Belenggu
cw // miscarriage, anger issue, domestic violence, physical abuse, verbal abuse, blood, non-consensual sex, implicit sexual content.
Mitsuya tahu Ran itu orangnya sekeras apa. Ia juga tahu bagaimana suaminya itu terkadang begitu kejam sampai-sampai lebih cocok diasosiasikan dengan iblis daripada manusia. Mitsuya itu tahu, paham, namun tetap saja ia bertingkah seperti orang bodoh yang mengemis hati pria berdarah dingin itu.
Saat dinyatakan bahwa kandungannya raib, berkas cahaya dalam kehidupan Mitsuya segera menjadi petang. Tidak. Tidak boleh begini. Jika Ran tahu, bisa tamat riwayatnya. Ran sangat menginginkan anak dalam kandungannya. Anak ini menjadi satu-satunya hal yang membuat Ran menghangat padanya. Kalau tidak ada seperti sekarang, lalu apa? Apa yang akan jadi jaminan Ran berada di sisinya?
Keadaan hamil saja, Ran masih bisa berkhianat. Apalagi sekarang?
Mitsuya bisa gila. Rasa cemas dan insekuritas mulai membelenggu hatinya. Bayangan Ran membuangnya karena sudah tak dianggap berguna menghantui kepalanya.
Takut. Takut. Takut.
Mitsuya hanya bisa berdoa Ran akan tunjukkan sedikit rasa simpati karena ia baru saja kehilangan anak mereka. Benar. Mitsuya baru saja kehilangan. Mana mungkin Ran tega menyakitinya, bukan?
Sekali lagi, Mitsuya mungkin terlalu naif, sebab kemungkinan itu bisa terjadi kalau yang namanya Haitani Ran itu memang punya hati.
Begitu datang ke rumah sakit, Ran langsung bertemu dengan dokternya. Berbincang sesuatu dengan raut wajah kecewa tertera di wajahnya. Ketika memasuki kamar Mitsuya, tatapan pria itu berubah menjadi asing dan dingin. Namun belum juga Mitsuya berkata apa-apa, Ran sudah balik badan, pergi meninggalkan omega itu tanpa sepatah kata apapun.
Mitsuya tahu Ran kecewa, tapi ia tak menduga bahwa pria itu langsung pergi begitu saja tanpa basa-basi. Setidaknya bisa kan, tenangkan Mitsuya terlebih dahulu? Apa susahnya? Kenapa justru meninggalkannya seorang diri? Mitsuya juga kecewa dan sakit hati calon buah hatinya telah tiada.
Lagi-lagi, perlakuan Ran membuat Mitsuya menangis tersedu-sedu, membuatnya meratapi nasib, apakah ada omega di dunia ini yang diacuhkan begitu saja oleh alphanya setelah kehilangan anak mereka? Terlalu menyakitkan.
Mitsuya bahkan tidak mengharapkan kata-kata manis dari Ran, ia hanya perlu direngkuh, digenggam walaupun hanya sesaat. Apakah keinginannya itu berlebihan?
Yang Mitsuya dambakan hanyalah kehangatan dari Haitani Ran, sungguh. Namun mengapa suaminya itu begitu dingin?
Apakah… memang cinta itu seperti ini?
Mitsuya keluar dari rumah sakit setelah tiga hari. Dan selama jangka waktu itu, Ran sama sekali tidak mengunjunginya. Namun, Mitsuya tak bisa sepenuhnya menyalahkan Ran, pria itu juga kecewa dengannya yang lalai dan menyebabkan anak mereka hilang. Terlebih saat Ran begitu menginginkan kelahiran anak ini.
Hari itu hanya sekretaris Ran saja yang menjemputnya, membawanya pulang ke rumah tanpa konversasi apapun kecuali deru mobil yang menulikan telinganya. Begitu tiba di mansion yang seharusnya menjadi rumah untuk Mitsuya, tiba-tiba saja tangannya gemetar.
Bagaimana jika ada Ran? Bagaimana jika suaminya itu marahnya membludak? Ketenangan selama tiga hari ini justru membuat rasa cemasnya meningkat drastis.
Saat Mitsuya melangkah ke dalam ruang keluarga, ia bisa melihat Ran sedang duduk di salah satu sofa dengan kerutan di dahinya, ditemani segelas anggur merah di tangan kanannya. Tatapannya masih dingin, pandang Mitsuya seolah-olah ia manusia paling hina. Takut-takut ia hampiri pria itu, menelan salivanya saat melihat begitu banyak botol anggur merah kosong yang tergeletak di meja.
“Kak Ran, maaf…”
Hening. Ran tidak menjawab.
“Kak, maaf — ”
“Sekarang apa?” suara Ran seolah menusuk gendang telinganya, buat detak jantungnya bergemuruh makin kencang. “Jawab.”
“Kak… Itu kecelakaan — ”
Botol kaca kosong itu dilempar ke sembarang arah, membuat Mitsuya terperanjat. Kini bukan hanya tangan, namun sekujur badannya bergetar ketakutan. Ran akan menyakitinya, namun ia tidak sempat berlindung sebelum pria itu berjalan cepat ke arahnya dan menarik kerah bajunya.
“KECELAKAAN?! LO YANG TOLOL, MITSUYA! COBA LO GAK KE KANTOR HARI ITU! LO DUNGU APA GIMANA, SIH?! GUE BILANG CUTI YA CUTI, JANGAN BANTAH! LIAT! LIAT, MITSUYA! KARENA LO GAK NURUT GUE, ANAK KITA JADI KORBAN! BANGSAT LO! GAK BERGUNA!”
Tubuh Mitsuya dibanting ke atas sofa, buat isak tangis mulai lolos dari bibir omega itu. Takut. Takut. Takut. Mitsuya tahu Ran tidak segan-segan membunuhnya sekarang. Dadanya sangat sesak akibat tangisannya yang tidak koheren.
“FUCK! GUE NYESEL NIKAHIN LO, BANGSAT!”
Ada rasa sakit di hati Mitsuya sekarang. Dari semua perlakuan Ran padanya, hanya kalimat ini yang mampu membuat pertahanannya runtuh. Maka Mitsuya dengan segala sisa keberaniannya melawan,
“AKU GAK AKAN BEGINI KALO KAKAK LEBIH PERHATIAN SAMA AKU! AKU CUMA MAU NGANTER BEKAL BUAT KAKAK! AKU CUMA MAU JADI PASANGAN YANG BAIK BUAT KAKAK!” pekik Mitsuya histeris. “TAPI APA?! KAKAK TAU APA YANG AKU LIAT?! KAKAK SELINGKUH! SELINGKUH SAMA TEMENKU SENDIRI, KAK!”
Keduanya saling beradu tatap dengan nyalang. Ran tidak suka jika Mitsuya melawan seperti ini, sementara Mitsuya sudah lelah dijadikan salah-salahan terus menerus.
“Kalau aja kakak nggak selingkuh, aku gak bakal jatuh dari tangga! Kakak tau aku syok banget hari itu? I can’t even think properly! Ini juga salah kak — ”
PLAK!
Mitsuya tertegun, seketika lidahnya kelu, tidak berani berargumen lebih jauh lagi daripada berakhir babak belur di tangan alpha ini.
“Salah gue? Salah gue, ya?!”
Ran menarik rambut Mitsuya, dipaksa agar wajah mereka saling berhadapan. Mitsuya hanya bisa meringis di sela isak tangisnya, sementara Ran tak berhenti menjambak surai lila itu — surai indah yang seharusnya disisir dengan lembut dengan jemarinya, dikecup singkat dengan kasih sayang.
Sayangnya, Ran itu tidak punya hati.
“PEREK BAJINGAN! BERANI LO NUNJUK TANGAN LO KE SUAMI LO, HAH?! LO YANG BUNUH ANAK GUE, BISA-BISANYA LO NYALAHIN GUE?! UDAH BERANI LO SEKARANG SAMA GUE, IYA?!”
Mitsuya tak bisa membalas, hanya bisa terisak kencang. Melihat ini, Ran semakin jengah. Ia tarik paksa tangan omeganya itu, dibawa ke kamar dan merobek paksa kemeja yang dikenakan oleh Mitsuya. Tentu saja Mitsuya panik, bertanya dengan suara parau,
“K-kak? Kak Ran? Kak Ran mau apa?!”
“Diem lo, anjing! Nurut gak sama gue?!”
Celana Mitsuya dilepas dan dibuang sembarangan ke lantai, sementara Ran mulai membuka resleting celananya.
“K-kak Ran, please… Kak… Jangan gini — ”
“Gue gak peduli! Lo harus ngandung anak gue lagi! Ngerti lo?!”
Hari itu, tak peduli Mitsuya menangis dan meronta-ronta menolak segala perlakuan Ran padanya, Ran tetap saja gagahi omega malang itu tanpa belas kasihan. Bahkan saat Mitsuya memohon karena dirinya belum cukup basah, Ran tidak peduli. Ia tetap lesakkan kejantanannya ke dalam lubang sesak nan kering itu. Seperti orang kesetanan, Ran memompa dengan begitu kasar.
Mitsuya berteriak kesakitan, bahkan ketika darah segar meleleh keluar dari bagian selatan omega itu, Ran tidak peduli. Ia lampiaskan amarahnya yang menggunung itu di tubuh mungil omeganya. Tak segan-segan pula tangan Ran menampar pipi Mitsuya, mencekik leher jenjang lelaki itu jika sudah dirasa memekakkan telinganya dengan lolongan pedih itu.
Mungkin efek alkohol, mungkin juga memang pada dasarnya, Ran itu inkarnasi dari iblis sendiri. Ia hancurkan tubuh ringkih itu dengan tangan seorang alpha yang seharusnya melindungi omeganya itu. Bahkan Ran tak berhenti ketika suara Mitsuya menghilang karena terlalu banyak menjerit. Ia hanya terus gauli suaminya, luruhkan benihnya di dalam lubang itu, kemudian ulangi dan ulangi.
Ran baru sadar ketika manik matanya menangkap banyaknya cairan merah basahi kasur mereka. Jantungnya mencelos — jahitan di perut Mitsuya terbuka. Kerjapkan matanya cepat, buru-buru ia kenakan celananya lagi, menatap Mitsuya dengan nanar.
Mitsuya tidak sadarkan diri.
Kini Ran panik. Merah di mana-mana, pecahan kaca berserakan di kamar itu, tak tahu kapan ia lakukan itu semua. Ran menjambak rambutnya, berteriak dengan kencang sebelum membenturkan kepalanya sendiri ke tembok.
“FUCK! FUCK! FUCK!”
Ran bingung kemana lagi ia harus lampiaskan amarahnya.
“FUCK! SIAPA AJA, PANGGIL DOKTER!”
Butler di mansion Ran hampiri tuannya dengan cepat saat mendengar ini, langsung hubungi dokter pribadi keluarga Haitani.
Hanya butuh 10 menit sebelum pria berumur 30-an memasuki ruangan. Lalu Ran, dengan penampilannya yang berantakan dan mata memerah serta jejak air mata pada pipinya, mulai berjalan frantik ke arah pria itu.
“Mitsuya, dia, selamatin dia! SELAMATIN DIA SEKARANG!”
“Iya, Tuan, saya periksa dul — ”
“DO SOMETHING! FAST! DIA UDAH BERDARAH LAMA!” serunya dengan penuh amarah.
Ran berjalan dengan gelisah di kamarnya, tak peduli kakinya sedang menginjak banyak pecahan kaca. Kepala butler itu hampiri Ran, berusaha menenangkan.
“Tuan, yang tenang. Obati dulu kaki Anda.”
“LO PERGI, ANJING! LO GAK LIAT MITSUYA?!”
“Tuan — ”
“DENGER, MITSUYA GAK BOLEH MATI! NGERTI?! DIA GAK BOLEH MATI! DIA PUNYA GUE!”
Haitani Ran sebenarnya hanyalah bajingan gila.