisi banyak lembaran foto dan melempar semua itu ke arah Ran. Ran menangkap satu dari sekian banyak foto itu, kemudian mengerjapkan matanya berulang kali sebelum menelan salivanya bulat-bulat.
Itu adalah kumpulan foto-fotonya dengan Kazutora. Harusnya semua ini sudah lenyap! Ran sudah pastikan bahwa ia dan Kazutora tidak meninggalkan jejak apa-apa, jadi kenapa bisa foto-foto ini ada di tangan Mitsuya?
“Takashi, semua ini foto lama. Kamu tau, ‘kan?”
“Iya, tau. Tapi bukan berarti aku nggak marah, ya? Kamu ini nutupin masa lalumu sama temenku, loh, Ran? Sahabatku. Aku pernah sekali tanya apa kamu kenal sama Kazutora, tapi kamu inget jawabanmu? Kamu bilang ‘nggak kenal’, katamu ‘kenal dari Hanma’. Tapi nyatanya apa, Ran? Aku malah tau dari orang lain kalo kamu punya masa lalu sama Kazutora!”
Ran menghela nafas, mengusap wajahnya frustasi. Seharusnya ia tahu kalau merahasiakan hal ini dari Mitsuya akan berakhir buruk.
“Aku cuma gak mau kamu marah, Taka. Aku juga takut kamu bakal canggung sama Kazu kalo tau. Lagian itu semua masa lalu, ‘kan?”
“Tapi dengan kamu sama Kazu nyembunyiin itu bikin curiga, Ran! Kalo emang gak ada apa-apa, buat apa kamu sembunyiin. Gitu, ‘kan?!”
Pembicaraan ini semakin memanas, maka Ran memilih untuk memejamkan matanya sesaat untuk mendinginkan kepalanya sebelum lanjut bicara.
“Really? Takashi? Kamu ceraiin aku cuma perkara Kazutora aja? Orang dari masa lalu aku? Kenapa gak sekalian aja kamu marah karena hubunganku sama mantan-mantanku yang lain?” Ran mendecak. “Aku gak nyangka kamu kekanak-kanakan begini. Kamu kira pernikahan itu main-main? Yang bisa kamu putusin cuma karena satu kebohongan yang aku buat demi ngelindungin hubungan kita?”
Ketika dijabarkan begini, memang alasan Mitsuya cukup kekanak-kanakan jika menceraikan Ran perkara ini saja. Sayangnya, alasan ini bahkan bukan alasan utama untuk menceraikan Ran. Ia bahkan tahu kabar ini setelah menggugat suaminya ini.
“Kamu kira cuma itu? Oke, selanjutnya, kamu itu terlalu sibuk, Ran. Aku paham dan memaklumi kerjaan kamu apa, tapi akhir-akhir ini, kamu itu jadi susah diajak omong! Padahal kamu tau sendiri akhir-akhir ini aku kepikiran masalah pesan anon itu — kamu pikir aku nggak ngerasa anxious tiap kali kamu cut me off dengan alasan sibuk? Tiap malem, Ran, tiap malem aku berusaha yakinin diriku buat percaya sama kamu!”
Ran mengangguk sambil memijat pelipisnya. Mitsuya tidak salah, Ran memang terlampau sibuk akhir-akhir ini. Tapi apa bisa dijadikan alasan kuat untuk mengajukan gugatan cerai? Apa tidak terlalu berlebihan? Padahal jika Mitsuya minta baik-baik, Ran pasti akan meluangkan waktunya.
“Tapi aku emang sibuk kerja, Takashi? Aku kerja buat keluarga kita! Kamu kira aku sibuk di luar sana ngapain? Seneng-seneng sama omega lain? Kamu pikir aku serendah itu?” tanya Ran dengan kekecewaan terukir di wajahnya.
Mitsuya membuang mukanya. “You used to be that low, in case you forgot.”
Sekarang Ran menatap Mitsuya tidak percaya. Setelah selama ini berusaha mengubah dirinya untuk menjadi suami yang layak untuk Mitsuya, omega ini justru berkata seperti ini?
“Gitu? Di mata kamu, aku tetep serendah itu?” Ran berjalan mendekat, cengkram bahu Mitsuya dengan erat. “Liat aku, Takashi! Aku ini masih suami kamu atau bukan?! Tega kamu mikir aku kayak gitu?!”
Tatapan mereka kembali bertemu, dan di jarak sedekat ini, Mitsuya bisa melihat pantulan dirinya di bola mata Ran. Tenggorokannya tercekat, cepat-cepat ia mendorong Ran menjauh.
“Mana mungkin orang bisa berubah secepet itu! Apalagi itu kebiasaan lama kamu! They said ‘old habits die hard’, right?”
Ran berjalan menjauh, sandarkan kepalanya ke kaca jendela untuk mengatur nafas sejenak. Dia tidak boleh meledak sekalipun perkataan Mitsuya mulai tidak masuk akal. Namun Mitsuya kembali berkata,
“Kamu juga tau kalo pesan-pesan dari anon itu jadi sumber kekhawatiran aku. Aku cerita ke kamu tiap malem, tapi apa reaksimu? Cuma ‘gak usah dipikir’ terus langsung tidur. Aku tau kamu capek, tapi kamu itu mengabaikan aku! Kamu nyepelein kecemasanku! Padahal kamu bisa lacak atau pidanain anon itu, tapi kamu diem aja!”
Ran mengangkat tangannya, memberikan tanda agar Mitsuya berhenti bicara.
“Oke, aku paham. Aku bisa ngurus masalah anon itu. Udah, ‘kan? Kenapa perlu cerai?”
Karena keputusan Mitsuya sudah bulat.
“Ya, perlu, Ran.”
Melihat betapa batunya Mitsuya Takashi membuat Ran mengingat awal pertemuan mereka. Ia tiba-tiba teringat mengapa ia tidak menyukai Mitsuya — omega ini sangat keras kepala dan egoisnya minta ampun.
“Aku masih nggak paham sama kamu. Emang aku kurang apa selama ini? Kamu udah gak perlu khawatirin utang keluargamu, hidupmu tanpa kamu harus kerja pun udah terjamin. Bahkan tiap bulan, aku kasih kamu uang bulanan, ‘kan?”
“Kamu kira aku nikahin kamu perkara uang aja?!” sentak Mitsuya.
Ran mendengus. “Emang apalagi kalo bukan karena uang? Kamu jangan munafik, Mitsuya.”
Suaminya ini benar-benar bajingan paling keji. Bisa-bisanya Ran berkata seperti itu seolah-olah lupa siapa orang yang berlutut di hadapannya dan mengajaknya untuk menikah?
“Asumsi dari mana, hah?!”
“Aku masih inget banget Mana bilang di chat kalian kalo kamu selama ini selalu nolak lamaran Shiba Taiju, terus kamu nerima aku karena aku lebih kaya dari dia?”
Mitsuya memandang Ran tak percaya. Itu omongan bocah SMA! Kenapa Ran bisa percaya dengan apa yang asal diketik oleh adiknya itu?! Terlebih itu terjadi sudah lama sekali, bahkan Mitsuya tidak mengingatnya sama sekali.
“Kamu percaya sama omongan anak kecil?!”
“Dan kamu percaya sama anon?!”
Keduanya sama-sama bungkam, biarkan keheningan menyelimuti rumah yang seharusnya hangat ini menjadi sedingin musim hujan di bulan Juni.
Ran yang sama sekali tidak ingin bercerai, lawan Mitsuya yang bersikeras untuk bercerai.
“Takashi, aku nggak mau cerai sama kamu. Aku cinta banget sama kamu, gimana bisa aku ngelepasin kamu?” Ran menghela nafas. “Aku pun udah nerima kamu apa adanya. Masalah latar belakangmu, pekerjaannya, kesehatanmu — semua aku terima, ‘kan? Aku tulus cinta sama kamu, Takashi.”
Tapi Mitsuya sedikit jengkel dengan pernyataan Ran barusan. Kalau memang tulus, perlu kah disebut satu per satu permasalahan Mitsuya? Seperti latar belakangnya yang miskin, pekerjaannya yang tidak selevel dengan Ran, dan fakta bahwa ia dikabarkan tidak bisa hamil lagi? Mitsuya yang sekarang berada di awal kehamilannya jadi super sensitif ketika mendengar ini.
Lalu Ran mendekat ke arah Mitsuya, genggam tangan omeganya itu erat-erat.
“Takashi… Aku cinta sama kamu, kamu yakin mau pisah?”
Tidak bisa. Hatinya berkata, ‘tidak! Aku juga gak mau cerai! Aku mau di pelukanmu aja!’ namun lagi-lagi rasionalitasnya menahan Mitsuya. Pikiran dan hatinya kini saling bersahutan, memperebutkan keputusan akhir yang akan lolos dari bibir Mitsuya. Hal itu membuatnya kewalahan, air matanya mengalir dengan mudahnya dari sudut mata, terlebih melihat wajah Ran yang begitu tirus dan kantung matanya yang membesar seperti ini.
Ran, makanmu rutin, ‘kan? Apa kamu masih begadang? Tolong jaga kesehatanmu agar aku lebih tenang ketika meninggalkanmu.
Kalau tidak ada Mitsuya, siapa yang akan mengingatkan Ran untuk makan? Shion? Ran bahkan tidak pernah mengindahkan himbauan dari sekretarisnya itu. Kalau dia masih minta berpisah, apakah Ran akan terlihat lebih hancur dari ini? Ya Tuhan, bagaimana bisa Mitsuya melihat Ran hancur?
Tapi jika Mitsuya bertahan, dia yang akan lebih hancur dari Ran.
“Aku masih mau pisah. Keputusanku udah bulat.”
Itu yang Mitsuya katakan, namun isakan tangisnya semakin kencang — seolah menyatakan bahwa ucapannya dan isi hatinya tidak sejalan.
“Kalo gitu kenapa nangis, Takashi?”
Mitsuya tengadahkan kepalanya, melakukan apapun upaya agar air matanya berhenti.
“Aku nangis karena aku merasa bersalah, Ran! Aku gak bisa berdiri di samping kamu sampai kapanpun! Pesta-pesta yang kita hadirin, aku sama sekali gak merasa nyaman! Kamu gak tau kan gimana jahatnya omongan mereka?! Kamu gak tau kan kalo aku selalu direndahin mereka?! Aku kayak gak punya harga diri tiap dateng ke pesta-pesta itu! Mereka terus bandingin aku sama mantan kamu yang ini dan yang itu!
Terus papa kamu — beliau benci sama aku, Ran! Keluargamu benci aku, semua orang di lingkunganmu itu benci sama aku! Nikah sama kamu itu beban buat aku, Ran!”
Mitsuya tersengal-sengal seusai bicara. Bibirnya masih gemetar sementara matanya masih sibuk menangis. Sementara Ran tampak tercengang dengan perkataan Mitsuya. Dia tidak tahu kalau Mitsuya merasa seperti itu selama ini.
“Aku udah berusaha ngomong ke kamu. Aku berusaha keras buat ngomong ke kamu masalah ini! Tapi kamu selalu sibuk! Kamu gak pernah mau biarin aku ngomong panjang lebar! Pas aku nolak dateng ke acara, kamu malah marah! Terus aku harus gimana, Ran?! Aku capek, Ran… Aku ini juga punya hati, mana kuat aku tiap bulan harus ngadepin omongan orang-orang itu?!”
Tenggorokan Ran seperti tercekat, sampai-sampai ia kebingungan harus berkata apa selain menatap Mitsuya dengan tatapan sendu. Mitsuya, omeganya itu sedang menangis, meluapkan isi hatinya yang selama ini tidak dihiraukan oleh Ran. Dia, suami Mitsuya, tapi tak tahu-menahu tentang apa yang dirasakan oleh Mitsuya selama ini. Apa dia tanpa sadar sudah menekan hidup Mitsuya?
“M-maaf, Takashi… Tapi kita bisa memperbaiki semua ini, ‘kan?”
Tangisan Mitsuya semakin pecah. Kali ini Mitsuya menangis sampai suaranya tidak bisa terdengar lagi kecuali bahunya yang bergetar hebat. Rasanya ingin Ran merengkuhnya, namun Mitsuya seolah-olah telah membangun dinding yang tinggi di antara mereka.
“Taka — ”
“Aku udah nggak cinta sama kamu, Ran!”
Rasanya dunia Ran seperti runtuh. Bahkan ia sempat lupa cara untuk bernafas selama beberapa detik ketika mendengar ini.
“Pernikahan ini bikin aku sesak! Aku nggak bahagia disini! Kamu baik, Ran, aku akuin. Tapi keluarga kamu, lingkungan kamu, DUNIA KAMU — aku gak kuat,” tukas Mitsuya di sela tangisannya. “Dunia kamu… Nyatanya aku gak bisa jadi bagian dari dunia kamu, Ran.”
Ran menggigit bibir bawahnya, tengadahkan kepalanya ke atas guna menahan air matanya. Susah payah ludahnya ia telan, namun rasanya ada yang mengganjal di tenggorokannya.
Kenyataan ini sangat menyakitkan.
Ini adalah resiko dari hubungan mereka semenjak awal, baik Ran dan Mitsuya pun tahu. Dan manusiawi jika Mitsuya pun merasakan tekanan luar biasa dari gelarnya sebagai ‘suami’ dari Haitani Ran.
“Alasan aku minta cerai karena aku udah nggak cinta sama kamu, Ran. Perasaanku ini hilang karena aku sadar, mau sekeras apapun aku berusaha, aku gak akan bisa jadi bagian dari duniamu.”
Ran mengangguk, menunduk, menyembunyikan air matanya.
“Oke, aku paham, Takashi.”
“Maafin aku, Ran.”
Ran tengadahkan kepalanya lalu menggeleng cepat. “Takashi, kamu nggak salah. Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang bawa kamu ke duniaku, ke kehidupan pernikahan yang gak membahagiakan ini. Maafin aku, Takashi…”
Mitsuya kembali menangis, dan Ran pun tidak tahan lagi — pria itu membawa Mitsuya ke dalam pelukannya. Tangannya bergerak mengelus punggung Mitsuya, sementara indera penciumannya menghirup dalam-dalam feromon madu orang tercintanya ini.
Orang tercintanya yang pada akhirnya hancur karena Ran tidak becus melindunginya.
Setelah Mitsuya berhenti menangis, Ran melepas pelukan mereka.
“Sini suratnya, aku tanda tanganin.”
Setelah tanda tangan, Mitsuya cepat-cepat berpamitan untuk pulang. Namun sebelum pergi, Mitsuya melepas cincin pernikahannya, meletakkannya di tangan Ran.
Hati Ran sangat sakit ketika melihat ini.
“Makasih buat setahunnya, Ran. Makasih udah jadi suami paling baik dan pengertian. Maaf karena aku yang ingkar janji di sini.”
Cukup ‘makasih’ aja, Takashi, jangan minta maaf. Kamu nggak salah.
Saat mengantar Mitsuya ke pintu depan, Ran berkata untuk terakhir kalinya,
“Takashi, aku cinta kamu.”
Namun pernyataan cinta itu tidak pernah mendapat balasan.